Pendanaan Batu Bara oleh Perbankan Indonesia Tembus US$ 7,2 Miliar di Tengah Krisis Iklim


Jakarta, OG Indonesia --
Di tengah semakin nyatanya dampak krisis iklim, perbankan nasional tercatat telah mengucurkan pinjaman hingga US$ 7,2 miliar ke perusahaan batu bara pada 2021-2024, dengan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebagai kontributor terbesar. Lemahnya komitmen pemerintah mendorong transisi energi membuat sektor batu bara masih dianggap menguntungkan, sehingga lembaga keuangan terus mengalirkan dana ke sektor ini.

Laporan terbaru Koalisi #BersihkanBankmu  Mendanai Krisis Iklim: Bagaimana Perbankan di Indonesia Mendukung Pembiayaan Batu Bara” mengungkap, dari total US$ 7,2 miliar, lima bank besar nasional menjadi pemberi pinjaman terbesar ke sektor batu bara yang mencapai US$ 5,6 miliar. 

Rincinya, Bank Mandiri menjadi penyumbang terbesar dengan total pembiayaan sebesar US$ 3,2 Miliar, disusul oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) US$ 809,5 juta, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) US$ 719,6 juta, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) US$ 451 juta, dan PT Bank Permata Tbk (BNLI) US$ 424 juta.

Hal ini didorong oleh kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengelompokkan pertambangan batu bara dan PLTU tanpa teknologi pengurangan emisi (unabated coal) sebagai aktivitas yang merusak lingkungan dan iklim. Namun di sisi lain, pemerintah masih mendorong penambahan kapasitas PLTU hingga 6,3 gigawatt (GW) sepanjang 2025-2034 melalui diterbitkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN terbaru.

Tak hanya itu, tidak adanya komitmen tegas meninggalkan batu bara juga mendorong adanya rencana tambahan 11 GW PLTU captive—pembangkit listrik berbasis batu bara yang terhubung langsung ke fasilitas industri—hingga 2026.  Padahal, Presiden Prabowo telah menyatakan, Indonesia berencana untuk mencapai 100% penggunaan energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan, bahkan lebih cepat dari target awal 2040 di Brasil awal Juli lalu.

“Inkonsistensi kebijakan ini membuat kelima bank besar tersebut belum memiliki kebijakan tegas untuk melarang pendanaan ke sektor-sektor ini. Akibatnya, mereka tetap secara aktif memfasilitasi investasi pada proyek yang membahayakan keberlanjutan lingkungan,” kata Nabilla Gunawan, penulis laporan yang juga peneliti Koalisi #BersihkanBankmu.

Padahal, pembiayaan sektor batu bara berisiko bagi bisnis perbankan ke depannya. Bank yang terhubung dengan proyek bereputasi buruk –termasuk terkait iklim dan lingkungan– berpotensi kehilangan kepercayaan investor dan mitra bisnis. 

Selain itu, permintaan batu bara global terus turun. Bahkan, ekspor batu bara Indonesia mencapai rekor terendah pada kuartal I-2025 ini lantaran turunnya permintaan dari China dan India yang mulai mengurangi ketergantungan mereka terhadap batu bara.

Bank Dunia juga memproyeksikan harga batu bara akan terus menurun hingga 2026. Sementara itu, proyek hilirisasi batu bara yang digencarkan pemerintah masih belum menunjukkan hasil signifikan akibat lemahnya kelayakan ekonomi, meskipun sudah ditetapkan sebagai sektor prioritas dalam program Danantara dan didukung insentif keuangan.

Untuk itu, Indonesia perlu mengadopsi kebijakan finansial berbasis sains dalam upaya mengikuti target Net Zero 2050. “Perbankan Indonesia perlu menerapkan kebijakan coal exclusion untuk tidak mendanai proyek batu bara baru maupun ekspansi, termasuk pembangkit captive, sebagai bentuk mitigasi risiko keuangan terkait iklim. 

Selain itu, diperlukan target penurunan eksposur portofolio terhadap batubara secara bertahap dan sejalan dengan jalur ilmiah menuju dekarbonisasi,” Nabilla menjelaskan.

Senada, Putra Adhiguna, Managing Director Energy Shift Institute (ESI), mengungkapkan, pemerintah perlu menciptakan kondisi agar perbankan nasional mengucurkan pembiayaan ke sektor energi terbarukan. Salah satunya dengan memperbaiki perencanaan pengembangan energi hijau ini, yakni tidak hanya merilis rencana jangka panjang seperti RUPTL, tetapi juga memastikan adanya proyek-proyek energi terbarukan yang ditawarkan dalam jangka pendek.

“Asia Tenggara, termasuk Indonesia ini masih tertinggal investasinya (untuk energi terbarukan) dengan negara-negara lain. Indonesia perlu mulai membangun jembatan menuju masa depan seiring dunia berubah. Menciptakan peluang dan memanfaatkan kekayaan yang ada sangatlah penting, bukan hanya menunggu bantuan,” kata Putra.

Hal lain yang penting yakni peran Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) selaku super holding bank-bank BUMN, seperti Bank Mandiri, BNI, BRI. 

Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Danantara seharusnya melakukan uji kelayakan yang mengintegrasikan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) untuk proyek-proyek yang akan didanai, menyusul masih adanya proyek fosil yang masuk daftar rencana investasinya. Apalagi, Danantara bergabung dalam International Forum of Sovereign Wealth Fund (IFSWF) yang menerapkan Santiago Principles.

Prinsip ini bertujuan untuk memastikan bahwa SWF dikelola dengan transparansi, akuntabilitas, dan prinsip tata kelola yang baik, dengan tujuan untuk menjaga dan memaksimalkan nilai aset negara untuk jangka panjang.

“Dengan telah bergabung dengan IFSWF dan dana kelolaan yang besar seharusnya ada taksonomi berkelanjutan dan mempunyai tekanan yang tepat kepada BUMN untuk investasi dan pendanaan kepada energi terbarukan,” Bhima menegaskan. RH

Pendanaan Batu Bara oleh Perbankan Indonesia Tembus US$ 7,2 Miliar di Tengah Krisis Iklim Pendanaan Batu Bara oleh Perbankan Indonesia Tembus US$ 7,2 Miliar di Tengah Krisis Iklim Reviewed by Ridwan Harahap on Kamis, Juli 31, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.