Jakarta, OG Indonesia -- Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 dinilai akan membuat batu bara dan gas masih mendominasi pasokan listrik Indonesia dalam 10 tahun ke depan. Bahkan, RUPTL terbaru ini justru mendorong penambahan pembangkit listrik energi fosil secara signifikan pada 2025-2029. Kondisi tersebut berisiko membuat Indonesia kehilangan momentum untuk merealisasikan transisi energi.
Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Center for Research on Energy and Air (CREA) “Indonesia’s RUPTL outlines faster growth in fossil fuel use, downgrades ambition for clean energy”. Laporan ini menemukan, mengacu RUPTL 2025-2034, pembangkitan listrik berbahan bakar batu bara dan gas nasional akan meningkat hingga 40% dari 285 terawatt hour (TWh) pada 2024 menjadi 406 TWh pada 2034. Bahkan jika dibandingkan RUPTL 2021-2030, pembangkitan listrik berbasis energi fosil juga akan lebih tinggi 10% menjadi 367 TWh pada 2030, mengacu RUPTL baru.
Lauri Myllyvirta, Analis Utama CREA, menuturkan, ketergantungan yang terus berlanjut pada batu bara dan ekspansi besar-besaran pada gas dalam RUPTL yang baru, merupakan kemunduran signifikan upaya transisi energi Indonesia. Dalam rencana ini, Indonesia akan mengalami kesulitan untuk mencapai batas emisi karbon sebesar 290 juta ton CO2 untuk sektor listrik pada 2030 seperti yang telah ditetapkan dalam JETP.
“Selain mengabaikan target iklim, keengganan Indonesia untuk berkomitmen penuh untuk pengembangan energi terbarukan dapat mengakibatkan hilangnya momentum penting yang dibutuhkan negara dalam dekade yang menentukan ini, yang dibutuhkan untuk mengamankan investasi untuk energi bersih dan infrastruktur jaringan listrik, serta menjaga keunggulan kompetitif Indonesia sebagai pemimpin energi bersih di Asia Tenggara,” Myllyvirta menjelaskan.
Meski rencana penambahan energi terbarukan lebih besar dalam RUPTL 2025-2034, pengembangannya justru lebih lambat. Kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan diperkirakan justru lebih rendah jika mengacu RUPTL baru yaitu hanya 17 GW hingga 2030, dibandingkan 20,9 GW pada rentang waktu yang sama menurut RUPTL lama. Target penambahan energi surya dan angin dalam RUPTL baru sebesar 10,6 GW hingga 2030, juga hanya 40% dari target dalam dokumen investasi JETP 24,3 GW.
“Dokumen RUPTL yang baru menunjukkan keraguan untuk mendorong energi terbarukan. Terlebih lagi, target yang ditetapkan secara nyata melemahkan komitmen Indonesia yang telah dicapai dengan susah payah – terutama, komitmen yang telah dituangkan dalam JETP, di mana target energi terbarukan lebih rendah dari aspirasi 56 GW pada 2030. Peningkatan produksi pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas juga jauh menyimpang dari komitmen JETP yang mengasumsikan pengurangan bertahap,” kata Katherine Hasan, Analis CREA.
Untuk itu, CREA mendorong target energi terbarukan dalam RUPTL yang lebih agresif dan selaras dengan target iklim JETP dan jalur 1,5 derajat Celsius. Pasalnya, dengan merealisasikan proyek energi terbarukan prospektif yang sebesar 45 GW, Indonesia akan melampaui target kapasitas energi terbarukan dalam rencana kelistrikan nasional 2030. Selain itu, CREA juga menekankan urgensi pemantauan yang ketat proyek energi terbarukan, mengingat perlunya meminta pertanggungjawaban PT PLN (Persero) atas komitmen dalam RUPTL.
CREA juga mendesak ditetapkannya jalur pensiun batu bara nasional yang menentukan tahun spesifik penghentian operasi PLTU, baik yang terhubung jaringan PT PLN (Persero) maupun tidak (PLTU captive), yang tidak disebutkan sama sekali dalam RUPTL terbaru. Padahal, analisis CREA menunjukkan, dampak kesehatan kumulatif terkait polusi udara yang disebabkan oleh PLTU akan mengakibatkan 303 ribu kematian dan biaya kesehatan US$ 210 miliar.
“Kalau Presiden Prabowo ingin mencapai visi masa depan bebas fosil dan mandiri energi pada 2040, diperlukan perubahan nyata dan agresif dalam rencana jangka pendek RUPTL, yaitu dengan ditetapkannya jalur pensiun pembangkit batu bara yang jelas, percepatan penyebaran energi terbarukan, dan yang terakhir dan yang paling penting, akuntabilitas PLN dalam implementasi proyek,” Katherine menegaskan. RH
