Hilirisasi Batu Bara Dorong Penurunan Konsumsi LPG

DME sebagai pengganti LPG menjadi
salah satu langkah hilirisasi batu bara.
Foto: Hrp

Jakarta, OG Indonesia --
Kondisi ketergantungan energi rumah tangga terhadap impor LPG diupayakan untuk terus ditekan. Dari total delapan juta MT per tahun konsumsi LPG, 95% masuk ke rumah tangga. Pada sisi lain, hanya 1,8 juta MT per tahun yang berasal dari  produksi LPG domestik, baik dari PT Pertamina maupun Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) SKK Migas. Sisanya sebanyak 77%-80% masih impor.

Hasto Wibowo, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial and Trading Pertamina,  mengatakan karena belum ada energi alternatif yang secara signifikan bisa menggantikan LPG, implementasi dimethyl ether (DME) 5,2 juta MT per tahun pada 2025 menjadi salah satu solusi utk menurunkan current account deficit dan trade balance deficit.

“Saya yang termasuk mendukung hilirisasi batu bara. Kalau kita semua serius dan ke depan diharapkan semakin progresif, impor LPG akan mulai turun,” kata Hasto dalam DE Talk yang diadakan oleh Dunia Energi secara virtual bertajuk “Mengukur Nilai Keekonomian Hilirisasi Batubara dan Perubahan Tren ke Energi Bersih”, Selasa (9/3/2021).  

Selain Hasto, dua pembicara lainnya adalah  Direktur Pengusahaan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Sujatmiko dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Bukit Asam Tbk Fuad IZ Fachroeddin. Bertindak sebagai pembicara kunci Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin.

Menurut Hasto, potensi sumber daya batu bara Indonesia yang diolah menjadi DME yang mencapai 14 miliar MT dapat digunakan dalam jangka panjang. Saat ini tengah dikembangkan fasilitas produksi DME di Sumatera Selatan oleh Air Product yang dilahan milik PT Bukit Asam Tbk dengan kapasitas 1,4 juta MT per tahun atau 1,07 juta MT setara LPG.

Hasto mengatakan ada beberapa skema kerja sama yang sedang dijajaki serius antara Pertamina, Bukit Asam, dan Air Product. Skema pertama, Bukit Asam fokus menghasilkan batu bara kalori rendah dan Pertamina membeli batu bara yang diproduksi tersebut. Pertamina kemudian menyerahkan batu bara tersebut ke Air Product untuk diproses dengan fee tertentu. Produksi DME tersebut nantinya akan didistribusikan menggunakan jalur eksisting milik Pertamina. 

“Skema yang lain adalah skema kedua, Pertamina sebagai offtaker murni, di mana Pertamina membeli DME,” kata dia. 

Pertamina, kata Hasto juga masih melakukan kajian awal rencana implementasi 100% DME di masyarakat. Skema 100% DME lebih berisiko terjadinya shortfall produk DME di masyarakat apabila ada kegagalan produksi dari pabrik. 

“Area pemasaran lebih tersentralisasi, single price di satu daerah eksekusi yang terkontrol. Minimum potensi illegal blending, implementasi sekitar 10 juta KK, dapat dilakukan bertahap by area,” ungkap dia. 

Untuk end customer perlu penggantian kompor, regulator, dan valve di end customer. Dari sisi pemerintah potensi pengurangan defisit neraca perdagangan lebih besar. Dari pertimbangan tersebut maka Pertamina serius eksekusi skema cluster by cluster 100 persen DME. 

Menurut Hasto, harga DME tidak bisa lepas dari harga LPG yang dikonsumsi masyarakat luas. Harga LPG historical sangat berfluktuasi. Maka harga dari DME tidak boleh lebih mahal dari LPG, kalau lebih mahal maka selama skema harga subsidi masih diberikan maka pementah akan berikan subsidi lebih besar. 

“Jadi batas atas tidak boleh lebih mahal dari LPG, batas bawah tidak boleh lebih rendah dari LPG. Dalam menetapkan harga DME sebagai LPG, Pertamina sebagai offtaker akan memperhatikan historical harga LPG,” kata Hasto. 

Saat ini harga DME di plant gate China sekitar US$ 500 per MT atau setara US$ 655 MT LPG, masih lebih tinggi dari rata-rata harga LPG saat ini. 

Hasto mengatakan agar rencana indah DME bisa dieksekusi, Pertamina membutuhkan dukungan pemerintah untuk kebijakan diversifikasi energi rumah, dukungan penugasan dari pemerintah kepada Pertamina selama nilai keekonomian infrastruktur DME oleh mitra untuk keberlangsungan bisnis hilir Pertamina dan hulu produsen DME, dukungan kebijakan subsidi yang tepat untuk LPG dan DME. Selain itu, konsep harga beli offtaker DME. “Terakhir adalah terkait pengaturan kuota impor untuk menghindari kanibalisasi DME lokal oleh kargo LPG impor. Untuk wilayah yang menjadi demand center DME perlu diregulasi agar tidak ada suplai dan infrastruktur LPG yang dapat mengancam pasar DME,” kata dia. 

Andianto Hidayat, VP Research Tecnology Center Pertamina, menambahkan Pertamina mengharapkan ada kerja sama lain untuk mengembangkan DME yang sama di beberapa lokasi. “Sumatera dan Kalimantan adalah dua daerah yang kaya batu bara. Ini saatnya kita monetisasi cadangan kekayaan alam Indonesia semaksimal mungkin,” kata Andianto. 

Menurut Andianto, batu bara secara teknologi bisa dimanfaatkan untuk produk-produk lain, tapi karena saat ini tujuannya untuk mengurangi impor LPG maka saat ini difokuskan untuk DME. “Namun dengan menyasar market PSO kami belum dapat payung hukum. Pertamina hanya punya payung hukum sebagai distributor LPG melon, sehingga perlu ada perluasan payung hukum agar Pertamina bisa jadi single distributor untuk LPG PSO maupun Non PSO,” kata dia. 

Fuad Zulkarnain, Direktur Pengembangan Bukit Asam, mengatakan nilai tambah dari proyek Coal to DME untuk negara, total investasi asing masuk ke Indonesia mencapai US $2,1 miliar. Selain itu, pemanfaatan sumber daya batu bara kalori rendah sebesar 180 juta ton selama 30 tahun umur pabrik, adanya multiplier effect berupa manfaat langsung yang di dapat pemerintah sebesar Rp 800 miliar per tahun atau Rp 24 triliun selama 30 tahun. 

Proyek Coal to DME juga menghemat neraca perdagangan, mengurani impor LPG sebesar satu juta ton per tahun, menghemat cadangan devisa 9,71 triliun per tahun atau 290 triliun selama 30 tahun, dapat meningkatkan ketahanan energi nasional,” kata Fuad. 

Sementara Sudjatmiko, Direktur Pembinaan Usaha Ditjen Minerba Kementerian ESDM, mengatakan peran batu bara masih signifikan  hingga 2050. Jika kembali ke undang-undang, peningkatan nilai tambah batu bara dapat dilakukan secara ekonomis dan dengan teknologi, maka itu menjadi kewajiban.

Di undang-undang ada enam varian pengembangan, peningkatan mutu batu bara, pembuatan briket, pembuatan kokas, pencairan batu bara, gasifikasi batu bara, termasuk undergorund coal gasification, coal slurry. Pemanfaatan batu bara yaitu dengan membangun sendiri PLTU di mulut tambang

“Dua proyek hilirisasi batu bara, yakni Coal to DME yang dikerjakan Bukit Asam, Pertamina dan Air Product serta proyek coal to methanol yang digarap KPC sudah ditetapkan sebagai Proyek Stategis Nasional (PSN),” kata Sujatmiko. 

Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, dalam sambutannya mengatakan peningkatan nilai tambah minerba sudah diamanatkan dalam undang-undang. “Artinya kita tidak boleh lagi tidak melakukan nilai tambah. Presiden Jokowi butir pertama kita tidak lagi boleh mengandalkan pembangunan ekonomi berdasarkan komoditas, tapi harus berdasar inovasi dan ekonomi,” kata Ridwan.  

Menurut Ridwan, isu hilirisasi batu bara adalah isu lama yang tidak pernah jadi, padahal sudah sejak 20 tahun lalu dibahas oleh pakar-pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB). “Bahasa saya saat itu yang dilaksanakan sudah bagus, tapi kita tidak berdaya melaksanakannya. Kali ini semua pemain sudah bersatu, pemerintah sudah tegas dan badan usaha sudah komit,” katanya.

Hidayat Tantan, CEO Visi Dunia Energi, mengatakan Forum DETalk hari ini merupakan serial diskusi yang dilakukan oleh Dunia Energi sebagai salah satu media yang mendukung semua pemangku kepentingan di sektor energi dan sumberdaya mineral (SDM) untuk mengelola sektor ini menjadi penyumbang utama pendapatan negara, sekaligus motor penggerak perekonomian dan pembangunan nasional.

Salah satu wujud dari peran sektor ESDM dalam menggerakkan pembangunan nasional adalah program hilirisasi mineral dan batubara. Sebagai media yang bergerak di sektor ini, Dunia Energi sangat mendukung kebijakan pemerintah yang memberikan sejumlah insentif bagi terlaksananya hilirisasi minerba. 

“Selain royalti nol persen yang ditegaskan dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan turunannya, pemerintah juga menyiapkan harga khusus batubara untuk hilirisasi dan skema subsidi bagi produk Dimethyl Ether (DME) yang akan dipakai untuk substitusi LPG,” kata Tantan. RH


Hilirisasi Batu Bara Dorong Penurunan Konsumsi LPG  Hilirisasi Batu Bara Dorong Penurunan Konsumsi LPG Reviewed by OG Indonesia on Selasa, Maret 09, 2021 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.