![]() |
Karyawan Harita Nickel tengah melakukan kegiatan penanaman bakau atau mangrove di kawasan Halmahera Selatan. Foto-foto: Dok. Harita Nickel |
Jakarta, OG Indonesia – Konsep Environmental, Social, dan Governance (ESG) belakangan ini kerap diusung para pelaku bisnis dan investasi di dunia. Bukan sekadar tren, aspek ESG dianggap penting sebagai salah satu syarat dari keberlanjutan dan kehidupan jangka panjang suatu perusahaan. Apalagi untuk industri ekstraktif yang terkait langsung dengan eksploitasi sumber daya alam (SDA).
Seperti Harita Nickel yang saat ini salah satu lini
bisnisnya berfokus di bidang pertambangan dan pengolahan nikel di Pulau Obi, Kabupaten
Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, lewat PT Trimegah Bangun Persada (TBP).
Dindin Makinudin, Community Affairs General Manager Harita Nickel memaparkan
bahwa kehadiran ESG dipicu dengan perhatian yang lebih kepada isu-isu
lingkungan, sosial, serta tata kelola yang turut memengaruhi kinerja keuangan
perusahaan. Apalagi dalam tataran global
muncul kesadaran serta komitmen bersama untuk menuju net zero emmission tahun
2050.
Menurutnya, industri jasa keuangan terutama investor dan
bank ingin memastikan bahwa investasi yang mereka tanamkan di perusahaan lebih
aman dan memberikan kinerja yang lebih baik, terutama dalam jangka menengah dan
jangka panjang. “Investor dan bank
semakin memperhatikan ESG untuk memastikan investasi dan kinerja jangka panjang
perusahaan, khususnya dalam konteks keberlanjutan,” tutur Dindin dalam diskusi Energy
Editor Society (E2S) dengan tema “Uncovering ESG Transformation in
Indonesia’s Nickel Mining Industry” di Jakarta, awal Juli 2025.
“Harita Nickel menjadikan ESG sebagai sebuah strategi bisnis
dari perusahaan karena kami meyakini perubahan iklim di sektor lingkungan,
pertambangan berkelanjutan, dan harapan para pemangku kepentingan, itu sangat
berkorelasi positif dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, penciptaan nilai,
manajemen risiko, hingga pembangunan kepercayaan serta akses terhadap modal,”
bebernya.
Kelola Limpasan Air
Ikut bersolek ESG, kegiatan operasional Harita Nickel telah
memerhatikan salah satu aspek ESG yaitu “E” alias enviromental atau
lingkungan sekitar tambang. Disebutkan dalam laman resmi perusahaan, pembukaan
lahan tambang di Obi sudah turut rencana tata ruang yang menyeimbangkan antara pengembangan
infrastruktur tambang dengan aspek ekologi kawasan seperti menjaga biodiversitas
hingga mengelola limpasan air. Sebagai informasi, kegiatan penambangan nikel di
Pulau Obi merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) sehingga wilayah
penambangan Obi tergolong Obyek Vital Nasional (Obvitnas).
Untuk itu Harita Nickel perlu mengelolanya secara baik. Kawasan
Pulau Obi memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata antara 1.000 mm
sampai 2.000 mm per tahunnya. Karena itu, pengelolaan limpasan air penting
dilakukan seiring adanya aktivitas pertambangan yang tentunya akan membuka
lahan.
Harita Nickel menerapkan mine water management atau pengelolaan
air di kawasan tambang dengan membuat sediment pond atau kolam
pengendapan. Di mana Harita Nickel membuat saluran drainase lengkap dengan drop
structure yang berfungsi untuk menahan laju aliran air, menangkal erosi,
serta memastikan air limpasan melalui pengendapan terlebih dahulu sebelum
disalurkan ke kolam pengendapan. Kolam tersebut berperan penting mengendapkan
Total Suspended Solids (TTS) demi menjaga kualitas air limpasan yang mengalir
ke hilir atau kawasan laut.
Mine water management dengan kolam pengendapan ala Harita Nickel. |
Jika dilihat dari udara, kolam pengendapan terlihat rapi
diatur berderet. Kapasitas kolam-kolam tersebut terus ditingkatkan secara
proporsional, mengikuti luas bukaan lahan di area tangkapan air. Saat ini luas
total kolam pengendapan telah mencapai 100 hektare (ha) dan mampu menampung 1,2
juta meter kubik air limpasan. Di kolam ini, kualitas air dipantau secara rutin
agar tetap sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan berdasarkan regulasi dari pemerintah.
Selain pengelolaan air, diterangkan Dindin, upaya lain yang
juga dilakukan Harita Nickel dari sisi lingkungan adalah terkait pengurangan
emisi dan manajemen limbah, konservasi sumber daya alam, rehabilitasi lahan lewat penanaman pohon,
sampai konservasi ekosistem laut lewat pelestarian hutan bakau atau mangrove hingga restorasi terumbu karang.
Utamakan Tenaga Kerja Lokal
Sementara terkait aspek “S” atau social, Harita
Nickel memerhatikan lingkungan sekitar dari kawasan Pulau Obi. Di Pulau Obi
yang seluas 2.542 kilometer persegi terdapat 5 kecamatan dan 34 desa, dengan
jumlah penduduk sekitar 53.182 jiwa. Untuk ring 1 perusahaan ada Desa Kawasi
dengan jumlah penduduk sebanyak 1.281 orang. Para warga lokal tersebut
diutamakan dalam perekrutan tenaga kerja oleh Harita Nickel. “Serapan tenaga kerja
kami lebih dari 22.000 (pekerja) yang ada di site, di mana 85 persennya
itu WNI dan 45 persennya adalah penduduk lokal dari Maluku Utara,” terang
Dindin.
![]() |
Profil Proyek Strategis Nasional (PSN) tambang nikel di Pulau Obi yang dikelola oleh Harita Nickel lewat PT Trimegah Bangun Persada. Sumber: Harita Nickel |
Contohnya di Halmahera Selatan, di mana besaran Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) meningkat secara drastis setelah adanya
aktivitas hilirisasi nikel sejak 2016. Tercatat, industri pengolahan nikel berkontribusi
sebesar 54,59% terhadap PDRB, sementara kegiatan pertambangan dan penggalian
menyumbang porsi 16,36%. “Ini mengindikasikan hilirisasi nikel sukses memantik
ekonomi di Halmahera Selatan,” imbuh Dindin.
Lima Pilar Pemberdayaan Masyarakat
Tak hanya, itu, Harita Nickel juga tetap menjalankan
kewajiban perusahaan terkait pemberdayaan masyarakat sekitar tambang. Ada lima
pilar pemberdayaan masyarakat yang diterapkan yaitu pelayanan kesehatan,
pemberdayaan ekonomi, pendidikan, infrastruktur, dan sosial budaya. Kelima
pilar tersebut telah diserap dan disarikan dari delapan pilar seperti amanah Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1824 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Salah satu program tanggung jawab sosial andalan Harita Nickel
adalah “One Village One Product Supply Chain”. Lewat program ini Harita Nickel
menciptakan ekosistem rantai pasok kebutuhan pokok para pekerja yang lebih dari
22.000 jiwa ditambah ribuan orang lagi dari penduduk sekitar. Komoditas seperti
beras, ayam potong, aneka ikan, telur ayam, tahu, cabe keriting, bawang merah,
daging sapi, minyak goreng, hingga buah semangka, harus disediakan di Pulau Obi.
“Ini membuka peluang usaha. Kami memberdayakan pengusaha lokal,” tegasnya.
Dindin membeberkan ada 26 kelompok tani dan UMKM dengan 414
anggota, serta 65 supplier lokal yang mempekerjakan sekitar 254 karyawan
yang turut terlibat memenuhi kebutuhan bahan pokok sehari-hari dari para
pekerja Harita Nickel melalui integrated farming system. Diperkirakan
setiap bulannya ada uang senilai Rp14 miliar yang berputar dari transaksi supplier
lokal dari ekosistem tersebut.
Ada lagi program pengembangan UMKM Obi Jaya Mandiri yang
terdiri dari tujuh unit bisnis dari membuat aneka produk snack, olahan rempah,
sampai membuka kafe. Obi Jaya Mandiri melibatkan 51 anggota perempuan dengan
total pendapatan dari keseluruhan program UMKM sebesar Rp5,1 miliar per bulan. “Ini
buktinya sudah ada dan ini belum mencapai titik maksimum, kalau dilihat dari
sisi peluang mungkin baru 25 persen bisa kita respon. Demand masih
tinggi, target kami mau meningkatkan lagi di tahun ini,” ujarnya.
Untuk pengembangan agrikultur dan perikanan, Harita Nickel membina 22 kelompok tani dengan total anggota 420 orang untuk delapan program tani utama. Tak hanya itu, Harita Nickel juga membantu mengembangkan produk hilir pertanian dan perikanan dalam bentuk produk minyak atsiri, produk turunan kelapa dan olahan pala, tahu dan tempe, hingga industri hilir perikanan untuk ikan tuna, cakalang, dan ikan dasar beku.
![]() |
Seorang ibu warga Desa Soligi, Pulau Obi, sedang menunjukkan produk olahan tempet dari sentra produksi Rumah Usaha Tangguh Ekonomi (RUTE) binaan Harita Nickel. |
Sementara untuk program CSR di bidang pendidikan, Harita Nickel
memfasilitasi mulai dari makan gratis, pembangunan sekolah SD, SMP, dan SMA di pemukiman
baru Desa Kawasi, fasilitas bus sekolah, sampai infrastruktur sekolah seperti laboratorium
komputer sekolah. Ada juga program Harita Mengajar yang berbagi pengetahuan dan
keterampilan kepada masyarakat sekitar tambang, Harita Gemilang yang telah
memberikan beasiswa kepada 60 mahasiswa asal Pulau Obi, hingga program Pelita
yaitu pelatihan vokasional untuk pekerjaan Overhead Crane Operator, Loader, dan
Mandarin Training.
Sedangkan untuk aspek “G” alias governance atau tata
kelola perusahaan, Harita Nickel mencermati pentingnya etika bisnis, sistem
manajemen risiko, serta kebijakan dan tata kelola yang tepat. “Ini adalah untuk
implementasi dan pemantauan inisiatif berkelanjutan,” jelasnya.
Tahap 2 Audit IRMA
Dengan menyempurnakan aspek-aspek ESG yang diimplementasikan
perusahaan, lanjut Dindin, Harita Nickel percaya diri membawa bisnisnya ke
kancah global. “Kami berkomitmen terhadap penerapan standar global yang dalam
hal ini kami sudah menerapkan sertifikasi IRMA atau The Initiative for
Responsible Mining Assurance,” urai Dindin.
Asal tahu saja, IRMA merupakan merupakan program audit atau
penilaian pihak ketiga secara independen yang diakui secara internasional
terkait pertambangan yang lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.
Berdasarkan informasi, saat ini PT Trimegah Bangun Persada sebagai bagian dari
Harita Nickel tengah menjalani proses assessment untuk mendapatkan sertifikat
IRMA.
Audit telah dimulai pada Oktober tahun 2024, lalu memasuki tahap kedua yakni audit lapangan pada bulan April 2025. “Saat ini kami sudah melakukan self assessment, terus stage 1 sudah selesai dan berlanjut stage 2 dalam proses penilaian,” ungkap Dindin. Pihak Harita Nickel berharap proses audit dapat diselesaikan pada paruh kedua tahun 2025 ini.
Selain IRMA, Harita Nickel juga mengikuti penilaian Responsible
Minerals Assurance Process (RMAP) dari Responsible Minerals Initiative (RMI)
terkait kesesuaian atas praktek pengadaan bertanggung jawab. Hal ini dilakukan
demi mendorong praktek pengadaan mineral yang bertanggung jawab dalam rantai
pasokan, terutama untuk menghindari penggunaan mineral dari daerah konflik dan
area berisiko tinggi.
Harita Nickel juga telah menunjukkan komitmennya terhadap
standar International Financial Reporting Standards (IFRS), di mana kesiapan
perusahaan terhadap IFRS Sustainability Disclousure Standard 1 sudah mencapai
80%, sementara untuk Standard 2 sekitar 65%. “Kami juga patuh terhadap SMK3,
SMKP Audit di tahun 2022, ISO terkait Healt & Safety dan ISO Environmental
Management. Tentunya itu adalah bagian dari good mining practice yang
harus kami lakukan,” papar Dindin.
Seimbangkan Pertumbuhan Ekonomi dan Tanggung Jawab
Lingkungan
Masih dalam kesempatan diskusi E2S “Uncovering ESG
Transformation in Indonesia’s Nickel Mining Industry”, Hendra Gunawan,
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), menyampaikan pentingnya pelestarian lingkungan yang
berkelanjutan.
Disampaikan olehnya, Indonesia yang saat ini memiliki
cadangan nikel terbesar di dunia mencapai 5,3 miliar ton ore dan sumber daya
nikel sebesar 18,5 miliar ton ore. Indonesia kini juga menjadi produsen nikel nomor
satu di dunia, sekitar 50,5% dari total produksi nikel dunia. Namun pada sisi
lain, menurutnya Indonesia juga harus mengupayakan transisi energi serta mewujudkan
net zero emmission tahun 2060 yang bertujuan untuk menyeimbangkan
pertumbuhan ekonomi dan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Karena itu Pemerintah terus mendorong hilirisasi industri
dari sumber daya alam critical yang dimiliki dengan melakukan berbagai
transformasi strategis dan kebijakan inovatif. “Di saat yang sama
prinsip-prinsip transisi energi yang berkeadilan perlu kita terapkan, tidak
boleh ada yang tertinggal. Kita perlu terus menegakkan pentingnya kepastian
investasi, penerapan prinsip ESG yang kuat serta keterlibatan aktif para
pemangku kepentingan dalam proses transisi ini, khususnya dalam industri
pertambangan mineral dan batu bara,” ucap Hendra.
Guna mewujudkan pertambangan hijau di dalam negeri,
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Undang-Undang Pertambangan yang baru tersebut turut
mendukung pelaksanaan ESG sebagai landasan praktik pertambangan yang hijau dan
bertanggung jawab.
Hendra memaparkan beberapa poin penting terkait standar ESG dalam Undang-Undang Pertambangan. Untuk aspek Environmental, termuat urusan manajemen dan monitoring lingkungan hidup, reklamasi dan kewajiban pasca tambang, serta sanksi dan konsekuensi ketidakpatuhan. Lalu untuk aspek Social, adanya amanat terkait pemberdayaan pengembangan masyarakat serta pemanfaatan tenaga kerja dan jasa usaha lokal.
Pemukiman Kawasi Baru menjadi bukti dukungan Harita Nickel dalam pemenuhan akan kawasan hunian warga Desa Kawasi lengkap dengan berbagai infrastrukturnya. |
Sedangkan untuk aspek Governance, disebutkan bahwa
kegiatan pertambangan hanya bisa dilakukan dengan izin dari Pemerintah Pusat.
Lalu pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) wajib melakukan peningkatan nilai
tambah. Serta pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan
terhadap kepatuhan dan setiap pelanggaran dikenakan sanksi administratif atau
pidana.
“Pada dasarnya upaya untuk mendukung penerapan standar ESG
yang ada dalam Undang-Undang Pertambangan dimaksudkan untuk memperkuat upaya
hilirisasi strategis dan transisi energi melalui kewajiban penerapan praktik
pertambangan hijau,” tutur Hendra. Dia mengingatkan, transformasi sektor
mineral dan batu bara bukan semata-mata soal mesin, logam, atau karbon,
melainkan juga tentang mendorong keberlanjutan guna mewujudkan transisi energi
dengan praktik pertambangan berkelanjutan dan berjalannya hilirisasi.
Dunia Memantau
Apalagi ada dorongan eksternal dari lingkungan global. Meidy
Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI),
menjelaskan bahwa market yang ada di dunia membutuhkan adanya standar ESG yang
dianggap memberikan nilai tambah dari perspektif lingkungan. Dengan demikian,
produk dari perusahaan dengan skor ESG yang tinggi akan lebih mudah diterima di
pasar global. Apalagi sejumlah perusahaan manufaktur kendaraan ternama di
dunia, seperti Tesla, Mercedes Benz, BMW, Volkswagen, sampai Ford telah
terlibat dengan IRMA.
Kendati demikian, APNI memiliki sejumlah catatan dari list
parameter seperti yang diberlakukan oleh IRMA, di mana sebenarnya standar
ESG internasional tidak terlalu pas dengan industri pertambangan di Indonesia.
Meidy menyoroti masih banyak industri nikel di luar negeri yang masih memanfaatkan
energi kotor seperti batu bara, padahal industri di Indonesia sudah tidak
menggunakannya. Kompleks industri tambang dan smelter di Indonesia pun dinilai
Meidy lebih bersih dan tidak berantakan dibanding sejumlah negara lain di luar
negeri.
“Kalau bicara safety, human rights, mereka nomor satu, apa pun dikalahkan asal kita mengatasnamakan human rights. Tapi kalau bicara environmental, bicara proses, kita lebih proper,” ungkap Meidy. Karena itu Meidy mengingatkan agar industri di dalam negeri jangan sampai abai dalam pemenuhan parameter ESG berdasarkan selera market dunia.
Meidy memaparkan pada dasarnya terdapat tujuh isu ESG yang
menjadi dasar permintaan market di dunia yaitu manajemen tailing, ketelusuran
dan transparansi, keselamatan dan kesehatan kerja, dekarbonisasi, deforestasi
dan keanekaragaman hayati, Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam
hubungannya dengan masyarakat lokal, serta isu terkait penegakan hukum.
Berdasarkan diskusi dengan market di luar negeri, Meidy menceritakan bahwa
sebenarnya Indonesia bisa menyusun standar ESG sendiri tetapi harus selaras dengan
tujuh isu tersebut.
![]() |
Harita Nickel turut melestarikan seni budaya lokal seperti tradisi pencak silat yang ditampilkan pada Pagelaran Kesenian Ngibi di Desa Soligi, Pulau Obi. |
Transformasi ESG Bukan Tujuan Akhir
Dari sudut pandang akademisi, Tri Edhi Budhi Soesilo,
Akademisi Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) mengatakan implementasi
ESG dinilai penting bagi industri tambang nikel. Sebab berdasarkan kajian dari
International Energy Agency (IEA) tahun 2023 lalu, bahwa berdasarkan tren
global, permintaan nikel hijau untuk baterai kendaraan listrik akan mencapai lebih
dari 60% dari permintaan nikel global pada tahun 2030 mendatang. Selain itu,
ada pula tuntutan terkait transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan yang
kian menguat akhir-akhir ini.
Karena itu dia mengapresiasi implementasi ESG oleh Harita Nickel, di mana untuk aspek lingkungan telah membangun smelter berteknologi ramah lingkungan, melakukan konservasi air, mengelola tailing dengan menggunakan metode Dry Stack Tailing (DTS), serta melakukan penghijauan di area pasca tambang.
Lalu untuk aspek sosial, Harita Nickel turut menyediakan
makanan bergizi gratis untuk anak-anak, memberikan beasiswa dan pelatihan
vokasi untuk pemuda lokal, dan ikut melibatkan komunitas dalam pengambilan
keputusan. Sedangkan terkait tata kelola, perusahaan telah membuat laporan keberlanjutan
mengacu pada Global Reporting Initiative (GRI) dan Sustainable Development Goals
(SDG’s), berkolaborasi dengan auditor independen, serta melakukan inisiatif
transparansi melalui publikasi data lingkungan dan sosial.
“Transformasi ESG bukanlah tujuan akhir, tetapi proses
berkelanjutan untuk menjamin bahwa pertumbuhan industri nikel Indonesia tidak hanya
menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga lestari secara lingkungan, adil secara
sosial, dan kuat secara tata kelola,” pesan Budhi.
Harita Nickel tentunya berharap segala upaya yang telah dilakukan perusahaan dalam bersolek ESG akan membuat paras perusahaan kian elok serta dapat membuat pasar dunia terpesona. Kita nantikan saja. RH
