Cahyo Nugroho, Chief Industry Sollutions
Officer Esri Indonesia.
Jakarta, OG Indonesia – Esri,
perusahaan pengembang Sistem Informasi Geografis (GIS) asal California, Amerika
Serikat, menawarkan solusi GIS lewat teknologi ArcGIS yang dikembangkannya.
Esri yakin pemanfaatan ArcGIS secara tepat akan dapat mendukung program Pemerintah
lewat SKK Migas yang saat ini tengah membidik produksi 1 juta barel minyak dan
12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada tahun 2030 mendatang.
Cahyo Nugroho, Chief Industry
Solutions Officer Esri Indonesia, membeberkan dua cara untuk menggapai target
tersebut. “Pertama, mulai dari apa yang kita punya. Dan yang kedua, cari apa
yang belum kita punya,” ucap Cahyo dalam wawancara khusus dengan OG Indonesia,
Kamis (29/7/2021).
Untuk cara pertama bisa dilakukan
dengan memetakan sumur-sumur tua yang ada di Indonesia. Esri sendiri sudah lama
dikenal sebagai pemimpin pasar global dalam perangkat lunak GIS, location
intelligence, dan pemetaan yang menawarkan cloud geospasial untuk
membantu pelanggannya membuka potensi penuh data guna meningkatkan hasil
operasional dan bisnisnya. Hal ini tentunya bisa diterapkan juga untuk kegiatan
operasi hulu migas.
Diterangkan Cahyo, jika sumur-sumur tua di seluruh Indonesia dipetakan dan dihimpun informasi produksinya maka dapat dibangun menjadi sebuah well master database. Setelah itu dilakukan seleksi berdasarkan economical production rate sesuai keadaan saat ini.
“Tentukan
saja cut off-nya berapa untuk economical production rate. Misalkan
10 (barel per hari), berarti semua sumur yang last production-nya di
atas 15 atau 20, buka semua. Cusss, naik itu,” jelas Cahyo seraya
mengingatkan bahwa masih ada ribuan sumur tua yang masih bisa disedot
minyaknya.
Sementara untuk cara yang kedua adalah
dengan menggiatkan kegiatan eksplorasi yang melibatkan tiga pihak yaitu akademisi/peneliti,
Pemerintah, serta industri/teknologi. Menurut Cahyo, ketiga pihak tadi bisa turut
aktif mengakses data-data yang ada sehingga bisa membantu meningkatkan gairah
eksplorasi di Indonesia. Akses ke data tersebut tentu tetap memperhatikan aspek
confidential dan adanya penandatanganan disclosure agreement.
“Misalkan Universitas di Sumatera
kita bisa kasih akses untuk interpretasi data seismik yang ada di Sumatera, yang
masih belum ada lapangan yang ditemukan. Untuk yang di Jawa, kita berikan data
seismik dan informasi geologi untuk area-area yang masih frontier, yuk adakan
riset di sana,” paparnya.
Dari akses yang dipermudah
tersebut, Cahyo mengatakan pihak industri dan teknologi baru kemudian masuk.
Mereka akan men-support software yang dibutuhkan untuk melakukan analisa
dari data-data yang diperoleh tadi. “Kami bisa memfasilitasi agar data-data
tersebut bisa disajikan, diakses, dikontemplasi dan kemudian dianalisa,” tutur
Cahyo.
Analisa-analisa ini kemudian menjadi
salah satu bentuk rekomendasi yang nanti bisa ditindaklanjuti oleh pihak
industri atau kalangan praktisi migas, agar bisa mengubah potensi dan sumber
daya menjadi produksi di masa depan. “Saya optimistis (mencapai produksi 1 juta
barel). Kalau kita melihat, dulu Indonesia pernah lebih dari satu juta barel, why
not now?” tantang Cahyo.
Tidak hanya untuk eksplorasi,
informasi GIS yang diolah oleh ArcGIS dari Esri juga bisa dimanfaatkan untuk
fase development, produksi, bahkan bisa juga dimanfaatkan pada
implementasi sosial, seperti untuk menentukan program community development yang
tepat bagi masyarakat di sekitar daerah operasi perusahaan. “Jadi sebuah siklus
yang saling terkait satu sama lain dan bisa digunakan oleh multi industri,
multi user, dan multi purpose serta multi obyektif,”
imbuhnya.
Kelebihan lainnya, service-service
dari ArcGIS juga sudah bisa diakses oleh banyak pihak. “Jadi orang enggak perlu
lagi cari dan akuisisi citra satelit, semua sudah bundling di dalam (software-nya),”
kata Cahyo. Satu lagi keunggulan ArcGIS menurut Cahyo adalah interoperability
alias bisa mengkonsumsi berbagai jenis data.
Lalu bagaimana efektivitas serta efisiensi yang bisa diperoleh dari pemanfaatan ArcGIS, terutama pada industri hulu migas? Cahyo menceritakan success story di sebuah perusahaan migas, yaitu terkait produksi pasir (sanding) yang sangat merugikan karena mengurangi jumlah produksi minyak. Teknologi ArcGIS ini bisa mengidentifikasi kadar sanding di setiap sumur.
“Dengan ArcGIS Survey123 yang mendeteksi dan me-record setiap
sumur, itu bisa saving sampai 20 ribu dollar per sumur annually. Kalau
20 ribu dollar itu sekitar Rp 300 juta per sumur, dengan kurang lebih 1.000
sumur maka efisiensinya sudah sampai Rp 300 miliar,” ungkapnya.
Dengan penghematan yang cukup
besar dari pemanfaatan solusi ArcGIS dari Esri, Cahyo tidak bisa membuka berapa
nilai investasi yang harus dikeluarkan KKKS untuk menggunakan teknologi ArcGIS
ini. “Itu tergantung sizing-nya, berapa jumlah sumur yang harus kita capture,
berapa jumlah datanya, setiap customer itu beda-beda. Di Esri
sendiri bukan seperti kita jualan software biasa, tetapi kita menjual
solusinya,” ucap Cahyo.
Saat ini ada sekitar 3.200 organisasi dari berbagai bidang di seluruh Indonesia yang telah memanfaatkan produk ArcGIS dari Esri. Khusus dari industri hulu migas, sudah banyak pihak KKKS di Indonesia yang menggunakannya, mulai dari Pertamina, Chevron, ENI, Petrochina, BP, Inpex, dan masih banyak KKKS lainnya.
“Hampir semua komunitas KKKS sudah menggunakan ArcGIS ini, dan ini menjadi platform standar untuk location intelligence di oil and gas industry,” pungkasnya. Dengan semakin banyak user yang menggunakan software ArcGIS, menurut Cahyo di masa depan akan terbuka lebih luas lagi untuk pengembangan solusi-solusi lainnya dari teknologi ini. RH