Industri Hulu Migas Diminta Komitmennya untuk Tekan Emisi Karbon


Jakarta, OG Indonesia --
Indonesia sudah berkomitmen untuk turut serta dalam Paris Agreement dan Sustainable Development Goals (SDGs). Di mana dua institusi tersebut mengarahkan pada pembangunan rendah karbon yang sudah menjadi tren global saat ini. Industri energi, lebih khusus lagi industri hulu migas di Indonesia, juga turut diminta komitmennya terkait upaya pengurangan emisi karbon ini.

Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan target reduksi emisi dari sektor energi di Tanah Air sebesar 38% dengan batas waktu sampai tahun 2030. "Jadi industri energi itu 38 persen, di dalamnya ada transportasi, pembangkit, dan ada industri migas juga," terang Satya dalam webinar "Upaya KKKS Mengurangi Emisi Karbon" yang diadakan Ruang Energi, Kamis (17/6/2021).

Adapun target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagaimana komitmen sektor energi yaitu sekitar 314-398 juta ton CO2 pada tahun 2030, dirinci Satya, adalah melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT), pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih.

Dalam kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Lingkungan Kepala SKK Migas Luky A. Yusgiantoro menambahkan dalam setiap tahapan hulu migas, mulai dari awal mendesain fasilitas sampai dengan tahap akhir yaitu decommissioning, bisa menjadi kesempatan dalam upaya menekan karbon. "Jadi di masing-masing tahapan itu ada upaya KKKS untuk pengurangan karbon," tegas Luky.

Dia mencontohkan pada tahap awal kegiatan hulu migas sudah ada yang namanya Environmental Baseline Assessment . Kemudian dalam tahapan eksplorasi sudah juga dibuat daftar potensi penyumbang emisi karbon yang bisa terjadi selama kegiatan eksplorasi. Demikian pula sebelum tahapan POD harus ada Environmental Impact Assessment, dan selama kegiatan POD juga dilakukan kegiatan monitoring. Selanjutnya, dalam tahapan produksi sampai end of life suatu lapangan migas juga selalu dilakukan monitoring terkait masalah lingkungan.

SKK Migas sendiri sudah mengidentifikasi penyumbang karbon dalam tahapan kegiatan hulu migas. Pada tahap produksi ada peralatan seperti turbin, boiler, dan generator yang bisa menyumbang emisi karbon cukup besar. Lalu untuk aktivitas transportasi tentu bisa bersumber dari mobil, truk, kapal, hingga helikopter. "Selama kegiatan drilling, operasi dan emergency itu juga menyebabkan emisi CO2," ucapnya. "Tentunya dari identifikasi ini bisa kita lihat, kira-kira apa yang bisa kita efisienkan dan mana yang bisa kita optimalkan," sambung Luky.

Pertamina sendiri telah menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) dan Penilaian Daur Hidup (LCA) yang salah satu programnya adalah pengurangan emisi dengan target 0,25% sesuai KPI dari anak-anak perusahaannya. Ada lagi implementasi ESG (Environment, Social & Governance). "ESG salah satunya juga mengukur aspek lingkungan," tegas Taufik Aditiyawarman, Direktur Pengembangan dan Produksi PT Pertamina Hulu Energi. Diterangkan olehnya, salah satu poin penting dari ESG adalah penanganan perubahan iklim melalui penurunan emisi karbon. 

Taufik pun membeberkan data reduksi emisi di subholding hulu Pertamina. Di mana pada tahun 2010 bagian hulu Pertamina masih menyumbang total 9,219 juta ton CO2 ekuivalen. Berselang 1 dekade kemudian, pada tahun 2020 Pertamina masih memiliki 7,854 juta ton CO2 ekuivalen, dengan sumber emisi terbesar dalah sumber pembakaran dalam dan luar (genset, kompresor, dan lain-lain). 

Adapun beberapa upaya yang dilakukan Pertamina untuk terus menekan emisi karbon, dikatakan Taufik adalah dengan mengurangi penggunaan energi dengan penerapan sistem manajemen energi, substitusi bahan bakar dari diesel fuel kepada gas, modifikasi operasi mesin, menerapkan pemeliharaan preventif, hingga reduksi dan pemanfaatan flare gas. 

Terkait pemanfaatan CO2, Satya Widya Yudha juga mengungkapkan bahwa CO2 sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam industri migas, di mana dapat dimanfaatkan untuk produksi minyak melalui mekanisme Enhanced Oil Recovery (EOR). “Proyek CCUS (Carbon, Capture, Ulitization and Storage) bisa diintegrasikan dengan teknologi EOR di beberapa lapangan Migas seperi Lapangan Sukowati, Lapangan Limau Biru, dan Blok Tangguh. Teknologi CCUS yang meng-absorb karbon tadi bisa dimonetisasi,” jelasnya.

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch juga menyampaikan hal yang sama. Menurutnya CO2 juga bisa dioptimalkan lewat kegiatan CCUS. Selain itu, Mamit juga menyarankan adanya proses transisi energi di kegiatan hulu migas. "Ke depan saya kira untuk platform-platform, kemudian di pengeboran-pengeboran, sebisa mungkin kalau memang cost-nya memungkinkan adalah menggunakan EBT sebagai sumber energi," paparnya.

Lalu kegiatan reklamasi dan reboisasi juga harus dilakukan, terutama untuk wilayah eks pengeboran dan produksi migas. "Pasca produksi ini menjadi suatu keharusan. Karena saya melihatnya ketika suatu lokasi selesai dibor ternyata dia tidak diapa-apakan. Ini tentu menjadi hal yang kurang bagus dalam upaya kita mengurangi gas karbon," ungkapnya. "Biar bagaimanapun, ketika lapangan itu sudah di-abandone, untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitar maka harus tetap dilakukan penghijauan," ujar Mamit. RH

Industri Hulu Migas Diminta Komitmennya untuk Tekan Emisi Karbon Industri Hulu Migas Diminta Komitmennya untuk Tekan Emisi Karbon Reviewed by Ridwan Harahap on Kamis, Juni 17, 2021 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.