Jakarta, OG Indonesia -- Peningkatan porsi pembakaran bersama (co-firing) biomassa bersama batu bara hanya memangkas sekitar 1,5-2,4% dari total emisi PLTU, sehingga tidak berdampak signifikan pada polusi udara. Bahkan, co-firing biomassa justru dapat melepaskan polutan berbahaya lain yang tidak dipantau dalam ambang batas emisi batu bara.
Hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) "Biomass co-firing in Indonesia: Prolonging, not solving coal problem". Laporan ini menemukan, rencana co-firing biomassa 10% pada 52 PLTU yang dirancang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2023, hanya menghasilkan pengurangan materi partikulat (PM) 9%, nitrogen oksida (NOx) 7%, dan sulfur dioksida (SO2) 10% di PLTU.
Sebaliknya, terdapat polutan berbahaya tambahan yang dilepas, seperti merkuri, karbon monoksida (CO) dan hidrogen sulfida (H2S), serta jejak logam berat seperti arsenik (As) dan timbal (Pb). Hal ini karena perbedaan batas ambang emisi yang ditetapkan untuk batu bara dan biomassa.
“Klaim yang tidak tepat seputar pengurangan emisi dari co-firing biomassa di PLTU yang disebut sebagai strategi transisi energi nasional harus diulas menyeluruh dalam diskusi nasional yang benar-benar menghubungkan upaya iklim dan kualitas udara. Upaya peningkatan kualitas udara hanya dapat dimulai ketika kita menyadari urgensi untuk memetakan jalur pensiun semua PLTU di Indonesia. Terlebih lagi, mitigasi emisi di PLTU selama beberapa dekade transisi hanya dapat ditangani dengan standar emisi yang ketat, yang akan memerlukan pemasangan teknologi pengendalian polusi udara di semua PLTU,” kata Katherine Hasan, Analis CREA, Jumat (30/5/2025).
Selain itu, klaim bahwa co-firing biomassa di PLTU PLN dapat mengurangi emisi, dibuat tanpa kuantifikasi komprehensif. Klaim ini seharusnya tidak hanya mencakup penurunan pemanfaatan batubara, tetapi juga perlu menghitung emisi siklus hidup rantai pasokan biomassa, yang mencakup pemanenan, pemrosesan, dan transportasi.
Dari aspek ekonomi, mengacu laporan CREA, harga acuan yang ditetapkan PLN untuk biomassa hanya memungkinkan pengadaan untuk biomassa berbiaya dan berkalori rendah seperti serbuk kayu, kulit padi, dan Refuse Derived Fuel (RDF) hasil pengolahan sampah padat — yang umumnya memiliki energi rendah.
“Masalah utama co-firing biomassa adalah pemangku kepentingan nasional melihatnya sebagai solusi mengurangi emisi bahan bakar fosil Indonesia, daripada benar-benar mengatasi akar permasalahan polusi udara atau memprioritaskan percepatan penyebaran sumber energi terbarukan. PLN bahkan membingkai co-firing biomassa sebagai strategi mendukung ekonomi kerakyatan dan mengurangi emisi, yang masih diragukan klaimnya karena tidak didukung oleh penilaian yang transparan dan menyeluruh,” kata Abdul Baits Swastika, Peneliti CREA.
Mengacu berbagai temuan ini, CREA mendorong pemerintah untuk memprioritaskan akuntabilitas dan transparansi penggunaan biomassa di PLTU, melalui pemantauan dan evaluasi. Langkah ini diperlukan untuk mengembangkan peta jalan bioenergi yang memberikan kejelasan bagi para pemasok, sehingga pasar dapat berkembang secara alami untuk memenuhi permintaan.
Kemudian, untuk membenarkan penggunaan bioenergi sebagai inisiatif berkelanjutan, PLN harus mewajibkan verifikasi independen atas emisi yang dilepaskan di seluruh rantai nilai.
CREA juga mendorong pemerintah untuk memprioritaskan penghentian PLTU secara bertahap dan mempercepat penggunaan energi terbarukan demi masa depan energi yang berkelanjutan dan adil. Kerugian akibat berkurangnya efisiensi dan tantangan operasional PLTU lantaran biomassa berkualitas rendah, sebaiknya digunakan untuk pengembangan energi terbarukan. Pembangkit listrik bioenergi sangat cocok untuk mengimbangi basis sumber daya biomassa Indonesia yang kaya dan beragam.
“Sudah beberapa tahun sejak co-firing biomassa ditawarkan sebagai solusi, namun belum ada kejelasan mengenai bagaimana biomassa akan diperoleh secara berkelanjutan dan bagaimana hal tersebut dapat ditingkatkan secara andal, mengingat biaya dan tantangan pasokannya. Kritik terhadap penggunaan biomassa semakin meningkat di banyak negara, terutama jika risiko-risiko tersebut tidak dikelola dengan baik. Laporan bahwa Korea Selatan akan menghentikan subsidi biomassa juga merupakan pertanda yang jelas akan melemahnya dukungan secara global,” kata Putra Adhiguna, Managing Director Energy Shift Institute.
Fiorentina Refani, Direktur Kajian Sosio-Bioekonomi di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menambahkan bahwa di Indonesia, kebutuhan produksi biomassa secara massal telah menjadi prospek bisnis yang menguntungkan di sektor kehutanan melalui program Hutan Tanaman Energi (HTE). Seperti terungkap dalam penelitian CELIOS, program ini pasti akan dilakukan dalam skala besar dan mengorbankan lingkungan, terutama hutan alam, untuk memenuhi permintaan pembangkit listrik.
"Sumber bahan baku biomassa yang ada saat ini tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan co-firing di PLTU di masa depan, sehingga terbentuk dorongan besar untuk perluasan HTE sebagai langkah untuk mengamankan pasokan biomassa. Hal ini jelas menunjukkan bahwa narasi keberlanjutan yang selama ini dilekatkan pada pembakaran bersama biomassa hanyalah mitos belaka,” ucap Fiorentina Refani. RH
