Tekan Emisi Karbon, Pentingnya Kebijakan Transisi Energi dan Solusi Rendah Karbon


Jakarta, OG Indonesia --
Indonesia telah menetapkan pencapaian target net zero emission (NZE) pada tahun 2060 m
endatang. Penetapan tersebut merupakan bagian dari kebijakan transisi energi yang akan dijalankan. Tujuan akhir kebijakan tersebut adalah menjaga agar emisi karbon tidak melampaui batasan yang telah disepakati.

"Data menunjukkan bahwa emisi karbon tidak hanya dihasilkan dari aktivitas sektor energi. Bahkan pada wilayah atau negara tertentu, emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas sektor non energi tercatat lebih besar dibandingkan emisi karbon yang dihasilkan oleh sektor energi," ungkap Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute dalam keterangannya, Senin (27/11/2023).


Komaidi pun menyampaikan sejumlah catatan dari Reforminer Institute terhadap kebijakan transisi energi dan solusi rendah karbon di Indonesia, sebagai berikut:


1. Berdasarkan data, sektor energi hanya merupakan salah satu kontributor penghasil emisi gas rumah kaca (GRK). Kelompok penghasil emisi GRK global meliputi sektor kelistrikan, industri, pertanian, penggunaan lahan, dan limbah, transportasi, dan bangunan. Sementara penghasil emisi GRK Indonesia adalah sektor energi, IPPU (Industrial Process and Production Use), pertanian, kehutanan, dan limbah.


2. Kontributor utama penghasil emisi GRK global pada tahun 2021 adalah sektor kelistrikan dan industri. Porsi emisi GRK dari kedua sektor tersebut dilaporkan mencapai 58% dari total emisi GRK global tahun 2021. Kontributor terbesar selanjutnya adalah sektor pertanian, penggunaan lahan, dan limbah (20%), sektor transportasi (15%), dan bangunan (7%).


3. Selama tahun 2000 – 2022, rata-rata kontribusi emisi GRK yang dihasilkan oleh sektor energi di Indonesia dilaporkan sekitar 18,10% dari total emisi GRK Indonesia. Sementara kontribusi IPPU, sektor pertanian, sektor kehutanan, dan limbah terhadap emisi GRK Indonesia pada periode tersebut masing-masing dilaporkan sekitar 18,04% 30,41%, dan 16,74%.


4. Berdasarkan data tersebut, pencapaian target NZE untuk masing-masing negara termasuk Indonesia akan lebih efektif jika tidak hanya mengandalkan kebijakan transisi energi sebagai satu-satunya instrumen, tetapi secara paralel juga perlu melalui implementasi kebijakan solusi rendah karbon lainnya.


5. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, jika penurunan emisi GRK hanya melalui pengembangan energi terbarukan dan teknologi akan memerlukan waktu yang cukup panjang. Hal itu karena negara berkembang akan tetap mempertimbangkan dan melaksanakan pembangunan ekonomi dengan tetap menjalankan aktivitas yang memiliki eksternalitas terhadap lingkungan, terutama aktivitas industri padat energi penghasil karbon.


6. Kurva Kuznet menjelaskan bahwa sampai pada titik tertentu pertumbuhan ekonomi kesejahteraan masyarakat akan berbanding lurus dengan tingkat kerusakan lingkungan. Kajian Kuznet untuk negara-negara di wilayah Eropa menemukan bahwa titik balik hubungan linier antara kerusakan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi terjadi ketika memasuki fase industrial economics. Pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan berjalan linier mulai dari preindustrial economics sampai dengan industrial economics. Selanjutnya, pada fase post-industrial economics yaitu ketika basis pertumbuhan perekonomian adalah sektor jasa, tingkat kerusakan lingkungan tercatat mengalami penurunan meskipun pada periode yang sama pertumbuhan ekonomi meningkat.


7. ReforMiner menilai, saat ini ekonomi Indonesia masih berada pada fase preindustrial economics menuju industrial economics. Artinya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan berbanding lurus dengan tingkat kerusakan lingkungan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi juga semakin besar


8. Mencermati data dan informasi tersebut, penerapan kebijakan nature base solutions (NBS) atau solusi berbasis alam sangat relevan untuk diterapkan dalam mendukung pencapaian target NZE Indonesia. Potensi pengurangan emisi karbon melalui NBS bahkan dilaporkan lebih besar dibandingkan dengan potensi pengurangan emisi karbon dari transisi energi.


9. Proyek NBS di Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa sektor yang di antaranya kehutanan (reboisasi, pengelolaan hutan, REDD), pertanian (agroforestri, manajemen nutrisi, irigasi, bahan organik), dan kelautan (restorasi hutan bakau, konservasi dan restorasi lahan gambut, restorasi lahan basah).


10. Data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebutkan bahwa Indonesia memiliki hutan hujan tropis (125,9 juta hektar), hutan mangrove/bakau (3,31 juta hektar), dan lahan gambut (7,5 juta hektar). Potensi emisi karbon yang dapat diserap oleh hutan hujan tropis, hutan bakau, dan lahan gambut tersebut disampaikan mencapai sekitar 113,18 miliar ton.


11. Potensi penyerapan emisi karbon dari hutan hujan tropis, hutan bakau, dan lahan gambut tersebut jauh lebih besar dibandingkan target penurunan emisi karbon dari transisi energi pada tahun 2050. Kebijakan transisi energi menargetkan penurunan emisi karbon pada tahun 2050 sebesar 1.043,8 juta ton atau hanya 0,92 % dari emisi karbon yang dapat diserap oleh hutan hujan tropis, hutan bakau, dan lahan gambut.


12. Potensi ekonomi atau pendapatan dari perdagangan/kredit karbon hutan hujant ropis, hutan bakau, dan lahan gambutc ukup besar. Dengan asumsi harga jualk redit karbon sebesar 6 USD per ton di pasar karbon, potensi pendapatan darik redit karbon hutan hujan tropis, hutan bakau, dan lahan gambut dapat mencapai sekitar Rp 10.186 triliun.


13. Berdasarkan data saat ini telah terdapat beberapa proyek NBS yang dilakukan di Indonesia, di antaranya: (1) Proyek Lahan Gambut Sumatera Merang, (2) Proyek Keanekaragaman Hayati Rimba Raya; (3) Proyek Konservasi dan Restorasi Gambut Katingan Mentaya, (4) Restorasi Hutan Bakau dan Perlindungan Pesisir Hijau Aceh dan Sumatera Utara, dan (5) Reduced Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang merupakan kerja sama Pertamina Perhutani.


14. Saat ini regulasi atau instrumen kebijakan untuk pelaksanaan kebijakan NBS di Indonesia masih relatif terbatas. Meskipun belum terdapat pengaturan secara tegas, saat ini pelaksanaan NBS di Indonesia mengacu pada: (1) UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (2) PP No.46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, (3) Perpres No.77/2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup, dan (4) Perpres No.98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.


15. Pencapaian target NZE baik yang akan dilakukan melalui kebijakan transisi energi atau instrumen kebijakan rendah karbon yang lain seperti NBS, masih menghadapi sejumlah tantangan. Hal itu di antaranya karena perdagangan karbon di Indonesia masih memerlukan: (1) desain kebijakan dengan roadmap yang komprehensif, (2) sumber daya manusia yang profesional, dan (3) infrastruktur perdagangan yang terintegrasi antara penjual dan pembeli kredit karbon. RH

Tekan Emisi Karbon, Pentingnya Kebijakan Transisi Energi dan Solusi Rendah Karbon Tekan Emisi Karbon, Pentingnya Kebijakan Transisi Energi dan Solusi Rendah Karbon Reviewed by Ridwan Harahap on Senin, November 27, 2023 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.