Efisiensi Energi Bangunan: Potensi Hemat Rp2,8 Triliun dan Turunkan Emisi Jutaan Ton CO₂

Terminal Intermoda Joyoboyo meraih Peringkat Silver dari Green Building Council Indonesia pada tahun 2020 karena menerapkan material ramah lingkungan dan sistem efisiensi energi. 

Surabaya, OG Indonesia --
Proyek Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI) melanjutkan rangkaian kegiatan di Kota Surabaya, Jawa Timur, untuk mendorong dekarbonisasi bangunan dengan melakukan peningkatan kapasitas bagi para pemangku kepentingan. 

Dalam agenda tersebut, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menyebutkan, terdapat 679 gedung komersial di seluruh Indonesia yang wajib menerapkan manajemen energi sesuai ambang batas 500 TOE. Dengan asumsi penghematan energi sebesar 10%, potensi efisiensi yang bisa dihasilkan mencapai hampir Rp1 triliun per tahun. 

Sementara di sektor gedung pemerintah, khususnya yang tercatat dalam golongan tarif PLN P2 (pelanggan pemerintah dengan daya di atas 200 kVA) dan B2 (pelanggan bisnis besar dengan daya mulai dari 6.600 VA hingga 200 kVA), terdapat 4.751 unit bangunan. 

Dengan asumsi penghematan rata-rata 18%, penerapan manajemen energi berpotensi menekan biaya hingga Rp1,8 triliun per tahun sekaligus menurunkan emisi sekitar 1 juta ton CO₂. Dengan demikian, total penghematan biaya energi tahunan dari sektor bangunan gedung diperkirakan bisa tembus hingga Rp2,8 triliun.

“Proyek SETI salah satunya ingin mendorong efisiensi energi di bangunan, yang penekanannya bukan hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan perilaku, penguatan manajemen energi, dan membangun ekosistem yang mendukung agar hasil rekomendasi bisa dijalankan secara berkelanjutan,” ujar Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Menurut Hendra, meski potensi penghematan energi di sektor bangunan besar, tantangan utama ada pada pembiayaan. Tingginya capital expenditure (CAPEX) menimbulkan persepsi risiko, terutama bagi perusahaan menengah yang butuh dukungan skala kecil. Untuk mengatasinya, pemerintah menghadirkan skema seperti Energy Savings Guarantee (ESG) oleh ESCO dan Energy Savings Insurance (ESI) bagi lembaga keuangan untuk memitigasi risiko investasi.

“Penjaminan kinerja oleh ESCO menetralkan risiko proyek efisiensi energi, sementara asuransi kinerja membantu lembaga keuangan mengurangi risiko investasi,” Hendra menjelaskan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menekankan bahwa efisiensi energi di sektor bangunan akan memberikan dampak besar bagi penurunan emisi nasional. 

“Bangunan merupakan pengguna energi listrik terbesar, terutama untuk pemanasan dan pendinginan. Oleh karena itu, peningkatan efisiensi energi melalui rancangan bangunan yang berkelanjutan, pemanfaatan energi terbarukan, serta perilaku hemat energi para penghuninya dapat memangkas emisi gas rumah kaca secara signifikan,” ujarnya.

IESR bersama GIZ sebagai proyek koordinator, Yayasan Indonesia CERAH, World Resource Institute (WRI) Indonesia, Fraunhofer Institute, dan LPEM UI merupakan bagian dari konsorsium Proyek SETI menjadikan Surabaya sebagai kota percontohan untuk dekarbonisasi bangunan gedung. 

Sejak awal tahun, tim SETI bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surabaya dan pengelola gedung melakukan studi baseline konsumsi energi pada 295 bangunan. Studi ini diproyeksikan selesai pada akhir September.

Surabaya telah menunjukkan komitmen dalam mewujudkan kota rendah karbon dengan mendorong penerapan konsep Bangunan Gedung Hijau (BGH). Salah satu contoh nyata adalah Terminal Intermoda Joyoboyo yang berhasil meraih Peringkat Silver dari Green Building Council Indonesia pada tahun 2020 karena menerapkan material ramah lingkungan dan sistem efisiensi energi. 

Selain itu, berbagai fasilitas publik seperti kantor Bappedalitbang, sekolah, penerangan jalan umum (PJU), hingga lampu lalu lintas telah mulai memanfaatkan energi surya melalui pemasangan panel surya.

Langkah ini sejalan dengan prinsip BGH yang menekankan penghematan energi, efisiensi penggunaan air, kualitas udara dalam ruang, serta penggunaan material ramah lingkungan. 

“Bagi Kota Surabaya, efisiensi energi mencakup tata kelola birokrasi sekaligus perancangan dan pengelolaan bangunan agar hemat energi dan sehat bagi masyarakat. Ini adalah kebutuhan di tengah meningkatnya konsumsi energi perkotaan, bukan sekadar pilihan,” Irvan Wahyudrajat, Kepala Bappedalitbang Kota Surabaya, menegaskan.

Untuk memperkuat upaya dekarbonisasi di sektor bangunan gedung, pemerintah pusat telah menyiapkan regulasi pendukung, yaitu PP No. 33/2023 tentang Konservasi Energi, Permen ESDM No. 3/2025 tentang Konservasi Energi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dan Permen ESDM No. 8/2025 tentang Manajemen Energi. 

Regulasi tersebut mewajibkan bangunan dengan konsumsi energi besar untuk menerapkan manajemen energi, melaporkannya secara digital melalui Pelaporan Online Manajemen Energi (POME), serta membuka akses pembiayaan melalui skema Energy Service Company (ESCO) dan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Implementasi aturan ini juga sejalan dengan perkembangan energi terbarukan, salah satunya lewat PLTS Atap. Menurut Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Andriah Feby Misna, realisasi kuota PLTS Atap menunjukkan tren penyerapan yang cukup tinggi. Pada Juli 2024 kuota terpakai 728,97 MWp dari 901 MWp, sedangkan pada Juli 2025 kuota terpakai 264,5 MWp dari 333,7 MWp, dengan kuota tahun 2026 ditetapkan sebesar 211 MWp.

Sejumlah praktik baik juga sudah muncul di sektor swasta dan pendidikan. Kalla Property, misalnya, berhasil menghemat energi sebesar 21–23% per tahun melalui retrofit sistem pendingin, penggunaan lampu LED, dan perbaikan ventilasi. Upaya ini berhasil menekan biaya operasional rata-rata Rp 2 miliar per tahun sekaligus menurunkan emisi sebesar 1,7 juta kg CO₂.

Dari sisi pendidikan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui platform Renewable Energy Integration Demonstrator of Indonesia (REIDI) telah memasang PLTS berkapasitas 437 kWp dan BESS (Battery energy storage system) sebesar 220 kWh. Instalasi ini menghasilkan listrik 435 MWh per tahun dan menurunkan emisi hingga 482 ton CO₂, menjadikan REIDI sebagai laboratorium hidup untuk inovasi energi terbarukan. RH

Efisiensi Energi Bangunan: Potensi Hemat Rp2,8 Triliun dan Turunkan Emisi Jutaan Ton CO₂ Efisiensi Energi Bangunan: Potensi Hemat Rp2,8 Triliun dan Turunkan Emisi Jutaan Ton CO₂ Reviewed by Ridwan Harahap on Selasa, September 30, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.