IEEFA: Konversi Pembangkit Listrik Diesel ke Gas Masih Belum Ekonomis


Jakarta, OG Indonesia --
Industri gas Indonesia sedang berada dalam situasi sulit yang 
mengharuskan pemerintah mencari pasar domestik baru untuk menyerap kelebihan gas di tengah beberapa kontrak ekspor yang habis masa berlakunya. Menurut laporan baru dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), gas alam cair skala kecil (ssLNG) kembali diusulkan sebagai program andalan demi membangun pasar gas baru dan meningkatkan penggunaannya di sektor kelistrikan untuk mengganti pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) yang mahal. Namun demikian, sisi keekonomian rencana konversi tersebut akan penuh rintangan.

Menurut penulis laporan tersebut, analis energi IEEFA Putra Adhiguna, pemerintah Indonesia telah menugaskan Pertamina, melalui Perusahaan Gas Negara (PGN), untuk menyuplai gas ke 52 pembangkit listrik PLN dengan harga lebih rendah dibanding harga ekuivalen BBM. SsLNG merupakan rantai pasok LNG dalam skala lebih kecil, yang digunakan untuk mentransportasikan kurang dari 0,5 juta metrik ton LNG per tahun. 

“PGN memperkirakan investasi US$ 1,5 - 2,5 miliar diperlukan untuk menyuplai 167 miliar British Thermal Unit per Day (BBTUD) gas ke 52 pembangkit, dengan separuh dari pembangkit itu menggunakan kurang dari 2 BBTUD,” ujar Adhiguna dalam media briefing laporan IEEFA bertajuk “Menilai Kelayakan Ekonomi LNG Skala Kecil untuk Pembangkit”, yang dilakukan secara daring, Kamis (26/8/2021).

Rencana tersebut telah disusun selama hampir satu dekade. PLN yang sebelumnya mengambil inisiatif terdepan dalam pembentukan rantai pasok ssLNG kini bergeser ke sisi penerima, memindahkan hampir seluruh risiko proyek kepada PGN. Rencana konversi gas itu akan menguntungkan PLN bila memang benar gas dapat diterima dengan harga murah pada pembangkit mereka.

“Yang masih belum jelas adalah bagaimana PGN, sebuah anak perusahaan BUMN dengan kepemilikan publik yang besar, dapat bertahan dalam rencana tersebut. Biaya rantai pasok LNG dikenal cukup mahal, terlebih pada skala kecil,” ujarnya.

Diterangkan olehnya, urgensi pemerintah meningkatkan konsumsi gas domestik sangat tampak dalam kebijakan harga gas hilir yang baru, di mana bagian pendapatan pemerintah dari produksi gas dikurangi untuk menekan harga gas hilir. "Potensi kerugian negara dijanjikan akan dapat diimbangi dari penghematan subsidi dan peningkatan aktivitas ekonomi, termasuk melalui penghematan Rp 13 triliun dari rencana konversi pembangkit listrik dengan gas," sambungnya.

Setahun berlalu, tidak terlihat kemajuan berarti dalam rencana tersebut. Menurut Adhiguna, sebagai perusahaan distributor gas utama di Indonesia, PGN sudah mengalami tekanan berat dari imbas COVID-19 dan kebijakan harga gas. Dengan margin distribusi yang diproyeksikan menyusut dari US$ 2,2-2,5 menjadi US$ 1,80-2,00/juta BTU (MMBTU), tanda peringatan sudah berbunyi cukup kencang,” lanjutnya.

“Persaingan pendanaan dengan proyek lain yang lebih menjanjikan cukup ketat. Pada tahun 2020, PGN mengalokasikan kurang dari USD14 juta untuk proyek konversi gas, dari total anggaran belanja modal sebesar US$ 300 juta. Rencana capex 2021 juga tidak menunjukkan keselarasan dengan tenggat waktu dua tahun yang diberikan pemerintah untuk penyelesaian konversi gas tersebut," tambah Adhiguna.

Meski PGN telah berulangkali menyatakan ‘siap’ untuk menjalankan proyek konversi gas, perusahaan belum memberikan rencana yang jelas mengenai bagaimana investasi akan dilakukan ke depan, dan imbasnya terhadap keuangan PGN. Dengan utang sekitar US$ 2 miliar yang akan jatuh tempo tahun 2024, PGN perlu memastikan kondisi keuangannya akan tetap dalam keadaan baik.

Sejauh ini, tidak banyak informasi mengenai bagaimana dukungan pemerintah untuk PGN akan diberikan.

Keekonomian ssLNG bagi PGN akan dinilai dengan teliti oleh para investor. Dengan total aset sebesar US$ 7,5 miliar, volume transmisi lebih dari 1.250 BBTUD dan distribusi lebih dari 820 BBTUD tahun 2020, investor PGN akan mempertanyakan kelayakan penambahan investasi lebih dari US$ 1,5 miliar yang hanya akan menambah kapasitas sebesar 167 BBTUD.

“Ada alasan mendasar mengapa ssLNG telah lama tersangkut di meja perencanaan, kelayakan ekonomi proyek ssLNG sangatlah sulit,” ujar Adhiguna. “Investasi yang dibutuhkan per unit kapasitas bisa lebih dari dua sampai empat kali lipat besarnya investasi proyek LNG skala konvensional yang ada," tambahnya.

“SsLNG kehilangan keuntungan skala keekonomian yang dimiliki LNG konvensional. Biaya untuk rantai pasok LNG konvensional biasanya mencapai 10-20% dari harga gas total, sementara biaya pasok ssLNG dapat mencapai 30-50% dari harga gas akhir," tegas Adhiguna.

Adhiguna mengatakan, dalam industri gas yang dikenal sangat menekankan disiplin dalam belanja investasi, investor akan memperhatikan dengan seksama sejarah investasi PGN dalam LNG, termasuk rendahnya tingkat utilisasi FSRU Lampung, dan juga sejarah perencanaan permintaan gas PLN yang kerap berubah-ubah.

Menurutnya, Indonesia tengah menghadapi tantangan ganda, untuk membangun pasar gas domestik secepat mungkin, dan pada waktu yang sama, mengantisipasi penurunan produksi gas dalam beberapa dekade ke depan. Berbagai kebijakan lain telah disusun untuk menumbuhkan konsumsi gas domestik, namun sangat penting untuk memastikan kelayakan ekonomi rencana tersebut, karena manuver-manuver kebijakan pemerintah yang terjadi secara mendadak dapat dengan mudah memutarbalikkan kelayakan investasi proyek.

Utuk itu disarankan olehnya, PGN perlu melangkah dengan hati-hati, seiring dengan banyaknya pemangku kepentingan yang tengah mengamati dengan seksama. R3



IEEFA: Konversi Pembangkit Listrik Diesel ke Gas Masih Belum Ekonomis IEEFA: Konversi Pembangkit Listrik Diesel ke Gas Masih Belum Ekonomis Reviewed by Ridwan Harahap on Kamis, Agustus 26, 2021 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.