Panas Bumi Berpotensi Jadi Backbone Energi Nasional


Jakarta, OG Indonesia --
Panas bumi berpotensi menjadi andalan dalam transisi energi dari energi fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT). Selain potensi sumberdaya yang masih sangat besar, dengan berbagai dukungan kebijakan pemerintah berupa pemberian insentif maupun penetapan tarif yang menarik bagi investor namun juga memaksimalkan kemampuan negara akan bisa mendorong panas bumi sebagai backbone energi nasional.

Hal ini menjadi benang merah dari sharing session bertajuk Urgensi Transisi Energi ke Panas Bumi yang digelar E2S, Kamis (29/7/2021). Sharing session menampilkan sejumlah narasumber, yakni Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM; Riki F, Ibrahim, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero); Dyah Roro Esti Widya Putri, Anggota Komisi VII DPR dan Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).    

Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana mengatakan Indonesia tergolong lebih agresif dibanding negara lain untuk pengembangan panas bumi. Saat ini kapasitas PLTP nasional mencapai 2.175 MW dan kemarin (28/7/2021) baru saja ada tambahan dari PLTP Sorik Marapi Unit 2 dengan kapasitas 45 MW.

Menurut Dadan, ada beberapa tantangan dalam pengembangan panas bumi, yakni terkait lingkungan, dan status kawasan hutan. "Tantangan sampai kapanpun akan ada, dinamika masyarakat juga semakin kuat, tapi dengan sinergi berbagai pihak dapat dikelola dengan baik tantangan tersebut,” katanya. 

Pemerintah, lanjut dia, akan mendukung pengembangan panas bumi dengan berbagai insentif yang dimungkinkan. Untuk tarif yang sekarang sedang disusun pemerintah, khususnya dalam bentuk Peraturan Presiden. 

“Kami pastikan balik modalnya cepat, tapi juga memaksimalkan kemampuan negara, sehingga angka tidak stay di angka yang tinggi. Sedang dipikir, saya ingin seperti yang di migas, ada komitmen untuk menambah cadangan,” ungkap Dadan.  

Panas bumi dinilai banyak kemiripan dengan migas, sehingga cadangan semakin bertambah. Diterangkan Dadan, eksplorasi yang dilakukan Pemerintah juga sedang berjalan, seperti di Nage, NTT dan Cisolok-Sukarame, Sukabumi, Jawa Barat. Hal ini diharapkan bisa memberikan penyesuaian dari sisi harga dengan eksplorasi dilakukan oleh pemerintah. "Kan sampai sekarang tidak ada bank yang mau memberikan pendanaan karena risikonya tinggi," tutur Dadan.

“Harga panas bumi, saat ini sedang saya lunakkan. Saya akan dorong panas bumi yang layak secara keekonomiannya, sehingga bisa memanfaatkan panas bumi itu sebagai base load. Keekonomiannya win win dari sisi konsumen dan produsen,” tambahnya.

Dirut Geo Dipa Riki Ibrahim mengatakan tantangan pengembangan panas bumi adalah harga EBT yang masih harus bersaing dengan pembangkit fosil. Lalu ada lagi kendala terbatasnya lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman dalam fase eksplorasi. 

Dia mengungkapkan, banyak pengembangan yang belum memenuhi 5C (character, capacity, capital, condition dan collateral, sehingga risiko dalam masa eksplorasi sangat tinggi. Lalu urusan  trasparansi dan jangka waktu penerbitan izin juga dapat mempengaruhi keenomian proyek. 

Kendati demikian, menurut Riki untuk eksplorasi panas bumi risikonya tidak sebesar migas. "Khusus di lapangan di Indonesia, termasuk yang baru, dari sisi resiko itu 40 persen, tidak begitu besar,” ungkapnya. 

Untuk itu, pengembangan panas bumi harus dilakukan bertahap dan perusahaan yang terjun di sana harus yang mempunyai visi dan misi jangka panjang. PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) misalnya sudah melakukan 39-40 tahun untuk pengembangan panas bumi melalui PLTP Kamojang.

“Jadi bagaimana caranya agar risiko eksplorasi itu jangan dilihat sebagai jangka pendek. Masih perlu kajian ulang untuk harga panas bumi, agar swasta bisa betul betul masuk ke panas bumi,” ujar Riki.

Diceritakan oleh Riki, saat ini pemerintah sedang dalam keadaan dilema, di satu sisi ingin mengembangkan EBT dengan harga yang reliable, tapi di sisi lain harus memberikan subsidi ke PLN. Untuk itu, pemerintah tengah memikirkan bagaimana jalan keluarnya, seperti adanya biaya infrastruktur yang diturunkan dan lainnya. 

“Tantangan panas bumi tidak dapat diselesaikan dengan cara cara bussiness as usual, dibutuhkan akselerasi pengembangan panas bumi untuk mengejar target bauran. Target kita bagaimana bisa mencapai tidak hanya 23 persen, tapi 50 persen,” beber Riki. 

Sementara itu Dyah Roro dari Komisi VII DPR RI mengatakan, transisi energi tidak semata-mata langsung mengonversi langsung ke EBT, tetapi ada proses yang harus dilalui. Dia tidak memungkiri bahwa sektor migas masih menjadi penopang ekonomi negara. "Namun jangan sampai closed minded dan tidak bergerak dari zona nyaman,” pesannya. 

“Saya setuju dengan Pak Dirjen (EBTKE), bagaimana kita melakukan transisi, yaitu melalui cofiring biomassa. Jadi eksisting PLTU bisa dikonversi menjadi cofiring, lalu ada rooftop. Tidak dipungkiri juga dengan perkembangan-perkembangan yang ada, seperti geothermal,” ungkapnya.  

Dyah mengatakan lebih dari 130 negara di dunia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2050. Indonesia perlu segera menentukan target dicapainya net zero emission. Namun hingga kini, masing-masing kementerian masih memiliki target yang berbeda-beda, seperti KLHK menetapkan tahun 2060, Bappenas antara tahun 2045-2070, dan PLN tahun 2060. “Kita harus punya frame yang sama untuk target transisi energi,” tegasnya.  

Dyah pun membuka data terkait target bauran EBT dalam bauran energi nasional, di mana pada tahun 2020 masih berada di kisaran 11,2%. "Pada tahun 2021 sudah naik namun (masih) di kisaran belasan (persen) dari target 2025 sebesar 23%," ungkapnya.

“Waktunya kita dukung segala upaya untuk merealisasikan target. Total potensi ada 23,9 GW, realisasi masih minim. Potensi panas bumi ada di Pulau Jawa dan Sumatera. Perlu ada eksplorasi, pengeboran, ini yang perlu kita dorong terus menerus,” lanjut Dyah.

Surya Darma, Ketua Umum METI, juga mengingatkan bahwa eksplorasi panas bumi penuh risiko sehingga menjadi tantangan utama dalam alur bisnis pengembangan PLTP. “PLN melakukan eksplorasi tiga sumur tidak berhasil, Supreme Energy juga gagal untuk lima sumur di Muara Laboh,” paparnya. 

Menurut Surya, pengembangan panas bumi tidak bisa dilakukan sendiri, perlu melibatkan berbagai pihak, mulai dari pelaku usaha, pemerintah,sampai investor. 

Tetapi Surya juga mengatakan bahwa peluang pengembangan panas bumi sangat besar karena potensinya yang besar. Karena itu, panas bumi bersama energi air/hidro, harus siap menjadi backbone transisi energi. “Kalau menjadi backbone, harus pelan-pelan dinaikkan kapasitasnya. Karena menjadi andalan,” pungkasnya. RH


Panas Bumi Berpotensi Jadi Backbone Energi Nasional Panas Bumi Berpotensi Jadi Backbone Energi Nasional Reviewed by Ridwan Harahap on Kamis, Juli 29, 2021 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.