Omong Kosong Bila UU Perkoperasian Baru Bukan Prioritas


Jakarta, OG Indonesia --
Perdebatan tentang penyempurnaan regulasi tentang Perkoperasian kembali mengemuka dengan polemik seberapa pentingnya prioritas UU Perkoperasian yang baru. Padahal selain tercantum dalam pasal 33 UUD 45, koperasi Indonesia harusnya jadi motor sistem perekonomian nasional. 

Bahkan sesuai amandemen ke-4 UUD 45, seharusnya dirumuskan sebuah Undang-Undang tentang sistem perekonomian nasional yang berdasarkan pada koperasi. Tapi sayangnya sampai saat ini, pemerintah dan DPR seakan tidak peduli sehingga UU tersebut tak kunjung nyata.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Angkatan Muda Koperasi Indonesia, Frans Meroga Panggabean dalam sebuah dialog dengan tema "Koperasi Menjelma Shadow Banking" di salah satu stasiun TV Swasta Nasional, Selasa (11/9/2022).

"Jadi tidak berlebihan kalau saya bilang omong kosong, kalau kita mau bicara Indonesia maju 2030 dan Indonesia Emas 2045, tapi sungguh miris penyempurnaan UU Perkoperasian tidak menjadi prioritas," tegas Frans.

Lebih lanjut ia menambahkan, target pemerintah menaikkelaskan UMKM dan menjadi andalan untuk meningkatkan PDB, yang tadinya $1 triliun akan meningkat dua atau tiga kali lipat. Sehingga Indonesia nantinya masuk jajaran elit Negara Group Eight (G8).

"Menurut saya akan menjadi hampa belaka kalau kita tidak benahi koperasi kita. Dan harus perkuat dijadikan benar- benar soko guru perekonomian supaya mendongkrak UMKM naik kelas. Disitu lah nanti akan menjadi kongkrit perwujudan Indonesia Maju 2030 dan Indonesia Emas 2045," cetus Frans.

Selanjutnya penyempurnaan UU Perkoperasian tersebut otomatis pula mengatur perkuatan pengawasan terhadap koperasi, terutama koperasi simpan pinjam. Tidak boleh lagi ada banyak celah yang bisa disalah gunakan oleh oknum mengatas namakan koperasi yang tidak bertanggung jawab.

“Kami terus terang sebagai gerakan koperasi sangat terganggu karena banyak di luar sana yang selalu mencoreng nama baik koperasi. Padahal tentunya diketahui masih banyak koperasi yang bagus,” jelas Frans yang juga Ketua KSP Nasari.

"Bentuk pengawasan yang paling tepat seperti apa? Memang harus terpisah dan dibuat khusus, dan tidak disatukan dengan pelaku jasa keuangan lainnya seperti OJK. Jadi harus dibentuk sebuah badan khusus," ujar Frans.

Lalu bagaimana seharusnya meregulasi Koperasi Indonesia dalam pengawasan? Deputi Bidang Perkoperasian KemenKop UKM, Ahmad Zabadi, mengatakan bahwa pada salah satu amar putusan MK yang membatalkan UU Perkoperasian Nomor 17 tahun 2012, memerintahkan pada seluruh pihak terutama pemerintah dan DPR agar segera membuat UU Perkoperasian baru.

"Baik pemerintah maupun DPR dengan posisi yang sama harus berkewajiban menghormati dan mentaati putusan MK. Karena kami berharap dukungan dari DPR (tidak tahun ini) tapi kami berharap tahun 2023, RUU Perkoperasian diprioritaskan untuk mendapat kesempatan pembahasan," kata Zabadi.

Apa yang menjadi urgensi? "Kita ingin membangun ekosistem lembaga koperasi yang kokoh dan solid. Sebagai kita ketahui perbankan hari ini juga memiliki instrumen ekosistem yang kokoh sehingga dihantam badai apapun saat ini masih tetap bisa stabil dan memberikan rasa keamanan dan kenyamanan serta kepastian bagi para nasabah," ujar Zabadi.

Ia memberikan contoh, yang menjadi isu topik hangat ada 8 Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang bermasalah secara keuangan.

Memang perlu mendapatkan perlindungan yang equal dimana misalnya di bank ada LPS  tentu juga dikoperasi ada LPS karena menyangkut dari jumlah anggota koperasi 24 juta dan tidak sedikit ratusan trillun dana dikelola disana.

Soal koperasi seperti apa yang layak menjadi peserta LPS? Dan memang menjadi kekhawatiran dan beban sebagian koperasi. "Memang kita tidak ingin arahkan terutama untuk LPS bagi koperasi-koperasi yang kualifikasi 1 dan 2," ungkapnya.

Seperti diketahui untuk pembagian kelompok koperasi terdiri dari 4 kualifasi  yang nilai dari jumlah anggota, modal dan aset.

Sedangkan koperasi kualifasi 3 dan 4 yang memiliki jumlah anggota lebih dari 9 ribu orang dan modal di atas Rp15 milliar serta aset Rp 100 milliar, yang diarahkan untuk memenuhi standar yang sebagaimana diberlakukan. "Pada umumnya mereka siap salah satunya KSP Nasari," ujar Zabadi.

Gerakan Koperasi juga harus berbenah

Sedangkan Herman Khaeron, Anggota Komisi VI DPR RI merespon bahwa saat ini perlu adanya kepastian dari pemerintah bahwa dengan ekosistem yang dibangun ini memang menjamin terhadap keikutsertaan masyarakat dalam koperasi.

Kalau masih banyaknya persoalan yang terjadi di koperasi sepanjang itu pula belum bisa memastikan bahwa koperasi ini prudent untuk persoalan di sistem finansial.

"Contoh Bappebti, yang saat ini diserang sistem investasi digital, banyak masalah sekali. Oleh Karenanya menurut saya ke depan memang pemerintah harus memasukan dulu proposalnya seperti apa ke DPR," ujar Herman.

Ia menambahkan, sistem yang memang prudent yang menjaga terhadap finansial masyarakat  dan bisa menjaga terhadap asetnya anggota. "Oleh karena itu propasl inilah yang bisa  meyakini kami dimana sih urgensi dari RUU Perkoperasian yang bisa kami revisi," tegasnya.

Menutup diskusi, Ahmad Zabadi mengakui saat ini pemerintah belum maksimal dalam hal pengawasan.

"Makanya kita memerlukan adanya penguatan dalam regulasi. Itulah makanya kami ingin meminta dengan penuh harapan (melalui komisi VI DPR RI), dan dukungan dari seluruh publik terutama gerakan koperasi bahwa hari ini kita sedang menyiapkan suatu RUU yang diharap bisa membangun ekosistem kelembagaan koperasi lebih solid," kata Zabadi. (Dini)

Omong Kosong Bila UU Perkoperasian Baru Bukan Prioritas  Omong Kosong Bila UU Perkoperasian Baru Bukan Prioritas Reviewed by Ridwan Harahap on Jumat, Oktober 14, 2022 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.