Ironi Industri Nikel Nasional (3): Menggugat Hilirisasi Omong Kosong


Oleh: Marwan Batubara, Komite SDA & Lingkungan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) dan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS)

Tulisan KAMI sebelumnya tentang "penjajahan" TKA China, bukan saja menyangkut pelanggaran terkait ketenagakerjaan, keimigrasian, perampokan hak kerja warga pribumi, hingga ketimpangan gaji yang mencolok. Tetapi juga menyangkut manipulasi pajak, royalti dan hilangnya PNBP. Sehingga, bukannya mendatangkan manfaat, kebijakan hilirisasi sektor mineral justru banyak merugikan negara dan rakyat. Manfaat nilai tambah hilirisasi jauh lebih banyak dinikmati asing China, konglomerat dan oligarki, seperti diuraikan berikut ini.

Program hilirisasi produk tambang merupakan perintah UU Minerba No.4/2009 dan peraturan turunan UU Minerba, yakni PP No.10/2010, PP No.1/2014 dan PP No.1/2017. Esensi pengaturan nilai tambah antara lain adalah kewajiban seluruh pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) melakukan pengolahan dan pemurnian domestik produk tambang paling lambat 5 tahun sejak 2009. Namun program tersebut gagal terlaksana karena 2 kali direlaksasi sesuai PP No.1/2014 dan PP No.1/2017.

Selanjutnya terbit UU Minerba No.3/2020 yang mengatur kewajiban peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri (Pasal 102 dan 103). Pengolahan dan/atau pemurnian mineral dapat dilakukan: a) secara sendiri, dengan mengtegrasikan usaha tambang pemegang IUP atau IUPK lain yang memiliki fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian; atau b) bekerja sama dengan pemegang IUI (Izin Usaha Industri) yang melakukan kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian dengan kegiatan penambangan (Pasal 104).

Promosi hilirisasi intensif dilakukan sejak 2015, terutama oleh Kementrian ESDM, Perindustrian dan Perdagangan. Dipromosikan, hilirisasi akan memberi nilai tambah berlipat-lipat, baik tangible seperti deviden, pajak dan PNBP, maupun intangible seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan product domestic regional bruto (PDRB), perputaran ekonomi masyarakat, dll. “Demi hilirisasi”, larangan ekspor mineral mentah yang semula baru akan berlaku 2022, dipercepat ke 2020 melalui Permen ESDM No.11/2019. 

Prinsip hirilisasi: setiap peningkatan permintaan akhir terhadap komoditas yang dihasilkan berupa konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor, akan meningkatkan output perekonomian secara keseluruhan melalui mekanisme pengganda output (output multiplier).

Selanjutanya, peningkatan permintaan akhir ini mengakibatkan peningkatan kesempatan kerja (employment multiplier) dan pada gilirannya akan mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga (income multiplier). Intinya terjadi output, employment dan income multipliers.

Selain keuntungan tangible dan intangible, pemerintah juga menyatakan program hilirisasi akan bermanfaat menarik investasi luar negeri (FDI), menghemat devisa, mengendalikan pasokan dan harga mineral global, mengkonsolidasi produksi yang tersebar, mencegah penyeludupan, mengeliminas transfer pricing dan under reporting, meningkatkan ketahanan mineral dan memperkuat struktur industri nasional melalui penguasaan rantai produksi, serta memberi peluang menjadi negara industri dan meningkatkan GDP. Semua ini belum terwujud.

Hilirisasi berupa proses produksi dari bahan tambang hingga menghasilkan produk jadi siap pakai, secara terencana, sistemik, konsisten dan terintegrasi akan memberi nilai tambah berlipat-lipat. Menurut pemerintah saat memulai kampanye hilirisasi, proses pengolahan, pemurnian dan fabrikasi bijih mineral, hingga menjadi produk akhir konon dapat memberi nilai tambah sbb: Nikel: 19 kali, Besi: 4 kali, Bauksit: 30 kali, Timah: 12,  dan Tembaga: 11 kali. Nilai tambah berlipat ini akan diperoleh jika seluruh proses berlangsung di dalam negeri. 

Aspek Teoritis & Praktis

Hilirisasi secara garis besar meliputi proses eksplorasi, penambangan, pengolahan, pemurnian dan fabrikasi. Dari sisi produk, proses meliputi produksi ore (bijih mineral), bahan baku (smelting/refining), bahan setengah jadi (forming) dan produk jadi (fabricating). Proses forming dan fabricating memberi nilai tambah lebih besar dibanding proses smelting/refining. Jika dikaitkan dengan manfaat efek berganda, maka seluruh proses inilah yang dapat memberi keuntungan nilai tambah hingga 19 kali lipat mineral nikel jika dilakukan di dalam negeri. 

Produk yang dihasilkan dari proses smelting/refining tambang nikel terutama adalah Nickel Pig Iron (NPI), Nickel Matte, Ferro Nickel dan Nickel Hidroxite. Proses forming terutama menghasilkan produk-produk stainless steel berupa slab, billet, HRC dan CRC. Sedangkan proses fabricating menghasilkan produk-produk jadi atau siap untuk aplikasi, misalnya alloy steel, non-ferrous alloy, platting, foundry, batteries, cathodes, pellets, dll. 

Manfaat nilai pengganda/tambah program hilirisasi umumnya terdistribusi kepada negara, daerah, pengusaha tambang, investor smelter, investor pabrik/produk jadi, pekerja, bank/lembaga keuangan dan rakyat. Dalam hal ini, perolehan negara berupa pajak, royalti, landrent, dll; daerah, berupa PDRB, PAD dan ekonomi yang tumbuh; rakyat berupa upah dan kegiatan perekonomian; bank pemberi pinjaman, berupa bunga; pengusaha tambang, investor smelter, dan investor produk jadi, berupa keuntungan.

Manfaat nilai tambah akan terdistribusi dan dinikmati semua pihak yang terlibat secara wajar dan berkeadilan, jika kebijakan, UU, peraturan, serta praktek bisnis dijalankan secara konsisten, bebas KKN dan bebas prilaku moral hazard. Dalam hal ini, negara sebagai pemilik SDA mineral otomatis akan memperoleh manfaat dan keuntungan terbesar, yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Dunia Nyata Hilirisasi NKRI

Ternyata proses yang terjadi di Indonesia mayoritas hanyalah proses penambangan yang mengahasilkan ore, smelting/refining dan sedikit proses forming yang menghasilkan produk-produk stainless steel. Sekitar 80 % produk yang di hasilkan smelter-smelter China di Sulawesi adalah NPI dan 20 % stainless steel. Proses fabricating, yang memberikan nilai pengganda jauh lebih besar, justru terjadi di luar negeri, terutama China Daratan. Maka nilai tambah yang diperoleh NKRI otomatis jauh lebih rendah dari 19 kali lipat. Seorang mantan Dirjen Minerba dan sejumlah pakar menyebut, nilai tambah yang diperoleh NKRI hanya sekitar 2-3 kali lipat.

Jika ditilik hanya pada proses penambangan dan smelting saja, program hilirisasi NKRI memang tidak memberikan nilai besar berlipat-lipat. LPEM-UI (2019) menghitung, proses tambang hanya memberi pengganda output 1,44 kali, pengganda pendapatan 1,9 kali dan pengganda tenaga kerja 2,17 kali. Sedangkan proses smelting bernilai pengganda output 3,07 kali, pengganda pendapatan 3,52 kali dan pengganda tenaga kerja 4,15 kali.

Dalam praktek dunia nyata saat ini, kondisi program hilirisasi kita masih jauh dari nilai ideal yang dipromosikan dan diimpikan. Pemerintah boleh kampanye nilai tambah 19 kali untuk mineral nikel. Namun secara teori menurut LPEM-UNI, yang mampu diraih hanya sekitar 3- 4 kali.

Sayangnya, ternyata nilai 3-4 kali yang sudah rendah ini pun tidak dinikmati negara dan rakyat Indonesia secara proporsional. Manfaat dan untung besar justru lebih banyak dinikmati China, investor China, konglomerat, oligarki dan TKA China. Mengapa demikian?

Pertama, untuk nilai tambah intangible, khusus kesempatan kerja, rakyat NKRI yang berhak memperoleh kehidupan layak sesuai konstitusi terpinggirkan. Investor China, konglomerat dan oknum-oknum pejabat pemerintah justru lebih memilih ribuan rakyat China lulusan SD, SMP dan SMA menjadi buruh kasar dibanding pribumi. Sebagai contoh, silakan pemerintah dan DPR buktikan penyelewengan ini minimal pada smelter VDNI dan OSS! 

Kedua, nilai tambah intangible dan tangible juga minimalis karena sebagian perusahaan smelter nikel menggunakan barang modal dari China dan membayar gaji karyawan TKA China di China Daratan. Kegiatan ekonomi hilirisasi seperti ini, tidak memberikan kontribusi pada perekonomian. Setiap peningkatan permintaan akhir terhadap komoditas yang dihasilkan dalam bentuk konsumsi, investasi, pengeluaran dan ekspor, tidak meningkatkan output perekonomian secara keseluruhan melalui mekanisme pengganda (multiplier). 

Ketiga, nilai tambah tangible yang menjadi penerimaan negara, pusat dan daerah (Pajak, PNBP, dll), bernilai puluhan triliun, juga hilang! Mengapa? Karena para investor China dan konglomerat mendapat fasilitas-fasilitas: 1) bebas bayar Bea Masuk (BM); 2) bebas bayar royalti (sebagai pemegang IUI); 3) tax holiday; 4) bebas PPN; 5) bebas pajak ekspor; 6) bebas bayar PPH-21, Iuran Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) karena TKA China menggunakan visa kunjungan 211 (bukan visa kerja 311).

Dalam hal 1) Bea Masuk, para investor smelter membuat Master List di mana Import Duty Tax tersebut adalah Nol. Apabila Import Duty Tax telah dibayar, maka belakangan investor smelter akan melakukan Restitusi Pajak. Untuk 2), investor smelter sebagai pemegang IUI bebas kewajiban bayar royalti. Justru investor tambang, mayoritas pengusaha lokal lah yang wajib bayar royalti. Untuk 3), pemerintah memang telah nyata memberi fasilitas tax holiday 25 tahun kepada para investor sesuai syarat minimal investasi. Untuk butir 4) dan 5), Export Duty Tax dan Value Added Tax/PPN atas proses “Seperempat Hilirisasi” ini adalah Nol.  

Khusus untuk butir 6) di atas, kejahatan sistemik yang dilakukan investor China bersama konglomerat dan didukung oknum penguasa adalah hilangnya penerimaan negara sekitar Rp 37,93 juta per orang per tahun. Berkaca pada kasus Smelter VDNI dan OSS yang diperkirakan mempekerjakan sekitar 5000 TKA, maka negara dirugikan sekitar Rp 189 miliar per tahun. Jika jumlah smelter diasumsikan 30 buah, maka hanya dari pajak dan iuran yang wajib dibayar TKA China ini, negara berpotensi kehilangan penerimaan sekitar Rp 5,68 triliun per tahun!

Berbagai pelanggaran dan manipulasi di atas jelas merugikan NKRI puluhan triliun rupiah. Meskipun terjadi penggandaan nilai output, pendapatan dan tenaga kerja, namun manfaat terbesar penggandaan tidak dinikmati NKRI dan rakyat, tetapi justru dinikmati investor China, konglomerat, oligarki kekuasaan. Ini berarti, program hilirisasi telah “dipakai” untuk merampok SDA nikel dan hak rakyat bekerja. Yang terjadi, adalah “hilirisasi omong kosong” demi keuntungan para investor China, konglomerat dan oligarki kekuasaan. 

Singkatnya, skema hilirisasi model penjajahan China dan konglomerat seperti ini tidak memberikan peningkatan output hilir, kesempatan kerja dan income (output, employment dan income multipliers) sebagaimana seharusnya. Para investor China, konglomerat dan oligarki mendapat kesempatan mengeruk kekayaan SDA NKRI secara melawan hukum, sarat rekayasa dan konspiratif. Anehnya, kita beri mereka berbagai insentif fiskal/non-fiskal berlebihan, dan kita sebut mereka sedang mendukung ekonomi dan pembangunan nasional.

Kita paham niat baik, ideal dan rencana di balik program hilirisasi. Namun melihat kondisi yang terjadi sekarang, di mana berbagai rekayasa, pelanggaran dan manipulasi terjadi hampir di semua mata rantai industri nikel, maka pelaksanaan program hilirisasi model seperti ini justru berubah menjadi alat merampok SDA negara. Karena itu, pemerintah, DPR dan berbagai lembaga terkait perlu segera memoratorium program hilirisasi omong kosong tersebut. Selain itu, berbagai pelanggaran yang dilakukan para investor, termasuk konglomerat dan oknum pejabat oligarkis perlu segera diproses hukum dan dikenakan sanksi.[]


Ironi Industri Nikel Nasional (3): Menggugat Hilirisasi Omong Kosong Ironi Industri Nikel Nasional (3): Menggugat Hilirisasi Omong Kosong Reviewed by Ridwan Harahap on Rabu, Juni 09, 2021 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.