Catatan dari Rapat BAM DPR dengan Forum Tanah Air: Dari RUPTL hingga Hilirisasi


Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Forum Tanah Air (FTA) & Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI (
27 Agustus 2025)

Dr. Marwan Batubara: Bidang Energi dan SDA

Ada tiga hal pokok yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) seperti diuraikan berikut ini:

1. Energi Listrik

Biasanya Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) setiap tahun dan diproyeksikan berlaku 10 tahun ke depan. Sekitar Juni 2025, telah terbit RUPTL 2024 -2034. Dalam dokumen ini, di samping rencana pembangunan jaringan transmisi, distribusi dan gardu-gardu listrik, tercantum pula rencana pembangunan pembangkit listrik dengan total kapasitas 69.500 MW, dibulatkan 70.000 MW.

Seperti diketahui sepuluh tahun lalu telah ditetapkan RUPTL 2015-2024, di mana tercantum pembangunan pembangkit listrik dengan total kapasitas sebesar 35.000 MW. Proyek tersebut terkenal dengan nama proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Maka dibanding rencana 10 tahun yang lalu, proyek pembangkit listrik 10 tahun ke depan (70.000 MW), nilai kapasitasnya dua kali lipat.

Rencana pembangunan pembangkit sebesar 70.000 MW ditetapkan atas dasar asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata Indonesia dalam 5 atau 10 tahun ke depan adalah sebesar 8%. Biasanya tingkat pertumbuhan kebutuhan/konsumsi listrik Indonesia diasumsikan sekitar 110% terhadap pertumbuhan ekonomi.

Menjadikan angka pertumbuhan ekonomi 8% sebagai rujukan RUPTL atau rencana pembangunan infrastruktur listrik nasional merupakan kesalahan fatal. Sebab, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 8% merupakan utopia dan mengada-ada. Seandainya pun tercapai, hal itu hanya mungkin tejadi pada tahun ke-4 atau ke-5 pemerintahan Prabowo. Bukan angka rata-rata 8% selama 5 tahun! Faktanya, tahun 2025 ini pertumbuhan eknomi Indonesia hanya 4,7% (diklaim 5,12%!). 

Jika angka pertumbuhan ekonomi 8% untuk RUPTL 2025-2034 tetap diterapkan, maka akan terjadi kelebihan pasokan listrik yang cukup signifikan. Kelebihan tersebut akan membuat beban biaya pokok penyediaan listrik naik, yang pada gilirannya akan membuat tarif listrik bagi seluruh rakyat konsumen listrik dan beban subsidi listrik di APBN pun ikut naik.

Seperti diketahui, pembangunan proyek pembangkit listrik 35.000 MW (RUPTL 2015-2024) Era Jokowi sebenarnya juga didasarkan pada angka pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dari seharusnya. Akibatnya, Indonesia mengalami kelebihan pasokan listrik Jawa-Bali dan Sumatra secara signifikan selama bertahun-tahun. Saat ini dan dalam 1-2 tahun ke depan kelebihan pasokan listrik nasional akibat proyek 35.000 MW Jokowi adalah sekitar 5 GW.

Padahal, setiap kelebihan pasokan listrik 1 GW, PLN harus menanggung kerugian sekitar Rp 3 triliun. Kerugian PLN tersebut jelas akan ditransfer menjadi kerugian yang dialami rakyat dan negara. Faktanya, dalam 5-6 tahun terakhir, PLN (baca: rakyat sebagai konsumen listrik dan APBN sebagai penanggung subsidi listrik) telah membayar kerugian kelebihan pasokan listrik lebih dari Rp 25 triliun!

Di samping kelebihan pasokan litsrik, biaya pokok penyediaan listrik juga ikut naik akibat PLN dipaksa membeli produksi listrik swasta (Independent Power Producer, IPP) melebihi kebutuhan. Hal ini terjadi akibat diterapkannya skema take or pay (TOP). Prinsipnya, berapa pun produksi listrik yang dihasilkan IPP di suatu wilayah, PLN wajib membeli produksi tersebut, meskipun yang dibutuhkan PLN lebih rendah.

Disimpulkan, penetapan RUPTL yang didasarkan pada pertumbuhan yang tidak benar dan skema pembelian listrik swasta/IPP akan membuat beban biaya listrik bagi rakyat dan APBN, disebut sebagai kerugian, akan meningkat cukup besar.

Untuk tahun 2024/2025 diperoleh informasi di sektor kelistrikan bahwa pertumbuhan konsumsi listrik hanya sebesar 4,2%. Bagaimana mungkin RUPTL 2025-2034 merujuk angka pertumbuhan yang sangat besar, hingga 8%, jika proyeksi pertumbuhan rata-rata yang realistis diperkirakan hanya sekitar 4% hingga 6%?

Patut diduga penetapan angka pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan kebutuhan listrik dalam RUPTL 2025-2034 sarat moral hazard. Diduga ada persekongkolan jahat oknum-oknum penguasa/partai dan pengusaha oligarkis dalam penetapan. Angka kebutuhan listrik ditengarai  sengaja dibuat tinggi, melebihi yang sebenarnya. Dengan begitu, kapasitas proyek yang “tersedia untuk dibagi-bagi” sesama anggota oligarki menjadi lebih besar, meskipun masa pembangunannya melampaui masa bakti pemerintahan. 

Proyek dengan kapasitas berlebih (70.000 MW) yang akan dibangun hingga 2034 telah ditetapkan di awal. Semua yang menjadi anggota oligarki sudah mendapat “jatah proyek pembangkit”, tidak peduli jika jadwal pembangunan pembangkit  tersebut harus mundur 3 atau 4 tahun dari kurun waktu hingga 2034, melampaui periode rutin pemerintahan. Padahal pada 2034, pemerintahan bisa saja sudah berganti. Maka, dalam hal ini otoritas atau wewenang pemerintah pengganti tersebut telah tersandera atau dibajak. 

Moral hazard yang disebutkan di atas telah dialami pemerintahan Prabowo saat ini. Sebab dengan moral hazard  proyek 35.000 MW RUPTL 2015-2025 pada  Era Jokowi, yang dengan sengaja merencanakan pembangunan pembangkit listrik melebihi seharusnya, pemerintahan Prabowo masih harus meneruskan “warisan” pembangunan sejumlah pembangkit hingga tahun 2028/2029. Akibatnya, kesempatan Prabowo membuat kebijakan sendiri secara mandiri selama masa jabatan telah berkurang karena ada residu moral hazard warisan Era Jokowi.

Karena itu, kita menuntut agar RUPTL 2025-2034 yang sudah diterbitkan KESDM dibatalkan, terutama angka pertumbuhan kebutuhan listriknya harus merujuk pada angka pertumbuhan ekonomi yang layak dan terpecaya, bukan angka yang ambisius tak realistis, sarat pencitraan dan sarat moral hazard. Selain itu, skema TOP pembelian listrik swasta pun harus ditinjau ulang dibanding menjadi alat hisap oligarki atau pemicu kesenjangan ekonomi dan sosial. Harap dicatat, tarif/harga listrik yang dibayar PLN kepada IPP lebih mahal 30% dibanding jika PLN membangun pembangkit sendiri.

2. Sumber Daya Alam (SDA)

Tropical Coastland

Seperti diketahui dalam peroyek PIK-2 telah ditetapkan alokasi lahan yang disebut Tropical Coastland dengan luas 1700 ha. Dari lahan tersebut, pemerintah telah menyerahkan lahan milik negara seluas 1500 ha, yang pada prisnsipnya merupakan wilayah berstatus hutan lindung. Dalam hal ini kita menggugat adanya pelanggaran atas perubahan status hutan lindung menjadi lahan bisnis atau pariwisata. Lahan bisnis ini pun tidak jelas proses pengalihan dan pembayaran atau ganti ruginya kepada negara.  

Patut diduga bahwa pengalihan lahan milik negara tersebut terjadi akibat adanya KKN antara mantan Presiden Jokowi dengan Aguan dan Anthony Salim sebagai pemilik PIK-2. Aguan pernah mengungkap bahwa lahan tersebut diperoleh sebagai kompensasi atas keterlibatannya membangun beberapa proyek di IKN. Pemerintah dan DPR harus mengusut kejahatan ini!

Pagar Laut

Pada Januari 2025 pemerintah mengerahkan TNI AL untuk mencabut pagar laut sepanjang 30,16 km terbentang di pantai utara Banten yang dibangun pemilik PIK-2 (Aguan-Salim). Laut yang dipagar tersebut kelak akan direklamasi menjadi daratan yang akan dijual dengan harga mencapai Rp 65 juta/m2, dua atau 3 kali libat dibanding harag tanah di darat. 

Terdapat sekitar 13 UU dan Peraturan yang dilanggar dalam pembangunan pagar laut tersebut. Di samping pemilik PIK-2, pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat-pejabat dari tingkat desa hingga ke sejumlah kementrian dan Polri. Namun proses hukum atas pelanggaran tersebut hanya berlangsung terhadap Kepala Desa Kohod (padahal pemagaran terjadi di sekitar 16 desa). Pemerintah dan DPR dituntut untuk memulihkan kedaulatan negara di sepanjang pantai yang dicaplok PIK-2 dan mengusut tuntas seluruh pihak yang melanggar hukum tersebut, tak ketinggalan menteri-menteri terkait, serta Aguan, Salim dan Jokowi.

SDA untuk Pangan

Pemilik proyek PIK-2 juga telah menutup atau mengalihkan aliran sejumlah sungai, mengurug empang, tambak dan area persawahan yang cukup luas. Konversi empang, tambak dan persawahan ini jelas mengurangi pasokan atau target kemandirian pangan dan melanggar sejumlah UU. Karena itu, pemerintah dan DPR harus memulihkan seluruh area tersebut dan mengembalikannya kepada rakyat pemilik. Umumnya pemilik lahan telah dikriminalisasi, diintimidasi dan dipaksa menjual lahan mereka kepada PIK-2, dengan harga sangat murah. 

Proyek Rempang & Hilirisasi

Proyek Rempang Eco City akan dikembangkan sebagai kawasan industri, perdagangan, dan wisata terintegrasi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Pengembang proyek adalah PT Makmur Elok Graha (MEG), anak usaha Grup Artha Graha. Di pulau Rempang juga akan dibangun industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dimana salah satu bahan bakunya adalah Silica yang banyak tersedia di Rempang dan Kepri pada umumnya. Investor industri PLTS ini adalah China bekeja sama dengan Artha Graha.

Ke depan, guna mencapai target Net Zero Emission, emisi gas rumah kaca 0% pada 2060, Indonesia harus membangun PLTS secara massif. Merujuk butir ke-2 Asta Cita pemerintahan Prabowo, maka kemandirian energi merupakan langkah utama untuk mencapai  target tersebut.  Oleh sebab itu, Indonesia harus menguasai industri PLTS dari hulu hingga hilir. Dalam hal ini Danantara harus diprioritaskan dan didukung pendanaannya oleh pemerintah dan DPR untuk membangun industri tersebut. Bukan membiarkan Artha Graha dan China mendominasi.

Terkait butir ke-5  Nawa Cita, tentang hilirisasi, di samping proyek PLTS di atas, pemerintah dan DPR harus menjamin pengamanan dan penguasaan limbah tambang timah yang banyak terdapat di Bangka-Belitung (Babel). Salah satu unsur penting limbah tambang timah adalah Thorium, yang berguna untuk penyediaan pembangkit Listrik tenaga nuklir (PLTN). Limbah ini, selama ini tidak diamankan, dikuasai penuh negara dan diproses untuk cadangan negara bagi pembangunan PLTN ke depan. 

Padahal volume limbah tambang timah tersebut sangat besar, ratusan ribu ton. Saat Koba-Tin (asal Malaysia) mengakhiri Kontrak Karya dengan pemerintah RI pada 2014/2015, limbah tambangnya mencapai lebih dari 400.000 ton. Karena tidak terurus, saat ini limbah tersebut tidak jelas rimbanya. Yang lebih jelas: limbah terebut banyak “dibeli” secara gelap oleh “investor” dari AS, China dan Eropa. Ke depan, karena masih menambang timah, terutama di perairan Babel, kita menuntut Pemerintah dan DPR, agar Indonesia menguasai dan mengamankan limbah tambang tersebut yang sangat berguna dan strategis bagi kemandirian dan ketahanan energi nasional.

Catatan dari Rapat BAM DPR dengan Forum Tanah Air: Dari RUPTL hingga Hilirisasi Catatan dari Rapat BAM DPR dengan Forum Tanah Air: Dari RUPTL hingga Hilirisasi Reviewed by Ridwan Harahap on Selasa, September 09, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.