Foto: Ridwan Harahap
Jakarta, OG Indonesia -- Upaya Indonesia untuk mempercepat transisi energi
dengan mengakselerasi pemakaian energi terbarukan masih menghadapi tantangan
serius, meski dokumen perencanaan seperti Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik (RUPTL) 2025-2034, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan
peta jalan Net Zero Emission
Indonesia (NZE) telah disusun. Salah satu hambatan terbesar dalam akselerasi
energi terbarukan adalah mekanisme pengadaan energi terbarukan yang kredibel,
transparan, dan mampu menarik investor.
Analis dan pegiat masyarakat sipil menyoroti pentingnya reformasi tata kelola pengadaan energi terbarukan. Grita Anindarini, Senior Strategist Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan bahwa mekanisme pengadaan pembangkit yang transparan dan terjadwal guna menciptakan ekosistem persaingan usaha yang sehat dan adil menjadi krusial untuk mempercepat akselerasi energi terbarukan.
Jika itu dilakukan, menurut dia, hal ini akan berdampak positif karena Peraturan Menteri ESDM No. 5 Tahun 2025 sebenarnya telah membangun ruang yang lebih fleksibel dalam perjanjian jual beli listrik (PPA), memberikan kemudahan negosiasi bagi pengembang dan PLN dalam menentukan skema yang paling sesuai dengan kebutuhan proyek.
“Tanpa perbaikan mendasar pada mekanisme pengadaan, target ambisius transisi energi hanya akan menjadi dokumen tanpa realisasi. Reformasi pengadaan energi terbarukan yang kredibel adalah kunci agar investasi mengalir dan transisi energi Indonesia benar-benar terjadi, bukan sekadar wacana,” katanya dalam diskusi bertajuk “RUPTL Pertama Pemerintahan Prabowo: Bagaimana Imbasnya ke Kedaulatan Energi dan Aksi Iklim Indonesia” yang diselenggarakan oleh CERAH.
Grita menambahkan tentang pentingnya pembagian risiko yang adil maupun jaminan pemerintah yang memadai, misalnya jaminan terkait pengadaan tanah yang selama ini menimbulkan biaya besar dalam tahap awal pembangunan energi terbarukan juga sangat dibutuhkan. “Namun, pemberian jaminan tersebut perlu tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, sehingga transisi energi tidak hanya cepat tetapi juga berkelanjutan dan inklusif,” kata Grita.
Senada dengan argumen di atas, Dody Setiawan, Analis Senior Iklim dan Energi dari EMBER, mengatakan bahwa dalam lima tahun ke depan PLN harus menambah PLTS dan PLTB sebesar 868 MW per tahun, di mana kapasitas ini naik empat kali lipat dari RUPTL sebelumnya. Untuk mencapai target tersebut, PLN dan IPP perlu melakukan beberapa langkah penting, di antaranya pengembangan pipeline proyek, yaitu dalam pengadaan energi terbarukan juga perlu adanya timeline yang jelas untuk masing-masing proyek.
“Tidak sekedar target commercial operation date (COD), di mana biasanya proses pengadaan itu tiga tahun sebelum COD, kalau kurang dari itu hampir bisa dipastikan proyek akan mundur,” tuturnya.
Kedua, lanjut Dody, perlunya simplifikasi dan debottlenecking proses pengadaan proyek energi terbarukan, di mana hal ini perlu dilihat dari kapasitas besarnya proyek energi terbarukan yang bervariasi dan memberikan kesempatan untuk investor dalam negeri juga untuk terlibat dalam pengembangan energi terbarukan. “Terakhir, pentingnya pembaharuan status masing-masing proyek secara rutin. Artinya, update RUPTL secara rutin menjadi penting untuk memantau perkembangan energi terbarukan yang lebih terencana,” tuturnya.
Studi yang dilakukan oleh Alin Halimatussadiah dari Departemen Ilmu Ekonomi, FEB UI dan beberapa peneliti dari berbagai universitas mengidentifikasi pengadaan (procurement) sebagai hambatan utama investasi energi terbarukan di Indonesia. Temuan itu tertuang dalam artikel jurnal berjudul “The country of perpetual potential: Why is it so difficult to procure renewable energy in Indonesia?”.
Studi tersebut menemukan di level program, volume pengadaan yang tidak memadai, kebijakan harga yang tidak menarik, serta proses pengadaan yang tidak transparan dan tidak efisien menurunkan kepercayaan investor. PLN, sebagai satu-satunya pembeli dan pelaksana pengadaan, memiliki potensi konflik kepentingan karena juga berperan sebagai produsen listrik.
Studi itu juga merekomendasikan reformasi institusi pengadaan agar lebih independen, meningkatkan transparansi proses, serta mengurangi dominasi batu bara melalui kebijakan harga yang lebih adil. Tanpa perubahan mendasar, Indonesia berisiko gagal mencapai target energi terbarukan dan kehilangan peluang ekonomi masa depan.
Bondan Andriyanu, Team Leader Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan RUPTL 2025-2034 yang baru saja diluncurkan menunjukkan adanya ambisi pemerintah untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di atas energi fosil. Namun, pola lama tampaknya masih berulang, target besar, realisasi kecil. Menurut Bondan, tren membagi menjadi dua tahap pengembangan pembangkit dalam RUPTL 2025-2034 dengan dokumen RUPTL sebelumnya, yaitu 2021-2030, merupakan tren berulang.
“RUPTL yang terbaru, dari total 42,2 GW EBT yang akan dibangun, ternyata lebih dari 68% penambahan pembangkit EBT baru direncanakan di 2030. Di mana pola ini berulang dari RUPTL sebelumnya. Poin ini penting untuk dikawal, karena pembangkit energi terbarukan digeser mundur lagi dan digantikan pembangkit fosil,“ katanya. Menurut dia, sebagian besar proyek EBT juga masih ditempatkan di paruh akhir periode RUPTL, sehingga risiko ketertinggalan juga semakin besar. RH