![]() |
Dwi Soetjipto, mantan Direktur Utama Pertamina. |
Jakarta, OG Indonesia -- Menjelang Peringatan Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, DS Research Center (DRSC) dan EM Transformation Academy (EM) melakukan kolaborasi mendorong tumbuhnya para pemimpin korporasi yang akan turut menggerakan transformasi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045.
Hari ini, Rabu 13 Agustus 2025, DRSC dan EM menyelenggarakan Edisi Perdana DSRC Dialog Series Leading The Shift dengan tema “Menyoroti peran pemimpin sebagai penggerak utama transformasi”. Kegiatan ini menghadirkan CEO dan para pemimpin korporasi dari berbagai sektor, mulai energi, keuangan, manufaktur hingga media.
Transformasi adalah keniscayaan bagi suatu organisasi perusahaan untuk bisa survive dan tumbuh. Transformasi yang sukses ditandai dengan inovasi dan menghasilkan output yang lebih baik. Pada dasarnya, berhasil tidaknya transformasi di satu organisasi, ditentukan oleh kompetensi, kapabilitas, dan keberanian dari pemimpinnya.
Dalam dialog tersebut, mantan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto memaparkan, transformasi di satu perusahaan harus merupakan jawaban atas tantangan yang dihadapi perusahaan tersebut, baik secara internal maupun eksternal.
“Salah satu output dari transformasi adalah budaya kerja baru yang lebih sehat dan produktif. Di Pertamina misalnya, output dari transformasi adalah budaya kerja Pertamina, strategi dan visi perusahaan yang lebih realistis, berubahnya mindset karyawan, dan output yang sifatnya kuantitatif. Misalnya, keberhasilan meningkatnya secara signifikan laba bersih Pertamina dari US$ 1,45 miliar di tahun 2014 menjadi US$3,15 miliar pada tahun 2016, atau meningkat 122%,” kata Dwi Soetjipto.
Menurut mantan Kepala SKK Migas ini, untuk memajukan satu perusahaan, transformasi jangka pendek (2 – 3 tahun) bisa dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan produksi. Untuk jangka menengah (5 – 7 tahun) bisa dilakukan dengan membangun pabrik baru. Sedangkan untuk jangka panjang, (lebih dari 10 tahun) transformasi harus dilakukan dengan menguasai teknologi (sesuai bidang bisnis).
Ditambahkan olehnya, pemimpin yang menjadi motor transformasi mutlak harus memiliki keberanian mengambil risiko, karena bagaimanapun transformasi memiliki dua sisi: sukses dan gagal. Selain itu, pemimpin dalam satu proses transformasi, juga harus berani memberikan kepercayaan kepada anak buah.
Sementara Direktur Manajemen Risiko PT Pertamina Hulu Energi, Whisnu Bahriansyah mendefinisikan transformasi dalam satu kalimat, “keluar dari comfort zone, melakukan sesuatu yang lebih sulit, lebih keras dari sebelumnya, untuk menghasilkan (output) yang lebih baik.”Apa tool utama untuk menjalankan transformasi? Menurutnya dengan membuka komunikasi dan mengelola waktu.
“Membuka jalur komunikasi yang membuka semua kelemahan, kesalahan, dan keburukan perusahaan. Karena tujuan dari transformasi adalah meningkatkan performance perusahaan. Artinya, menghilangkan semua kelemahan perusahaan menjadi agenda utama dari transformasi,” kata Whisnu.
Instrumen kedua dalam menjalankan transformasi adalah waktu. Setelah ditetapkan apa saja agenda transformasi, harus juga ditetapkan deadline-nya. Jika tidak dibatasi waktunya, transformasi akan kehilangan arah dan tidak tegas dalam menjalankan agendanya.
Tantangan lain untuk menjalankan transformasi adalah waktu dan biaya. Untuk menjalankan agenda-agenda baru, diperlukan biaya. Jadi, perusahaan harus memiliki kemampuan finansial yang memadai, peningkatan kemampuan teknis, dan Sumber Daya Manusia yang unggul.
Sementara praktisi industri media, Primus Dorimulu dalam paparannya mendeskripsikan transformasi dalam satu kata: hijrah. Transformasi adalah memulai sesuatu yang baru, lebih tinggi tingkatannya. Pada intinya, transformasi adalah berubah menjadi lebih baik. “Dalam satu proses transformasi, tidak boleh menoleh ke belakang,” ucap Primus.
Terkait peran kecerdasan buatan (AI) yang makin besar, termasuk di lingkungan perusahaan, Primus mengatakan, ada tiga sifat manusia yang tidak bisa ditiru oleh AI, yaitu, critical thinking, creativity, dan kolaborasi. Poin-poin itu yang harus ditransformasikan oleh para pemimpin kepada SDM-nya. Tesis itu berlaku baik pada skala perusahaan atau negara. Karena, pada dasarnya, the real innovators adalah pemimpin negara dan pemimpin perusahaan. RH
