Kerugian Pemberlakuan Royalti 0% Hilirisasi Batu Bara Bisa Capai Rp33,8 Triliun per Tahun


Jakarta, OG Indonesia --
Perpu UU Cipta Kerja yang dirilis Pemerintah menghasilkan 
berbagai substansi pasal yang dianggap bermasalah. Salah satu bagian yang menimbulkan kekhawatiran atas dampak buruk bagi perekonomian, ketahanan energi dan lingkungan hidup adalah Paragraf 5 Pasal 128A berkaitan dengan perubahan iuran produksi/royalti produk hilirisasi batu bara menjadi 0%. 

Dalam rangka mengkaji lebih dalam konsekuensi dari pemberlakuan Perpu Cipta Kerja, CELIOS (Center of Economic and Law Studies) telah melakukan studi dan memperoleh berbagai temuan.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengungkapkan, Studi CELIOS menyimpulkan salah satu poin yang sangat krusial dalam Perpu Cipta Kerja di bidang energi dan lingkungan, yakni kebijakan royalti hilirisasi batu bara sebesar 0% dalam Perpu Cipta Kerja. 

"Berdasarkan perhitungan CELIOS apabila insentif ini diberlakukan dapat memicu terjadinya kerugian bagi negara yang cukup besar. Dengan asumsi total produksi batu bara sebesar 666,6 juta ton per tahun, potensi kehilangan royalti ditaksir mencapai Rp33,8 triliun per tahunnya. Jika kebijakan berlaku dalam 20 tahun ke depan, maka diperkirakan negara alami kerugian hingga Rp676,4 triliun. Potensi kerugian tersebut setara membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit. Oleh karena itu implementasi Perpu Cipta Kerja harus secara tegas dibatalkan," ucap Bhima, Rabu (1/2/2023).

Peneliti Hukum CELIOS, Muhammad Saleh mengatakan Perpu Cipta Kerja tidak mendorong Indonesia menuju Transisi Enegi karena beberapa alasan. Pertama, Perpu tidak memiliki basis kajian lingkungan. Kedua, Perpu tidak mengadopsi prinsip atau asas pembangunan berkelanjutan. Ketiga, komitmen Transisi Energi hasil G20 Bali tidak diakomodasi dalam Politik Legislasi Perpu. 

"Terakhir, Perpu melemahkan Kebijakan Transisi Energi berkeadilan Dalam RUU EBT yang tengah dibahas dalam bentuk memberi insentif bagi perusahaan batu bara untuk terus melakukan eksploitasi," ucapnya.

Menurut Muhammad Saleh, selain Pasal 128A tentang perubahan royalti 0% hilirisasi batu bara, terdapat berbagai pasal yang bermasalah, di antaranya: Pasal 2 dan 3 Tidak Mengadopsi Prinsip Atau Asas Pembangunan Berkelanjutan; Pasal 38 ayat (3) mengatur pinjam pakai hutan untuk pertambangan yang tidak terkontrol dan sangat terpusat; Pasal 25 Pengurangan Keterlibatan Masyarakat dalam Penyusunan Amdal; Pasal 24 Perubahan Konsep tentang Amdal yang hanya menjadi dasar Uji Kelayakan, bukan penentu keputusan; Pasal 162 Norma Represif Bagi Aktivis Tambang; Pasal 110A dan Pasal 110B Penghapusan Pelanggar izin berusaha di kawasan Hutan; Pasal 18 Dihapusnya kecukupan luas kawasan hutan minimal 30 persen; dan Pasal 92, Pasal 35 dan Pasal 292A Tidak ada insentif dan kemudahan untuk dunia usaha melakukan transisi EBT.

Beberapa temuan menarik lainnya dari riset ini di antaranya:

1. Kehilangan royalti akibat kebijakan hilirisasi batu bara akan berdampak terhadap pelebaran defisit anggaran pada 2023. Sebelumya pemerintah telah menetapkan batas defisit di bawah 3% atau sebesar 2,84% setara Rp598,2 triliun. Target pada APBN 2023 berisiko meleset akibat pemberian insentif Perpu Cipta Kerja ke sektor batu bara. Kehilangan royalti yang seharusnya diterima pemerintah dari sektor batu bara akan menambah hingga 5,7% dari total defisit anggaran 2023;

2. Penghematan dari kerugian negara sebesar Rp33,8 triliun dapat digunakan untuk membangun 15.281 sekolah dan 201 rumah sakit. Jika kehilangan royalti di akumulasi hingga 20 tahun maka pendapatan yang seharusnya diterima negara bisa dimanfaatkan untuk membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit.

3. Perpu Cipta Kerja memberikan efek negatif terhadap transfer dana bagi hasil ke daerah penghasil SDA. Padahal, 80% dari PNBP royalti ditransfer ke daerah penghasil, baik level provinsi hingga kabupaten. Tercatat lebih dari 12 provinsi dan puluhan kabupaten masih menggantungkan pendapatan daerahnya dari DBH batu bara;

4. Kebijakan royalti 0% hilirisasi batu bara bertentangan dengan upaya memberikan kompensasi SDA yang adil bagi daerah. Selain itu, kehilangan potensi DBH di tengah booming harga batu bara mengakibatkan dampak signifikan terhadap upaya pengurangan kemiskinan, stimulus pelaku usaha mikro, dan belanja mitigasi dampak kerusakan lingkungan di daerah penghasil SDA;

5. Royalti 0% kepada pelaku usaha sektor batu bara yang melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan batu bara akan mendorong terjadinya hilirisasi komoditas batu bara yang pada akhirnya akan memperpanjang kecanduan Indonesia kepada sumber energi fosil yang tidak ramah lingkungan;

6. Klaim bahwa produk turunan batubara atau Dimethyl Ether (DME) mampu menggantikan impor LNG pun diragukan. Keekonomian DME jauh berada di bawah impor Liquefied Natural Gas (LNG). Hal ini menunjukkan adanya solusi palsu (false solution) dalam mendorong efisiensi energi di Indonesia;

7. Hadirnya insentif royalti 0% bagi hilirisasi batu bara, membuat perbankan cenderung kembali melakukan penetrasi kredit ke sektor pertambangan batu bara dalam jangka panjang. Per November 2022, penyaluran kredit investasi di sektor pertambangan tumbuh 74,2%, sementara kredit modal kerja ke sektor pertambangan naik 31% secara tahunan. Situasi ini akan menimbulkan risiko pengurangan porsi penyaluran kredit pada sektor yang justru dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi. R2

Kerugian Pemberlakuan Royalti 0% Hilirisasi Batu Bara Bisa Capai Rp33,8 Triliun per Tahun Kerugian Pemberlakuan Royalti 0% Hilirisasi Batu Bara Bisa Capai Rp33,8 Triliun per Tahun Reviewed by Ridwan Harahap on Rabu, Februari 01, 2023 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.