Tolak Skema Power Wheeling, APEI Sampaikan Aspirasi ke DPR


Jakarta, OG Indonesia --
Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) yang menaungi para pengamat energi di Indonesia pada hari ini, Selasa (24/1/2023) mendatangi Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta untuk menyampaikan aspirasi kepada DPR RI terkait Pembentukan Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). 

Aspirasi disampaikan dalam surat aspirasi yang diantar langsung oleh beberapa anggota APEI seperti Marwan Batubara (Direktur Eksekuti IRESS) dan Defiyan Cory (Ekonom Konstitusi). Surat aspirasi tersebut juga ditandatangani oleh anggota APEI lainnya seperti Sofyano Zakaria (Pusat Studi Kebijakan Publik, Puskepi), Ferdinan Hutahaean (Energy Watch Indonesia, EWI), Salamudin Daeng (AEPI), M. Kholid Syeirazi (Center for Energy Policy, CEP), Abra Talattov (INDEF), Tulus Abadi (YLKI), Ali Achmudi Achyak (Center for Energy Security Studies, CESS).

Marwan Batubara mengatakan, dalam beberapa minggu ke depan DPR dan pemerintah akan melanjutkan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). "Sehubungan dengan itu, kami dari berbagai kalangan masyarakat dengan ini menyampaikan aspirasi agar pembahasan RUU tersebut dilakukan sesuai konstitusi dan ketentuan yang diperintahkan UU No.13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3)," tutur Marwan.

"Kami memahami bahwa pembahasan RUU EBET perlu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak atau stakeholders. Namun kepentingan tersebut perlu tetap memperhatikan kepentingan strategis negara, kelangsungan pelayanan listrik nasional dan tarif listrik yang terjangkau bagi seluruh rakyat. Oleh sebab itu, berbagai ketentuan RUU EBET harus dibahas secara komprehensif dan transparan, serta bebas dari kepentingan dan agenda sempit yang hanya menguntungkan kalangan tertentu," sambungnya.

Salah satu ketentuan yang menjadi perhatian APEI adalah tentang skema power wheeling. Dalam naskah akhir RUU EBET yang dikirimkan Pemerintah kepada DPR pada 29 November 2022, skema power wheeling yang sempat muncul, sudah tidak lagi tercantum dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). 

"Namun dalam pembahasan lanjutan RUU beberapa minggu ke depan, berkembang informasi bahwa skema power wheeling akan kembali dibahas dan masuk dalam UU EBET. Hal ini menjadi perhatian masyarakat dan harus dicegah," ungkap Marwan.

Diterangkan olehnya, konsep power wheeling adalah instrumen dalam implementasi multi buyers-multi sellers, atau banyak pembeli dan banyak penjual dalam sektor ketenagalistrikan. Selama ini, perusahaan swasta melalui Independent Power Producers (IPP) diperbolehkan membangun pembangkit listrik, tetapi menjual seluruh listrik yang dihasilkan kepada PLN. 

Wewenang PLN ini merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara melalui BUMN. Amanat Pasal 33 UUD 1945 tersebut telah tertuang pula dalam UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan, di mana penyediaan listrik untuk kepentingan umum dilakukan secara terintegrasi mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan. 

"Jika skema power wheeling diimplementasikan, maka pihak swasta/IPP dapat langsung menjual listrik kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi yang saat ini dimiliki PLN. Sebenarnya, konsep ini merupakan pola unbundling, seperti diatur Pasal 16 dan Pasal 17 UU No.20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Padahal UU No.17/2002 ini telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.001-021-022/2003. Selanjutnya melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK pun memutuskan bahwa pola unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945," paparnya.

Atas dasar kondisi di atas, lanjut Marwan, maka Peraturan Menteri ESDM No.1/2015 tentang Kerjasama Penyediaan Tenaga Listrik Dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik, setelah Putusan MK pada tanggal 14 Desember 2016 yang telah membatalkan Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan serta peraturan lainnya yang sejenis, mestinya juga batal demi hukum dan konstitusi.

Berlawanannya skema power wheeling dengan konstitusi dapat pula dipertegas dengan fakta bahwa skema power wheeling akan menciptakan kompetisi pasar dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Pelayanan listrik nasional menjadi sangat liberal. Maka, kepentingan umum dan hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang seharusnya menjadi tugas negara melalui BUMN/PLN, tidak lagi menjadi hal penting dan harus dijaga oleh negara. Kondisi ini, terutama masuknya skema power wheeling dalam RUU EBET, dan naiknya tarif listrik akan menimbulkan gejolak perlawanan publik melalui judicial review ke MK sebagaimana terjadi pada UU No.20/2002. 

"Secara ringkas kami sampaikan bahwa skema power wheeling dijalankan sesuai prinsip ekonomi liberal dan bertentangan dengan konstitusi. Dengan memanfaatkan jaringan milik PLN, skema power wheeling akan menggerogoti bisnis PLN, penerimaan keuangan berkurang dan kemampuan PLN untuk melakukan cross-subsidy antar wilayah akan semakin menurun. Dampak lanjutannya adalah negara perlu membiayai pembangunan listrik di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar, serta subsidi listrik di APBN pun akan semakin meningkat," bebernya.

Marwan menerangkan, penggunaan infrastruktur transmisi listrik untuk mendukung skema power wheeling juga merupakan bentuk pemanfaatan sarana milik negara yang sebagian didanai APBN oleh pihak swasta/IPP. Selain itu, tarif pemanfaatan sarana tersebut bisa pula tidak objektif. Maka terjadi subsidi oleh negara kepada para pengusaha/asing yang justru mendapat keuntungan semakin besar. Karena berdasar pada prinsip liberal dan berorientasi profit, maka tarif listrik pun akan naik. 

"Karena itu, skema PW hanya akan menguntungkan oknum investor, oknum penguasa dan dan oknum pengusaha yang tergabung dalam oknum oligarki kekuasaan.Dalam 5 tahun terakhir dan 6-7 tahun ke depan, Indonesia telah mengalami over supply listrik, dan karena itu biaya pokok penyediaan (BPP) dan tarif listrik pun telah naik cukup tinggi. Hal ini terjadi akibat sangat dominannya peran oknum oligarki dalam pembangunan kelistrikan nasional. Jika peran oknum oligarki tetap dominan dalam penyusunan RUU EBET, terutama untuk memaksakan skema power wheeling, maka kondisi kelistrikan nasional akan tetap bermasalah, pemborosan nasional dan APBN akibat over supply terus berlangsung dan rakyat pun harus membayar tagihan listrik semakin tinggi," tegasnya.

APEI sebenarnya mendukung rencana pemerintah dan DPR akan menggelar pembahasan RUU EBET tetapi harus sesuai konstitusi serta kepentingan negara dan rakyat. 

"Kami pun mendukung berbagai upaya mitigasi perubahan iklim dan program transisi energi melalui pengembangan energi hijau, sertabpemanfaatan potensi EBT nasional yang mencapai 440 Giga-Watt. Namun rencana tersebut, melalui pembentukan RUU EBET, tetap harus terukur, bertahap, tidak membebani APBN, tidak pro oknum oligarki, dan tidak pula membebani rakyat yang harus membayar tarif listrik yang mahal. Salah satu yang kami minta adalah tidak masuknya ketentuan tentang power wheeling dalam RUU EBET," pungkas Marwan. RH

Tolak Skema Power Wheeling, APEI Sampaikan Aspirasi ke DPR Tolak Skema Power Wheeling, APEI Sampaikan Aspirasi ke DPR Reviewed by Ridwan Harahap on Selasa, Januari 24, 2023 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.