Jakarta, OG Indonesia -- Pemanfaatan nuklir untuk energi masih jadi tanda tanya besar di Indonesia, karena kendati banyak yang mendukung dibangunnya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), tak sedikit pula yang menentangnya. Namun patut dicatat bahwa penggunaan energi nuklir selain bisa memproduksi listrik juga dapat mewujudkan emisi nol bersih alias net zero emissions (NZE) yang banyak digaungkan di dunia belakangan ini.
"Tergantung tujuannya, kalau tujuannya hanya ingin memproduksi listrik mungkin bisa menggunakan (energi) yang lain, tapi kalau tujuannya kita ingin mendukung net zero emissions, nuklir itu hampir tidak menghasilkan karbon," terang Suparman, Anggota Dewan Pakar Kelompok Pengembangan Energi Nuklir dari Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) dalam media training, Minggu (29/6/2025), bertajuk "Energi Bersih: Potensi, Bisnis Proses dan Outlook" yang diselenggarakan oleh Pamerindo Indonesia, Lembaga Inovasi Energi Teknologi Nusantara (Lientera), dan PT Radiant Teknologi Global (RTG).
Dari sisi bahan bakar yang digunakan juga lebih simpel dari segi ukuran. Sebagai perbandingan, jika diilustrasikan dari sisi ukuran, 20 gram uranium sangat kecil dibandingkan luas telapak tangan manusia, sedangkan volume 2,25 ton batu bara membutuhkan satu truk engkel untuk memuatnya, padahal keduanya dapat membangkitkan daya listrik yang setara. "Uranium itu sangat kompak (compact), satu pelet sekitar 20 gram, itu setara dengan sekitar 2,25 ton batu bara," jelas Suparman.
![]() |
20 gram uranium yang setara dengan 2,25 ton batu bara, ukurannya tidak lebih dari telapak tangan manusia. |
Dia menambahkan, untuk 1 unit PLTU 1.000 Megawatt (MW) membutuhkan sebanyak 9.000 ton batu bara per hari atau dalam setahun perlu sekitar 3.285.000 ton batu bara, sementara untuk 1 unit PLTN dengan kapasitas yang sama hanya butuh 21-25 ton uranium. "Jadi bayangkan jika kita bisa menggunakan sumber daya uranium maka akan mengurangi penggunaan energi fosil seperti batu bara," ucapnya.
Suparman pun membeberkan ada empat alasan mengapa Indonesia membutuhkan adanya PLTN. Pertama, karena memang dapat mendukung sustainable development goals (SDGs) dan mencapai NZE pada tahun 2060. Alasannya karena teknologi PLTN termasuk rendah karbon. Di samping itu, PLTN juga dapat menciptakan lapangan kerja serta mendukung pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi.
Kedua, energi dari nuklir bisa tersedia dalam 24 jam non stop dalam sehari. Sehingga PLTN bisa diandalkan pula sebagai pembangkit base load yang dapat digandengkan dengan pembangkit energi terbarukan yang cenderung intermiittent. "Seperti PLTS kan hanya beberapa jam beroperasi, PLT Bayu juga begitu tergantung anginnya. Jadi (PLTN) ini sebagai penyeimbang, kita perlu karena untuk industri kan 24 jam jadi dibutuhkan juga PLTN," ujarnya.
Ketiga, kebutuhan energi di Indonesia yang semakin besar sehingga membutuhkan kehadiran tambahan jenis pembangkit seperti PLTN. Diharapkan pada tahun 2040, PLTN dapat menyumbang sekitar 8-10 Gigawatt (GW) listrik.
Keempat, demi mendukung rencana implementasi pembangunan jangka panjang. Suparman menguraikan dalam RPJPN 2024-2025, RPP Kebijakan Energi Nasional 2024-2060, dan RUKN 2025-2035 serta RUPTL terbaru juga telah termuat adanya porsi PLTN. "Jadi dalam program pemerintah, PLTN sudah masuk dalam rencana pembangunan jangka panjang," tegas Suparman. RH
