Refleksi Akhir Tahun 2017: Pertamina dan Ketenagalistrikan Nasional

Oleh: Ihwan Datu Adam, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat

Di dalam dinamika yang berkembang di Komisi VII DPR RI selama tahun 2017, isu migas dan ketenagalistrikan selalu mengemuka. Dalam tulisan singkat ini akan diulas refleksi peran pemerintah terkait penguatan Pertamina dan upaya untuk memperbaiki sektor ketenagalistrikan nasional.

Menyoal BBM Satu Harga 

Sedari awal melalui Komisi VII DPR RI terutama Fraksi Partai Demokrat DPR RI terus mendorong upaya ketahanan energi dan kemandirian energi melalui pengelolaan migas yang berkeadilan untuk kemaslahatan bangsa. Defisit energi di Indonesia kian dirasakan dengan semakin bergantungnya kita terhadap impor minyak, peran minim dari perusahaan migas nasional (hanya sekitar 20% dari seluruh wilayah di Indonesia), semakin rendahnya penemuan wilayah eksplorasi, serta relatif lesunya harga minyak dunia. Persoalan tersebut ditambah dengan konsumsi rata-rata minyak di Indonesia sebesar 1,5 juta barel per hari dengan laju kebutuhan minyak bumi rata-rata 3% per tahun dan dengan  impor  BBM  sekitar  44%  sehingga  diperkirakan  pada  tahun  2025 konsumsi  akan  mencapai  menjadi  sekira  2  juta  barel  per  hari. Padahal  pendapatan hasil minyak dalam negeri rata-rata hanya mampu sekitar 750 ribu sampai 800 ribu barel  per  hari.  Dapat  dibayangkan  kebergantungan  terhadap  minyak  bumi  begitu tinggi, sehingga Pemerintah RI masih harus mencari sumber minyak tersebut dengan membeli dari negara lain. 

Untuk  itu  peran  perusahaan  migas  nasional  yang  teruji  dan  sehat  menjadi keniscayaan. Sampai saat ini PT Pertamina (persero) masih dibebani service obligation untuk memenuhi target distribusi minyak dan gas secara nasional dengan pemerataan akses  dan  harga  sama  di  seluruh  wilayah  Indonesia.  Padahal  banyak  perusahaan migas asing yang beroperasi seperti Total, Chevron, Petronas yang memiliki SPBU di Indonesia tidak diwajibkan melakukan distribusi di luar Pulau Jawa, apalagi di wilayah terpencil yang sangat terbatas infrastruktur migas. Peran itu, kenyataanya diambil alih oleh  PT  Pertamina  (Persero),  sehingga  tugas  dan  tanggung  jawab  perusahaan tersebut  begitu  besar. Profesionalisme,  kemandirian,  kerja  keras,  dan  kejujuran membuat perusahaan ini menjadi sorotan publik di tengah harapan yang begitu besar terhadap  kinerja  yang  dapat  memberikan  kemajuan  bangsa.  Pertanyaannya,  apakah Pertamina akan terus sanggup menanggung beban tersebut?       

Pertamina merupakan aset milik bangsa yang harus diberikan ruang yang cukup untuk peningkatan akselerasi untuk pemanfaatan energi dan sumber daya mineral di Indonesia. Namun sungguh sayang, pada kenyataannya Pertamina yang lebih dulu muncul ketimbang Petronas (Malaysia), tetapi perkembangannya sekarang justru jauh tertinggal dari  Petronas. Hal yang disoroti oleh Fraksi Partai Demokrat terkini yakni, salah satunya soal penugasan satu harga yang diberikan  tidak  berdampak positif dan seakan-akan menjadi beban untuk  pertamina.  

Program  BBM  satu  harga  diatur  dalam  Peraturan  Menteri  ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang percepatan pemberlakuan program BBM satu harga, jenis  BBM  tertentu  dan  BBM  jenis  khusus  penugasan  secara  nasional  yang  berlaku sejak  1  Januari 2017. Implementasi kebijakan  yang berjalan selama 10 bulan tentu harus terus dikawal dan perlu dievaluasi. Meski pemeritah saat ini berargumen hal itu merupakan  kewajiban utama untuk  memberikan solusi terbaik  untuk  masyarakat di seluruh Indonesia. BBM  satu  harga  merupakan  program  inisiatif  oleh  Presiden  Jokowi yang dilatarbelakangi oleh  tingginya  harga  BBM  di  Papua  karena  minimnya  fasilitas  sehingga harganya bisa tembus sampai  Rp.  100.000/liter.  Tingginya  harga  BBM  pada  umumnya  belum  disediakan infrastruktur dan pengiriman BBM pun melalui pesawat yang mengakibatkan tingginya biaya  transportasi. Untuk  itu,  pemerintah  yang  terdiri dari  Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, dan PT Pertamina berupaya mewujudkan BBM satu harga di Papua dan di daerah lain seperti Kalimantan Utara (Kaltara). Di daerah Kaltara yang berbatasan langsung dengan Malaysia, warga Indonesia tak pernah merasakan langsung BBM subsidi dari Pemerintah RI sehingga harus membeli BBM secara ilegal dari  Malaysia  dengan  harga  minimum  Rp. 16.000/liter, atau bahkan  pernah mencapai harga Rp.50.000/liter.   

Pada intinya, Permen ESDM  Nomor 36  Tahun  2016 mengamanatkan badan usaha yang  menyalurkan  BBM  bersubsidi  segera  membangun  penyalur  di  lokasi  tertentu yang  belum  terdapat  BBM  jenis  tertentu  dan  BBM  jenis  penugasan, sehingga masyarakat  dapat  membeli  BBM  dengan  harga  jual  eceran  yang  ditetapkan  oleh Pemerintah alias satu harga untuk seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah menargetkan, hingga akhir tahun 2019 akan beroperasi lembaga penyalur BBM satu harga di 159 lokasi dengan fokus daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Sejak tahun 2016 sampai dengan 20 Desember 2017, PT Pertamina (Persero) telah mengoperasikan 38 Penyalur Satu Harga dan PT AKR Corporindo Tbk telah mengoperasikan 2 Penyalur BBM Satu Harga. Dari 38 lembaga penyalur Pertamina, 9 penyalur telah beroperasi sejak tahun 2016 dan 29 penyalur mulai beroperasi sejak tahun 2017. Adapun 2 penyalur AKR beroperasi pada November 2017 lalu. Lalu, pada 29 Desember 2017 bertambah lagi 17 lembaga penyalur yang seremonialnya diresmikan oleh Presiden Jokowi di Pontianak, Kalimantan Barat. Alhasil, sekarang sudah terdapat total 57 titik lembaga penyalur BBM satu harga yang telah beroperasi.

Namun di balik tugas yang dibebankan ke Pertamina tersebut menyimpan hal negatif. Berbagai  pihak  melalui  media massa  menyebutkan  bahwa Pertamina terbebani dengan penetapan satu harga BBM  jenis  premium  baik  di  Jawa,  Madura,  Bali  maupun  di  luar  Pulau  Jawa. Kementerian  BUMN  menyebutkan  bahwa  Pertamina telah  menanggung kerugian  dari  penjualan  BBM  penugasan  hingga  30  Juni  2017  mencapai  US$ 957.000.000  atau  sekitar  12  triliun.  Itu  bukan  angka  yang  sedikit, dan bisa menjadi potensi yang sungguh  besar sebenarnya buat Pertamina jika dipakai untuk melakukan  investasi. Namun, kerugian Pertamina saat ini memang belum jelas disebabkan oleh sektor apa dan  bagaimana  dapat  terjadi.  Apakah  penugasan  BBM  satu  harga  ini  benar-benar membebani kegiatan di Pertamina? Atau ada aspek lain seperti piutang atau meningkatnya alokasi investasi pengembangan bisnis? Hal itu kalau tidak dicermati  dan  ditempatkan  pada  porsinya  yang  sesuai  maka  akan  menjadi  beban terhadap kemampuan perusahaan migas nasional untuk berdikari.   

Sesuai dengan Permen ESDM Nomor 36 Tahun 2016, penyaluran BBM  untuk  penugasan  relatif  sederhana  yaitu  dari  badan  utama  penugasan  harus membangun  infrastruktur  dan  fasilitas  penyaluran.  Mereka  juga  yang  melakukan distribusi  ke  pelosok  tanah  air. Hal  itu  sebenarnya  sangat  bagus  sebagai  bagian mengambil  peran serta membangun jaringan distribusi nasional, tetapi tentu jangan terlampau  membebani  keuangan  Pertamina. Seyogyanya  negara  juga  harus  membantu  dengan  menanggung pengeluaran distribusi Pertamina sehingga perusahaan tersebut tidak terbebani. Pertamina  lebih  banyak  dibebani  untuk  program  satu  harga  yang  belum  tercapai, terlebih  lagi  ada kerugian  12  triliun  sampai  bulan  Juni  2017. Di  sisi  lain,  Pertamina tunduk  kepada  UU  Nomor 19  Tahun  2003  tentang  BUMN,  dalam  Pasal  2  ayat  1  tentang Pemerintah  mewajibkan  BUMN  mengejar  keuntungan,  namun  apa  daya, Pertamina  justru  merugi.  Jika  kondisinya  seperti  demikian, semestinya Pemerintah  dapat  memberikan  “konsesi” atau kemudahan ke Pertamina dengan  memberikan  lahan-lahan  blok  migas  dengan  kualitas  terbaik  dan  blok-blok seperti  Blok  Mahakam  yang  akan  dialihkan  pengelolaannya  dengan  prioritas  ke perusahaan  migas  nasional.  Pemerintah  juga  harus  membantu  terkait  usaha  yang dipermudah dan masalah perizinannya. Yang terutama adalah proses izin jangan dipersulit, karena  Pertamina  sebenarnya  membantu  Pemerintah  di  dalam  pemanfaatan  dan pengelolaan BBM nasional.  

Upaya Perbaikan Sektor Ketenagalistrikan 

Sumber  daya  listrik  merupakan  kebutuhan  yang  sangat  penting,  mendasar,  dan strategis  untuk  memenuhi  kebutuhan  kesejahteraan  manusia  serta  mendorong pertumbuhan  ekonomi  dan  sosial  masyarakat.  Kebijakan  energi  nasional  harus mencakup  beberapa  dekade  ke depan dengan  mempertimbangkan  berbagai  sumber  energi. Di samping  itu  pengelolaan  energi  yang  meliputi  penyediaan,  pemanfaatan  dan pengusahaannya  harus  dilaksanakan  secara  berkeadilan,  berkelanjutan,  rasional, optimal, dan terpadu. Oleh karena itu diperlukan ketahanan pasokan energi (security of  supply) yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah saat ini. 

Di  era  Pemerintahan  SBY,  telah  dibuat  pondasi  dasar  yang  kuat  terkait  aturan ketenagalistrikan,  yaitu  dalam  UU  No  30  Tahun  2009  tentang  Ketenagalistrikan yang mengamanatkan Pemerintah  dan  Pemerintah  Daerah  dalam  penyediaan tenaga  listrik.  UU  tersebut  juga  memberikan  kewenangan  kepada  Pemerintah  atau Pemerintah Daerah dalam memberikan persetujuan atas harga tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik. UU itu menyatakan bahwa tarif tenaga listrik untuk konsumen dapat  ditetapkan  secara  berbeda  di  setiap  daerah  dalam  suatu  wilayah  usaha. Kebijakan  Pemerintah  terhadap  tarif  adalah  tarif  tenaga  listrik  secara  bertahap  dan terencana  akan  diarahkan  untuk  mencapai  nilai  keekonomian  sehingga  tarif  tenaga listrik dapat menutup biaya pokok penyediaan yang telah dikeluarkan. Tenaga listrik merupakan  komoditas  mahal  karena  proses  penyediaan  tenaga  listrik  merupakan kegiatan yang padat modal, padat teknologi, padat usaha, dan memiliki risiko usaha yang  tinggi  sehingga  memerlukan  jaminan  pengembalian  atas  investasi  yang dikeluarkan.  

Secara  spesifik  UU  tersebut  telah  mengatur  regulasi  sesuai  dengan  konteks  dan kondisi  sumber  listrik  di  masing-masing  daerah.  Namun ternyata, di tahun  2017 dinilai  menjadi  semakin  buruk  terkait  regulasi  di  sektor ketenagalistrikan  nasional. Hal itu ditandai dengan revisi program  fast track 35 ribu Mega  Watt  (MW), terkait  dengan  persoalan  di  hulu,  pengadaan  listrik, pembiaran  terhadap  kebijakan  penumpukan  utang  PLN,  regulasi  yang  kerap  kali berubah,  dan  terbengkalainya  pembangunan  transmisi  35.000  MW. Hal ini tentu membuat  semakin  rendahnya  minat  investor  untuk  melakukan  investasi  di ketenagalistrikan.  Akar  silang  sengkarut  tersebut  terletak  pada  terlalu  banyaknya aturan  atau  kebijakan  baru,  isi  aturan  yang  tidak  konsisten dan saling berseberangan satu sama lain, yang berakibat menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi dunia usaha dan pengusaha lokal.

Permasalah  energi  di  Indonesia  pada  awalnya  adalah  adanya  ancaman  pasokan energi  yang diakibatkan tata kelola energi yang masih tidak sinkron. Kebutuhan listrik nasional yang diperkirakan tumbuh sekitar 8 –9 % per tahun mengakibatkan perlu percepatan  dalam  pembangunan  pembangkit  dan  penyalurannya. Mengacu  pada pertumbuhan tersebut,  berarti bahwa setiap tahun semestinya ada tambahan sekitar 5.700 MW kapasitas pembangkit baru. Inilah yang mulanya harus disiapkan, apabila tidak  terpenuhi  melalui  PLN  dan  IPP  (pengembang  listrik  swasta),  maka  akan menghambat  pertumbuhan  ekonomi.  Pertumbuhan  kebutuhan  tenaga  listrik  di Indonesia  cenderung  terus  meningkat  sesuai  dengan  meningkatnya  kesejahteraan masyarakat  serta  makin  berkembangnya  industri. Pertumbuhan  kebutuhan  tenaga listrik  tersebut  tidak  dapat  sepenuhnya  dipenuhi  PLN  karena  keterbatasan kemampuan, sehingga masih ada beberapa sistem kelistrikan di luar Jawa-Bali yang mengalami  kekurangan  pasokan  daya.  Untuk  memenuhi  kebutuhan  tersebut,  PLN telah membangun pembangkit tenaga listrik  selain dari pembangkit listrik  milik  PLN sendiri dan juga menyewa pembangkit diesel serta melakukan pembelian listrik swasta. Dalam  penyediaan  listrik  tersebut memang dibutuhkan  dana  yang  begitu  besar  dalam  investasi  infrastruktur  ketenagalistrikan, mulai  dari  pembangunan  pembangkit-pembangkit  baru,  jaringan  transmisi,  dan hingga jaringan distribusi agar listrik  dapat disalurkan  hingga ke konsumen dengan mutu  dan  keandalan  yang baik.  

Langkah  berikutnya masih ada lagi  persoalan kenyataan  rasio elektrifikasi  yang mencapai  sekitar  93,08%,  yang berarti  masih  ada  sekitar  6-7%  masyarakat  yang  belum  memiliki  akses  terhadap  listrik  sehingga  tidak dapat  menikmati  listrik. Terutama  masyarakat  di  daerah  kepulauan, di daerah terpencil dan  daerah  terluar. Hal  besar  lainnya  adalah  kebutuhan subsidi  listrik  yang  terus  meningkat jumlahnya, seiring  dengan  pertumbuhan kebutuhan  listrik  yang  dipicu  oleh  pertumbuhan  ekonomi  dan  pertumbuhan  jumlah penduduk yang relatif tinggi.

Jika  ditengok  kembali,  dalam  dokumen  Kementerian  ESDM  tahun  2016,  upaya pembangunan Pembangkit Listrik 35.000 MW mayoritas pelaksana yang membangun yaitu IPP sebesar 30.000 MW dan PLN sebesar 5.000 MW. Pihak swasta lebih dominan sebagai  investor  untuk  membangun  pembangkit  listrik  nasional.  Namun,  pada perjalanannya di tahun 2017 kontroversi terhadap Independent Power Producer (IPP) muncul  ketika  lahir  sejumlah  aturan  turunan  yang  mengaturnya. Pertama, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2017, yang merupakan penyempurnaan atas Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Lalu ada Permen ESDM Nomor 45 tahun 2017, yang merupakan revisi  atas  Permen  ESDM Nomor 11 Tahun 20117  tentang  Pemanfaatan  Gas  Bumi  untuk Pembangkit  Tenaga  Listrik.  Kemudian ada lagi Permen  ESDM  Nomor  50  Tahun  2017  yang merupakan  hasil revisi kedua Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi  Terbarukan  Untuk  Penyediaan  Tenaga  Listrik.  Selain  itu, terdapat pula permintaan Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM yang meminta PLN meninjau ulang  kontrak PPA  Pembangkit  Listrik  Tenaga  Uap (PLTU) swasta yang ada di Jawa. Hal ini tertuang dalam surat yang dikirim ke Direktur Utama PLN Sofyan Basir tertanggal 3 November 2017.

Hal-hal tersebut  dilakukan  dengan  semakin  gencarnya  investasi  asing  di sektor ketenagalistrikan Indonesia, sedangkan  pengusaha  lokal  semakin  dipersulit  dengan  pelbagai  macam  aturan. Sementara itu, Kementerian ESDM sebagai leading sector juga dinilai tahun ini gagal mengawasi  utang  PLN  yang  kian  membesar.  Upaya  PLN  untuk  menyebarkan  rasio elektrifikasi  karena  tuntutan  dan  target  pemerintah,  membuat  perusahaan  tersebut rajin berhutang dan kerap kali membeli pembangkit yang tidak  sesuai daya dukung daerah  dan  potensi  lokal.  Suatu  contoh,  di  wilayah  Sulawesi  Selatan,  PLN banyak  membeli  pembangkit  tenaga  listrik  bertenaga  diesel  yang  notabene menggunakan  bahan  bakar  minyak.  Ironisnya, dengan  banyaknya  pembelian  pembangkit tersebut, ternyata daya serap masyarakat terhadap listrik tidak begitu besar, sehingga listrik  tidak  terpakai  (loses).  Perilaku  inefisiensi  dan  kerugian  dari  kasus  tersebut terlihat jelas. 

Kinerja  PLN  sendiri  mengecewakan  setelah  menaikan  tarif  tenaga listrik  (TTL)  atau mencabut  subsidi  terutama  untuk  golongan  900  volt  ampere  (VA).  Namun  setelah menaikan tarif listrik kegiatan berutang perusahaan tersebut justru semakin naik. Semestinya kebijakan berutang PLN tidak menjadi semakin tinggi karena akan berdampak membebani rakyat. Pada  kenyataannya,  kebijakan  kenaikan  listrik  tersebut  terus  dilakukan,  agar mempunyai  kemampuan  untuk  berhutang,  seperti  melakukan  revaluasi  aset  yang dilakukan  hanya untuk  memperlebar  ruang berhutang bagi PLN.  Aset PLN otomatis  jadi membengkak, jika melakukan revaluasi aset, nilai asetnya kini menjadi Rp 1.250 triliun.  Tetapi jelas,  tujuan dari  kebijakan  itu hanya  untuk  mempermudah  perseroan dalam  berhutang  saja.  Oleh  karenanya  pihak  PLN  selalu  berdalih  rasio  utangnya atau debt to  equity  ratio (DER)-nya  selalu  diklaim  masih  aman.  Padahal  dari  sisi capaian  laba  PLN,  mereka  tidak  mungkin  membayar  utang  yang  besar  itu.  Bahkan cepat atau lambat PLN akan habis dijarah dan jatuh ke tangan pihak asing.  

Total utang PLN  sampai saat ini telah mencapai Rp. 500,175 triliun, dan jumlah itu belum termasuk rencana utang terbaru PLN yang kabarnya menerbitkan surat hutang (obligasi  dan  sukuk)  senilai  Rp.  10  triliun.  Sehingga  hal  itu  membuat  PLN  sebagai perusahaan dengan rekor tertinggi dalam mengambil utang. Total utang PLN sebelum revaluasi  aset  itu  telah  lebih  dari  100%  dari  total  assetnya.  Yang  jadi  pertanyaan adalah, sampai kapan perusahaan ini dapat dan sanggup membayar hutangnya?
  
Menurut Fraksi Partai Demokrat, aksi korporasi PLN tersebut seperti bermain kosmetik yang seolah-olah membuat cantik di luar, tetapi kenyataannya jelek di dalam. Dengan dalih  harga  listrik  mahal,  PLN  kerap  kali  membuat  harga  listrik  terus  naik  tanpa memikirkan  kemampuan  masyarakat.  Apalagi  secara  nyata  kenaikan  listrik  itu  telah mengesampingkan  kondisi  penurunan  harga  batubara,  gas  dan  minyak  yang merupakan unsur biaya terbesar dalam PLN selama ini. Harga bahan bakunya turun kenapa harga keluarannya mahal? Pasti  ada yang salah di dalam pengelolaan PLN. Hal itu ternyata juga membuat geram Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang  mengingatkan  melalui  surat  kepada  Menteri  ESDM  dan  Menteri  BUMN  terkait kekhawatiran  soal  utang  PLN  serta  program  35.000  MW  hingga  berisiko  pada keuangan negara akibat gagal bayar. 

Upaya yang Harus Dilakukan 

Fraksi  Partai  Demokrat  melihat,  menilai,  dan  memberikan  solusi, bahwa rasionalisasi penggunaan pembangkit listrik berbasis kepada daya dukung dan sumber pembangkit lokal  juga  harus  dilakukan.  Pemborosan  belanja  barang  berupa  pembangkit  yang boros BBM harus segera dihilangkan karena jauh dari sifat efisiensi dan perlu dilakukan mapping area kebutuhan listrik wilayah agar dapat terserap dengan baik. Penentuan nilai tarif menuju harga keekonomian perlu dilakukan secara bertahap menuju subsidi yang  wajar  dan  memperhatikan  perkembangan  kemampuan  bayar  masyarakat. 

Penyederhanaan struktur tarif perlu dilakukan karena struktur yang berlaku saat ini rumit dan sulit dikomunikasikan kepada konsumen. Saat ini ada 37 kategori di dalam penentuan golongan tarif, dan itu mesti disederhanakan dengan proporsi yang sesuai dan tepat. 
Insentif  juga  perlu  diberikan  bagi  pengguna  listrik  untuk  kegiatan  yang  bersifat produktif  dan  disinsentif  untuk  kegiatan  yang  bersifat  konsumtif,  khususnya  untuk pelanggan  yang  penggunaan  listriknya  untuk  memenuhi  kebutuhan  dasar.  Dalam rangka mendorong penghematan pemakaian listrik, bagi tarif pelanggan yang bersifat konsumtif (pelanggan rumah tangga), perlu dibuat blok-blok tarif yang memiliki harga tarif  Rp/kWh  yang  berbeda  (progresif). Tarif  listrik  regional  dapat  segera diimplementasikan  pada  daerah  tertentu  mengingat  beberapa  daerah  yang berdasarkan kajian regionalisasi termasuk dalam kategori yang memiliki kemampuan membayar  pelanggan  relatif  lebih  tinggi  dari  kemampuan  bayar  nasional.  

Mengacu kepada  hasil  studi  yang  menunjukkan  bahwa  biaya  bahan  bakar  merupakan komponen utama sebagai penyusun BPP dan dominansi komponen biaya BBM yang meliputi  HSD,  MFO  dan  IDO  dalam  komposisi  energy  mixed  saat  ini,  maka  untuk menekan  besarnya  BPP,  komposisi  energy  mixed  perlu  diubah  dengan  melakukan substitusi BBM pada unit-unit pembangkit yang memungkinkan dioperasikan dengan dual  fuel  dengan  bahan  bakar  gas  atau  membangun  pembangkit  baru  yang  lebih rendah  BPP-nya  serta  meningkatkan  pemanfaatan  sumber  energi  pembangkit terbarukan.  Diperlukan  pengembangan  energi  listrik  alternatif  sebagai  upaya dalam mendukung diversifikasi energi sebagai masukan dalam penyusunan rencana strategis dan  merealisasikan  kebijakan  pemerintah  di  bidang  diversifikasi  energi  pengganti energi fosil. 

Perlu  pengembangan  informasi  dalam  perencanaan  dan  pengambilan  keputusan bidang energi dan sebagai arahan dalam menentukan program pemanfaatan energi alternatif di Indonesia. Perlu pemanfaatan yang sebesar-besarnya dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada, sehingga kesejahteraan dapat merata, dan untuk  menjaga  lingkungan  hidup  dengan memanfaatkan green energy yang menumbuhkan  pembangunan berkelanjutan.  

Diperlukan pula inventarisasi  energi alternatif  yang  sudah  dan  sedang  dilakukan,  serta  kebijakan  dan  Peraturan Pemerintah tentang percepatan dan pemanfaatan energi alternatif. Serta  melakukan inventarisasi  mengenai  karakteristik  wilayah  dari  sisi  geografis,  lingkungan,  sosial, ekonomi dan budaya di wilayah-wilayah yang berpotensi menghasilkan sumber daya listrik lokal. Harus dilakukan pula rencana aksi dan peta lokasi pemanfaatan sumber energi listrik sebagai  penjabaran  dari  program  dan  strategi  nasional  yang  terarah  dan  memiliki durabilitas yang baik.  Kiranya  dua  isu  tersebut  dapat  menjadi  bahan  refleksi  yang  konstruktif  di  tengah situasi  yang  di  akhir  2017  yang  kian  silang  sengkarut.  Semoga  setiap  kita  dapat menerima  sesuai  kebutuhannya  dan  setiap  kita  dapat  menerima  sesuai  dengan kemampuannya. 
Refleksi Akhir Tahun 2017: Pertamina dan Ketenagalistrikan Nasional Refleksi Akhir Tahun 2017: Pertamina dan Ketenagalistrikan Nasional Reviewed by OG Indonesia on Selasa, Januari 02, 2018 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.