Jakarta, OG Indonesia -- Indonesia menempati peringkat kedua dunia dalam potensi pengembangan energi surya di atas lahan bekas dan potensi bekas tambang batu bara, dengan estimasi kapasitas mencapai 59,45 gigawatt (GW). Namun hingga kini, Indonesia baru mengumumkan rencana pengembangan energi surya 600 megawatt (MW) di atas lahan bekas tambang —jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan potensinya.
Fakta ini diungkap dalam laporan terbaru Global Energy Monitor (GEM) berjudul “Bright Side of the Mine: Solar’s Opportunity to Reclaim Coal’s Footprint”. Laporan ini mengidentifikasi total 446 tambang batu bara seluas 5.820 km² -yang mencakup lahan bekas tambang sejak 2020 dan lahan tambang yang berpotensi ditinggalkan pada 2030 menyusul habisnya cadangan- di seluruh dunia yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan energi surya hingga hampir 300 GW, setara 15% kapasitas surya global saat ini. Salah satu potensi terbesar ada di Indonesia.
“Warisan batu bara tertulis di tanah, tetapi warisan itu tidak harus menentukan masa depan. Transisi tambang batu bara ke surya sedang berlangsung, dan potensi ini siap dimanfaatkan di negara-negara produsen batu bara utama seperti Australia, Amerika Serikat, Indonesia, dan India,” kata Cheng Cheng Wu, Manajer Proyek Energy Transition Tracker di Global Energy Monito, dalam keteragannya, Rabu (18/6/2025)..
Di Indonesia, hasil analisis GEM menemukan, lahan tambang seluas 1.190 km², mencakup 26 tambang batu bara yang diperkirakan akan ditutup pada 2030. Alih fungsi lahan ini untuk pengembangan energi surya diproyeksikan dapat menghasilkan kapasitas hingga 59,45 GW. Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur merupakan dua daerah dengan lahan tambang cukup besar yang akan berakhir kegiatannya dalam lima tahun ke depan.
Pemanfaatan lahan bekas tambang untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dapat membantu Indonesia mencapai target netral karbon pada 2060. Namun hingga kini, upaya ini masih minim, di mana baru diumumkan rencana pembangunan PLTS 600 MW di lahan bekas tambang.
Sebagai contoh, PT Bukit Asam Tbk telah mengumumkan rencana pembangunan PLTS di tiga lokasi bekas tambang di Sumatera Barat berkapasitas 200 MW, Sumatera Selatan 200 MW, dan Kalimantan Timur 30 MW. Meskipun telah diumumkan sejak 2021 dan dikonfirmasi kembali pada 2023, proyek ini belum terdapat kemajuan yang signifikan.
Konversi lahan tambang menjadi PLTS menawarkan peluang langka untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan sekaligus pemulihan lingkungan. Lahan bekas tambang tak hanya menjadi lahan kosong yang dapat dimanfaatkan kembali, tetapi biasanya juga berlokasi dekat dengan jaringan listrik dan tenaga kerja dengan keahlian yang dibutuhkan.
Meski demikian, transformasi ini membutuhkan berbagai perbaikan kebijakan dari pemerintah. Rincinya, perlunya kerangka kebijakan yang memprioritaskan pengembangan energi terbarukan di lahan tambang, strategi investasi yang mengakui nilai penggabungan antara reklamasi dan energi terbarukan, serta penempatan pekerjaan lokal dan suara masyarakat sebagai pusat proses pembangunan.
“Kami telah melihat apa yang terjadi di komunitas batu bara saat perusahaan bangkrut, yakni adanya pemecatan pekerja dan meninggalkan kerusakan. Namun lahan bekas tambang juga menyimpan potensi besar untuk masa depan energi terbarukan dan ini sudah mulai terjadi. Kita hanya perlu campuran insentif yang tepat untuk mendorong pengembangan tenaga surya di daerah-daerah tambang,” kata Ryan Driskell Tate, Direktur Asosiasi di Global Energy Monitor.
Lebih jauh, transformasi lahan tambang bukan sekedar upaya transisi energi. Langkah ini juga berdampak pada ekonomi, yang diperkirakan mampu menciptakan 259.700 pekerjaan permanen dan 317.500 pekerjaan konstruksi dan sementara, melebihi total tenaga kerja yang diproyeksikan hilang dari sektor batu bara secara global hingga 2035.
“Penggunaan kembali tambang untuk pengembangan tenaga surya menawarkan peluang langka untuk menyatukan pemulihan lahan, penciptaan lapangan kerja lokal, dan penggunaan energi bersih dalam satu strategi. Dengan pilihan yang tepat, lahan yang sama yang menggerakkan era industri dapat membantu menggerakkan solusi iklim yang kini sangat kita butuhkan,” Cheng Cheng Wu menegaskan. RH
