Tahun 2025: Tahun Terbaik atau Terburuk untuk Industri Petrokimia Dunia?


Oleh: Dr. Ardian Nengkoda (Dosen Praktisi Teknik Kimia UI, Dewan Pakar IATMI dan Komunitas Migas Indonesia/KMI)

Industri petrokimia global berada di persimpangan jalan pada tahun 2025 ini. Padahal, industri petrokimia adalah sektor industri yang mengolah bahan baku yang berasal dari migas, kondensat, atau fraksi turunannya menjadi berbagai bahan kimia dasar dan selanjutnya diolah menjadi produk antara (intermediate) serta produk turunan hilir yang digunakan sebagai bahan baku bagi banyak industri downstream yang lain.

Penutupan fasilitas besar oleh pemain global migas, pergeseran kapasitas ke negara-negara dengan biaya kompetitif, serta dominasi kapasitas Cina menjadi sorotan utama dinamika sektor ini. Tahun ini bisa jadi menjadi tahun penting dalam menentukan masa depan industri petrokimia, apakah akan bertahan atau bertransformasi secara drastis pada tahun-tahun ke depan.

Apakah penyebabnya? 

Restrukturisasi Global

Salah satu berita paling mencolok di industri petrokimia tahun 2025 ini adalah keputusan ExxonMobil yang akan menutup permanen salah satu steam cracker-nya di Singapura, yaitu unit proses dengan output sekitar 900–950 ktpa etilena yang dibangun pada 20 tahun lalu untuk mengatasi tekanan biaya dan kelebihan kapasitas global. Penutupan ini dijadwalkan berlangsung mulai Maret 2026 dan selesai pada Juni 2026, bagian dari upaya Exxon mengatasi margin industri yang semakin tipis tidak ekonomis dan kelebihan pasokan dari China.

Penutupan fasilitas semacam ini menjadi tanda lapangan geopolitik dan ekonomi yang berubah cepat dalam sektor petrokimia, terutama di kawasan Asia Tenggara yang sebelumnya menjadi hub (penghubung) penting bagi perusahaan global.

Selain Singapura, terdapat juga contoh keputusan penutupan fasilitas petrokimia di Eropa, misalnya rencana ExxonMobil menutup pabrik etilena di Skotlandia, yang sejalan dengan tekanan biaya dan kondisi pasar yang berkurang di kawasan Eropa.

Dominasi Kapasitas Cina dan Pergeseran Geografis

Salah satu tren paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir adalah pertumbuhan kapasitas Cina di sektor petrokimia. Walaupun angka pastinya bervariasi menurut berbagai laporan industri, kapasitas Cina telah berkembang menjadi yang terbesar di dunia dan diperkirakan mencapai sekitar 50 % pangsa kapasitas global pada 2030, terutama di segmen olefin dan poliolefin utama.

Pertumbuhan ini mendorong kelebihan pasokan di beberapa pasar global, menekan margin produsen di wilayah biaya tinggi seperti Eropa dan Asia Tenggara, serta merombak kembali rantai pasok global.

Dampak Rantai Nilai Petrokimia

Perubahan struktural industri petrokimia ini memiliki dampak yang signifikan di seluruh rantai nilainya termasuk:

1. Upstream (Bahan Baku dan Feedstock)

Penutupan hydrokarbon cracker mengurangi kapasitas upstream di beberapa kawasan, membuat feedstock seperti etilena dan propilena menjadi lebih kompetitif dalam hal harga. Namun, ini juga menghadirkan risiko volatilitas harga jika terjadi kekurangan pasokan jangka pendek.

2. Midstream (Pemrosesan, Transportasi dan Integrasi Vertikal)

Perusahaan di kawasan biaya rendah seperti Cina dan Timur Tengah semakin mengintegrasikan operasi mereka dari Upstream ke Downstream (hulu ke hilir), menciptakan efisiensi skala besar dan keunggulan biaya kompetitif yang sulit disaingi oleh pabrik di kawasan dengan biaya energi tinggi seperti Eropa.

3. Downstream (Produk Akhir dan Bahan Kimia)

Dengan kekuatan kapasitas besar, produsen berbasis Asia, terutama di Cina, semakin menguasai pasar produk petrokimia dasar seperti polietilena, polipropilena, serta aromatik. Tren ini juga membawa harga yang lebih kompetitif ke pasar global, yang menekan profitabilitas pemain lain yang tidak kuat.

Lalu Apa Risikonya?

Biaya Energi dan Regulasi Ketat: Produsen petrokimia di Eropa, Singapura, dan Jepang menghadapi biaya energi yang relatif tinggi serta regulasi lingkungan yang semakin ketat dari pemerintahnya. Sehingga meningkatkan beban operasional dan mengurangi daya saing dibandingkan fasilitas di Amerika Serikat, Timur Tengah, atau Cina.

Overcapacity dan Margin Tipis: Kontribusi kapasitas besar dari Cina telah menciptakan kondisi overcapacity di pasar global, yang akhir nya menekan margin produk petrokimia dasar. Hal ini menjadi salah satu alasan utama di balik penutupan fasilitas dan efisiensi operasional yang lebih rendah.

Ketergantungan Pada Pasar Ekspor: Perusahaan di kawasan kecil di belahan dunia atau dengan pasar domestik terbatas menjadi sangat bergantung pada ekspor. Di tengah harga yang kompetitif, pertumbuhan margin menjadi tantangan signifikan.

Peluang Bagi Indonesia?

• Relokasi Produksi dan Diversifikasi Lokasi: Perusahaan global sedang mengevaluasi ulang lokasi produksi mereka untuk menekan biaya. Relokasi atau penambahan fasilitas di kawasan dengan biaya produksi lebih rendah bisa menjadi strategi kunci untuk tetap kompetitif.

• Fokus pada Produk Bernilai Tinggi: Salah satu strategi bertahan saat ini bagi industri petrokimia adalah beralih ke segmen specialty chemicals dan produk bernilai tambah tinggi, yang permintaannya kurang sensitif terhadap harga global dan lebih mengandalkan kualitas serta inovasi teknologi.

• Penguatan Rantai Nilai Lokal: Indonesia dan negara-negara berkembang yang lain perlu melihat peluang untuk mengurangi ketergantungan impor dengan membangun fasilitas petrokimia sendiri. Contoh sukses datang dari Indonesia, di mana proyek fasilitas petrokimia baru menghasilkan etilena, propilena, dan berbagai produk turunannya, ditujukan untuk substitusi impor sekaligus memperkuat pasar domestik dan regional.

Indonesia berada di posisi unik yaitu pasar domestik besar, konsumsi petrokimia terus meningkat, namun defisit impor masih tinggi (polipropilena, polietilena, aromatik, methanol, dll). Ini menciptakan peluang besar untuk substitusi impor sekaligus ekspansi ekspor regional.

Di saat Eropa menutup plant karena biaya energi dan China mengalami oversupply, Indonesia dapat mengambil peran sebagai: basis produksi berbiaya kompetitif (akses batubara, gas, LNG, NGL, bio-feedstock), hub petrokimia ASEAN, dan produsen bahan baku hilir untuk industri manufaktur & energi hijau.

Di tahun 2025 ini kompleks cracker LCI di Cilegon berhasil dibangun dan menjadi tonggak hilirisasi industri kimia nasional. Pengembangan fasilitas Chandra Asri dan TPPI juga semakin menguatkan ekosistem petrokimia domestik. Inisiatif dari Pertamina untuk memperluas produksi feedstock dan produk hilir juga menambah kekuatan industri petrokimia nasional.

Namun keberhasilan hanya terjadi bila Indonesia bertransformasi dari sekadar pasar menjadi produsen bernilai tambah tinggi.

Kesimpulan Petrokimia 2025: Terbaik atau Terburuk?

Bagi produsen di kawasan berbiaya tinggi, seperti Eropa atau Singapura, tahun 2025 merupakan periode paling sulit yang pernah dialami industri petrokimia dalam dekade terakhir. Penutupan fasilitas besar dan penurunan kapasitas menunjukkan tekanan fundamental yang kuat terhadap model bisnis tradisional. Overcapacity global dan persaingan kapasitas tinggi dari China menekan margin dan profitabilitas.

Bagi pemain yang mampu beradaptasi dengan mengoptimalkan biaya, mendiversifikasi lokasi produksi, dan fokus pada produk hilir bernilai tambah, tahun 2025 ini bisa menjadi jalur transformasi penting. Pasar yang sedang tumbuh di negara berkembang dan bisa memberikan peluang ekspansi baru. Sementara itu perusahaan yang agresif melakukan digitalisasi dan efisiensi operasional dapat memperoleh keunggulan kompetitif.

Fakta penutupan fasilitas petrokimia seperti ExxonMobil di Singapura dan penurunan kapasitas di Eropa menunjukkan kekuatan tantangan industri ini. Namun, peluang relokasi, inovasi produk, serta pertumbuhan pasar di kawasan lain juga membuka peluang baru.

Selamat tahun baru 2026!

30 Desember 2025

Dhahran, Arab Saudi


Tahun 2025: Tahun Terbaik atau Terburuk untuk Industri Petrokimia Dunia? Tahun 2025: Tahun Terbaik atau Terburuk untuk Industri Petrokimia Dunia? Reviewed by Ridwan Harahap on Selasa, Desember 30, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.