Oleh: Dr. Didik S. Setyadi (Doktor Ilmu Pemerintahan Alumnnus IPDN dan Ketua Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan/APHMET)
Belum lama ini saya diundang sebagai narasumber dalam Forum Pertanahan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi se-Indonesia di Surabaya untuk menyampaikan sumbang saran solusi bagi permasalahan pengadaan tanah bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dalam rangka swasembada energi dituntut agar semakin meningkat cadangan, produksi dan liftingnya.
Namun di sisi lain permasalahan pengadaan lahannya semakin hari bukannya semakin mudah dan pasti, justru semakin rumit ketentuan-ketentuan hukumnya yang harus dipatuhi, dan semakin banyak keterlibatan pejabat dan lembaga yang perlu dimintakan persetujuan.
Pada awal pembukaan presentasi saya sudah sampaikan kepada para audiens dan tentunya juga para narasumber yang lain, bahwa ke depan pemanfaatan tanah sudah pasti akan semakin rumit karena luas permukaan tanah yang relatif tetap, sementara kebutuhan tanah untuk berbagai kepentingan semakin bertambah. Pada kesempatan tersebut saya mengutip pendapat Ekonom Peter Drucker yang sangat terkenal bahwa: ”There are no poor countries. There are only under-managed ones." (tidak ada negara miskin, yang ada hanyalah kekurangan kemampuan untuk melakukan pengelolaan).
Bahkan dia menegaskan: “resources themselves do not create wealth; rather, it is the effective management and application of knowledge to those resources that drives a country's prosperity” (sumber daya alam tidak (otomatis) menciptakan kesejahteraan; melainkan pengelolaan yang efektif dan penerapan pengetahuan terhadap sumber daya alamlah yang menuntun pada kemakmuran suatu negara).
Poin saya mengapa mengutip pernyataan Peter Drucker tersebut adalah untuk menyikapi keluhan-keluhan yang dihadapi para pelaku kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (KKKS) akhir-akhir ini terutama akibat adanya Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Lahan Baku Sawah (LBS) dan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) yang sedang gencar-gencarnya diterapkan oleh Kementerian Pertanian dan didukung oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang, sehingga mekanisme pengadaan tanah untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang sejatinya telah dipayungi oleh Undang-undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU No. 2 Tahun 2012) beserta perubahannya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023) tidak dapat serta merta diterapkan.
Kepala Daerah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan pemeritahan di daerah menjadi galau manakala dimintakan persetujuan ataupun dukungan kegiatan pengadaan tanah untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi karana khawatir bertentangan dengan kebijakan LP2B, LBS dan atau LSD, akibatnya terjadi stagnasi proses pengadaan tanah atau setidaknya terjadi perlambatan signifikan jadwalnya dan terjadi penambahan panjang proses birokrasinya
Kondisi birokrasi Indonesia yang masih belum jua sembuh dari penyakit ego-sektoral adalah penyebab peliknya persoalan. Seperti yang dikatakan Drucker, para birokrat umumnya tidak menggunakan pengelolaan yang efektif (effective management) dan penerapan pengetahuan (application of knowledge) untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam menuntun ke arah penyelesaian masalah pemanfaatan tanah untuk mengakomodasi berbagai kepentingan bangsa (rakyat) dan negara, tetapi malah keukeuh pada peraturan perundang-undangan organik yang menyangkut kepentingan Kementerian/ Lembaga-nya sendiri-sendiri dengan berasumsi bahwa kepentingan masing-masing adalah yang terpenting sedangkan kepentingan yang lain dianggap tidak sepenting Kementerian/ Lembaga mereka sendiri.
Tata Ruang Sebagai Akar Masalah
Ketika saya ditanya lebih jauh soal faktor apa selain ego-sektoral birokrasi di Indonesia, jawaban saya cukup singkat dan tegas yaitu adalah soal ketidak cakapan penerapan manajemen penataan ruang. Mengapa tidak cakap? karena manajemen penataan ruang berdasarkan nilai strategis, potensi sumber daya alam, geostrategi, geopolitik, geoekonomi (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang) tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh, akibat kepentingan-kepentingan sektoral yang tidak dikoordinasikan dengan baik.
Penataan ruang yang memperhatikan nilai strategis, sumber daya alam, geostrategi, geopolitik dan geoekonomi dimulai dari pemetaan potensi sumber daya alam yang vital dan strategis bagi bangsa dan negara. Sumber daya alam vital artinya adalah sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh rakyat yang tidak mudah digantikan.
Sedangkan sumber daya alam strategis adalah sumber daya yang memiliki pengaruh terhadap ketahanan nasional. Dengan pemahaman seperti itu maka secara akademis/ ilmiah sudah dapat ditentukan apakah pemanfaatan ruang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi perlu dikalahkan/ dinomor duakan dengan pemanfaatan ruang untuk kepentingan lain? Jawabannya akan iya bila kepentingan lain itu adalah untuk kepentingan yang memiliki nilai vital dan strategis yang lebih tinggi antara lain: konservasi lingkungan hidup/ pencegahan bencana, cagar budaya atau pertahanan dan keamanan.
Akan tetapi bila ruang tersebut akan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, persawahan yang dapat digantikan/ dipindahkan, permukiman apakah perlu dikesampingkan? Di sinilah pentingnya application of knowledge seperti kata Drucker.
Kegiatan usaha hulu migas, sebagaimana kegiatan energi yang hulunya bersumber pada kekayaan alam adalah kegiatan yang tidak bisa dipilih-pilih dan atau dipindah-pindah lokasinya. Apakah itu Migas atau Panas Bumi lokasinya sudah ditetapkan oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta. Jadi persoalannya sangat sederhana yaitu apakah sumber energi ini akan dimanfaatkan atau tidak?
Secara naif kalau memang tidak perlu maka tidak perlu repot-repot dibuat undang-undang, tidak perlu diatur tata ruangnya dan tidak perlu dibentuk kelembagaannya. Faktanya perlu! Jadi mau tidak mau harus disediakan tata ruangnya, kecuali di tempat-tempat yang memiliki nilai vital dan strategis yang lebih tinggi sebagaimana telah disinggung di atas.
Kekeliruan Penerapan Kepatuhan Hukum
Selain faktor ketidak pahaman dalam penetapan kebijakan perencanaan dan atau penetapan tata ruang yang kerap terjadi pada birokrasi pemerintahan adalah kekeliruan penerapan kepatuhan hukum. Di dalam praktek yang terjadi, permasalahan LP2B, LBS, LSD ini muncul akibat adanya Surat Edaran-Surat Edaran yang diterbitkan oleh Menteri-menteri dan ditujukan kepada Kepala-kepala Daerah (Gubernur, Bupati/ Walikota).
Sebagai pejabat Administrasi Pemerintahan: Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sudah semestinya paham hirarki peraturan perundang-undangan sehingga Surat-surat Edaran yang diterbitkan oleh Menteri bila bertentangan/ tidak sesuai dengan Undang-undang (dalam hal ini Undang-undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum) tidak harus diikuti karena ada asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori apalagi bila bentuk surat itu hanyalah ”Surat Edaran” dan bukan Peraturan Menteri apalagi Peraturan Presiden.
Kalaupun Kepala Daerah ragu-ragu maka bisa minta fatwa kepada pembinanya yaitu Menteri Dalam Negeri atau Legal Opini kepada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Kekeliruan penerapan kepatuhan hukum ini adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur) yang ada sanksi hukumnya.
Selain Kepala-kepala Daerah maka seharusnya Kementerian yang membidangi Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga bisa dan harus mengingatkan secara official/ resmi kepada Kementerian/ Lembaga lain yang berpotensi menghambat target peningkatan cadangan, produksi dan lifting yang telah ditetapkan.
Kementerian ESDM juga perlu memperbaiki mekanisme yang ”Konsultasi Daerah” yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 21 Undang-undang No. 22 Tahun 2001 dimana sebelum Wilayah Kerja ditetapkan dan kemudian ditawarkan/ ditenderkan, dan sebelum Plan of Development (Pengembangan Lapangan) Pertama disetujui oleh Menteri harus dilakukan konsultasi dengan daerah dimana salah satu poin yang paling penting adalah konsultasi soal tata ruang agar tidak berbenturan dengan kepentingan lain.
Perbaikan mekanisme ke depan adalah dengan melibatkan Kementerian/ Lembaga Terkait lainnya antara lainnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan (bila terkait Kawasan Hutan), Kementerian Kelautan dan Perikanan (bila terkait wilayah laut), Kementerian Pertahian (bila menyangkut lahan pertanian) dan yang pasti/ wajib adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi adalah Kegiatan Vital dan Strategis
Belakangan ini sering dipersoalkan apakah suatu kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi itu masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) atau tidak? Kalau tidak maka tata ruangnya tidak bisa diprioritaskan. Munculnya pertanyaan semacam ini menunjukkan lemahnya pengetahuan/ pendalaman tentang Undang-undang Migas dan Undang-undang Penataan Ruang. Di dalam Penjelasan Umum Undang-undang No. 22 Tahun 2001 berkali-kali disebut bahwa Migas sumber daya alam yang bersifat Vital dan Strategis, kemudian di dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (5) Undang-undang Penataan Ruang pun secara eksplisit disebutkan bahwa yang termasuk kawasan strategis dari sudut pendayagunaan sumber daya alam adalah kawasan pertambangan minyak dan gas bumi, termasuk yang di lepas pantai.
Penjelasan Undang-undang adalah penafsiran otentik pembentuk undang-undang, sehiggga merupakan bentuk penafsiran yang kuat yang perlu diikuti oleh pelaksana undang-undang yaitu pemerintah (pusat dan daerah). Persoalannya apakah Kementerian ESDM sudah melakukan advokasi yang cukup terkait masalah ini kepada Kementerian/ Lembaga lain agar memahami dan bisa duduk bersama mencarikan solusi terbaik dan tidak membuat kebijakan-kebijakan yang bisa menyandera/ memperlambat kegiatan usaha hulu migas?
Sebagai seorang yang mendalami Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Hukum Pemerintahan saya berpandangan bahwa semestinya tidak perlu lagi mempersoalkan suatu kegiatan usaha hulu migas itu masuk PSN atau tidak, sebab semuanya sudah ada landasan hukumnyas sebagai kegiatan yang bersifat vital dan strategis.
Daripada ribut-ribut mana saja yang masuk PSN, alangkah strategisnya bila Kementerian ESDM fokus pada usulan pembuatan Peraturan Presiden tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas Sebagai Kegiatan Usaha Vital dan Strategis, sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Migas dan Undang-undang Penataan Ruang, sebab persoalan Tata Ruang merupakan enabler utama kesuksesan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi untuk ketahanan dan swasembada energi yang menjadi program Pemerintah.
Reviewed by Ridwan Harahap
on
Selasa, Desember 30, 2025
Rating:




