Tegaskan Komitmen Penuhi Perjanjian Paris, Presiden Prabowo Perlu Perkuat Target dan Kebijakan Transisi Energi


Jakarta, OG Indonesia--
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum PBB, yang menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk memenuhi kewajiban Perjanjian Paris layak diapresiasi. Namun, komitmen ini perlu diikuti penetapan target dan kebijakan transisi –dari undang-undang, peraturan pemerintah, hingga RUPTL– yang lebih ambisius agar sejalan dengan Perjanjian Paris. Salah satunya, target net zero emission (NZE) Indonesia seharusnya dipatok jauh lebih cepat dari 2060.

Agung Budiono, Direktur Eksekutif CERAH menilai, rangkaian regulasi sektor energi Indonesia yang ada sekarang belum mencerminkan komitmen Presiden Prabowo terkait Perjanjian Paris. Mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru saja diterbitkan hingga Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru, masih menggelar karpet merah bagi energi fosil. Porsi energi fosil yang diatur dalam KEN masih mencapai 26,1%-32% dan RUPTL masih merencanakan tambahan kapasitas pembangkit berbahan bakar gas dan batu bara hingga 16,6 gigawatt (GW) dalam 10 tahun ke depan.

Padahal, untuk mencapai komitmen Perjanjian Paris, dunia perlu mencapai net zero pada 2050. International Energy Agency (IEA) mengingatkan, target net zero ini hanya dapat direalisasikan jika tidak ada lagi ekspansi baru di sektor batu bara, gas, dan minyak bumi.

“Presiden Prabowo sebelumnya juga telah menyatakan akan mendorong penggunaan 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan, jika target tersebut terealisasi maka Indonesia dapat mencapai net zero pada 2050. Karenanya, sudah seharusnya pemerintah merevisi seluruh kebijakan sektor energi dan ketenagalistrikan, mulai dari KEN hingga RUPTL, agar selaras dengan komitmen tersebut,” Agung menegaskan.

Hal ini berarti, lanjut Agung, pilihan teknologi transisi energi yang termasuk solusi palsu juga seharusnya dihapus dari kebijakan dan perencanaan energi. Pasalnya, teknologi-teknologi ini –seperti co-firing biomassa dan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS)– tidak menghilangkan ketergantungan pada energi fosil dan emisi karbon yang menyertainya.

“Contohnya, proyeksi bauran biomassa dalam KEN hingga 2050 yang mencapai 7,4%-7,6% hanya akan memperpanjang penggunaan PLTU. Jadi adanya “solusi palsu” ini akan mempersulit langkah Indonesia untuk meningkatkan bauran energi terbarukan,” kata Agung.

Menurut Abdurrahman Arum, Direktur Eksekutif Transisi Bersih, salah satu kebijakan yang juga perlu segera direvisi agar konsisten dengan pernyataan Presiden Prabowo adalah penggunaan energi batu bara dalam industri hilirisasi. Hingga saat ini, pemerintah masih memberikan izin bagi perusahaan pengolahan hasil tambang untuk membangun PLTU baru sebagai sumber energi utama. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dan mencapai target NZE sebelum 2060.

“Pemerintah tidak bisa di satu sisi menyatakan komitmen menuju NZE, tetapi di sisi lain justru membuka ruang pembangunan PLTU baru untuk industri smelter. Kontradiksi ini harus dihentikan agar arah transisi energi Indonesia lebih konsisten dan kredibel,” Abdurrahman menegaskan.

Wicaksono Gitawan, Program and Policy Manager CERAH menambahkan, pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump –tepat sebelum pidato Presiden Prabowo, merupakan bukti nyata pengabaian sains. “Pernyataan Presiden Trump bahwa perubahan iklim dan energi hijau adalah penipuan sama sekali tidak mencerminkan apa yang dirasakan seluruh masyarakat global. Tahun 2024 merupakan tahun terpanas sepanjang sejarah bumi, dan pernyataan tidak bijak Trump mengabaikan upaya-upaya kolektif yang sudah dilakukan secara global.”

Di Indonesia, krisis iklim yang membuat cuaca semakin panas diperkirakan akan memperparah krisis pangan. Studi yang dikeluarkan CERAH (2022) menunjukkan bahwa kenaikan permukaan air laut akibat panas suhu bumi –walau hanya satu meter– berpotensi menenggelamkan lebih dari 130 ribu hektare sawah di pesisir. Akibatnya, Indonesia bisa kehilangan satu juta ton produksi beras yang seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan lima juta penduduk. Padahal, dalam pidatonya, Presiden Prabowo juga menekankan Indonesia akan memperkuat ketahanan pangan.

“Jika kita mengikuti logika Presiden Trump yang keliru–bahwa perubahan iklim adalah penipuan–maka taruhannya bagi Indonesia akan sangat besar. Kita sudah melihat secara langsung bagaimana masyarakat sudah merasakan dampak negatif krisis iklim, mulai dari gagal panen hingga banjir rob,” Wicaksono menjelaskan. RH

Tegaskan Komitmen Penuhi Perjanjian Paris, Presiden Prabowo Perlu Perkuat Target dan Kebijakan Transisi Energi Tegaskan Komitmen Penuhi Perjanjian Paris, Presiden Prabowo Perlu Perkuat Target dan Kebijakan Transisi Energi Reviewed by Ridwan Harahap on Rabu, September 24, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.