Produksi Energi Fosil Terus Naik, Benarkah Semua Makin Jauh dari Target Perjanjian Paris?


Jakarta, OG Indonesia -- 
Satu dekade setelah Perjanjian Paris, negara-negara di dunia –termasuk Indonesia– tetap merencanakan kenaikan produksi energi fosil hingga 2030, yang diperkirakan lebih tinggi 120% dari volume yang ditetapkan agar sesuai dengan jalur 1,5 derajat Celcius. Penghentian ekspansi produksi energi fosil harus jadi komitmen negara-negara di dunia dalam komitmen iklim (NDC) terbaru mereka.

Hal ini terungkap dalam laporan terbaru “Production Gap Report 2025” yang diterbitkan Stockholm Environment Institute (SEI), Climate Analytic, dan International Institute for Sustainable Development (IISD). Mengacu laporan tersebut, salah satu yang memperbesar selisih produksi energi fosil dengan target iklim adalah ekspansi batu bara dan gas. Produksi agregat batu bara pada 2030 tercatat 7% lebih tinggi dari proyeksi pada 2023, sementara gas 5% lebih besar.

Laporan ini juga mengungkap, rencana produksi batu bara, minyak, dan gas dari 20 negara produsen energi fosil terbesar dunia –termasuk Indonesia, secara kolektif menyumbang sekitar 80% produksi energi fosil global.

“Pada 2023, pemerintah dunia mengakui perlunya meninggalkan energi fosil untuk mengurangi krisis iklim, sebuah kewajiban yang kini juga ditekankan Mahkamah Internasional. Namun laporan ini menunjukkan, meski telah menyatakan komitmennya untuk bertransisi ke energi bersih, banyak negara justru merencanakan peningkatan produksi dibandingkan dua tahun lalu,” kata Derik Broekhoff, Direktur Program Kebijakan Iklim di Pusat SEI Amerika Serikat.

Khusus Indonesia, laporan ini menyoroti inkonsistensi kebijakan energi pemerintah. Meski Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan komitmen untuk mencapai 100% energi terbarukan pada 2035, namun pada saat yang sama produksi minyak tetap digenjot hingga 65% pada 2030 dari tingkat produksi pada 2023. Swasembada energi jadi dalih peningkatan produksi ini. Indonesia juga menargetkan peningkatan produksi gas domestik hingga 60% dengan alasan untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Kebijakan yang tidak sejalan tersebut membuat komitmen pemerintah terhadap aksi iklim dipertanyakan. Apalagi, Pemerintah Indonesia juga belum menyerahkan dokumen NDC 2025. NDC terakhir yang diperbaharui pemerintah yakni pada 2022, yang menegaskan komitmen untuk mengurangi emisi hingga 32% pada 2030 dengan upaya sendiri, atau 43% dengan bantuan internasional.

Wicaksono Gitawan, Program and Policy Manager CERAH mengatakan, Second NDC (SNDC) Indonesia harus segera diserahkan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). SNDC harus memuat target iklim yang lebih ambisius agar sejalan dengan komitmen energi terbarukan 100% yang telah dinyatakan Presiden Prabowo.

“Keterlambatan Indonesia untuk memberikan dokumen SNDC terbaru pada Februari lalu berisiko menurunkan kredibilitas di mata global. Kami berharap pemerintah tidak kembali melewati tenggat waktu baru –yakni akhir September– yang diberikan UNFCCC, karena SNDC bukan sekedar dokumen, namun bukti keseriusan pemerintah untuk menurunkan emisi dan mempercepat transisi energi,” Wicaksono menegaskan.

Untuk memenuhi target Perjanjian Paris, Indonesia dan seluruh negara harus kembali membuktikan komitmennya dengan menerapkan upaya serius untuk menurunkan produksi fosil yang lebih cepat dengan volume lebih signifikan. Untuk itu, pemerintah berbagai negara di dunia harus menyusun kebijakan yang terkoordinasi dan terencana agar transisi dari energi fosil berjalan adil.

Emily Ghosh, Direktur Program Transisi Energi yang Adil di SEI Amerika Serikat menekankan, pemerintah di seluruh dunia perlu bertindak cepat untuk mengalihkan investasi dari fosil ke energi terbarukan. Komitmen ini harus ditegaskan oleh seluruh negara pada Konferensi Iklim Ke-30 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP30.

“Pada COP30, pemerintah harus berkomitmen memperluas energi terbarukan, mengelola permintaan energi, dan melaksanakan transisi yang berpusat pada masyarakat agar kita kembali pada jalur Perjanjian Paris. Tanpa komitmen ini, dan jika kita terus menunda langkah mitigasi, akan berdampak pada meningkatnya emisi dan memperburuk dampak iklim pada kelompok masyarakat yang paling rentan,” tegas Ghosh. RH

Produksi Energi Fosil Terus Naik, Benarkah Semua Makin Jauh dari Target Perjanjian Paris? Produksi Energi Fosil Terus Naik, Benarkah Semua Makin Jauh dari Target Perjanjian Paris? Reviewed by Ridwan Harahap on Senin, September 22, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.