Jakarta, O&G Indonesia--Renegosiasi
perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (FI) akhirnya menjadi
isu kontrversial dan hanya ramai dibicarakan sekelompok elite di
Indonesia. Padahal, masyarakat pemilik hak ulayat dan wilayah Papua yang
menjadi markas PT FI tersebut sama sekali tidak diberi ruang untuk
berpartisipasi.
Untuk itu, Forum Masyarakat Peduli Papua (Formepa)
mendesak agar renegosiasi perpanjangan kontrak karya PT FI melibatkan
masyarakat dan pemerintah daerah Papua tanpa mengesampingkan
kesejahteraan secara nasional.
Demikian salah satu
tuntutan sekitar 75 masyarakat yang tergabung dalam Formepa saat
melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada
Jumat (18/10).
Tuntutan Formepa agar hak dan partisipasi masyarakat serta kewenangan pemerintah daerah tersebut adalah bagian dari 17 tuntutan yang sudah disampaikan Gubernur Papua Lukas Enembe kepada PT FI jika ingin memperpanjang kontrak karya hingga 2041.
Tuntutan Formepa agar hak dan partisipasi masyarakat serta kewenangan pemerintah daerah tersebut adalah bagian dari 17 tuntutan yang sudah disampaikan Gubernur Papua Lukas Enembe kepada PT FI jika ingin memperpanjang kontrak karya hingga 2041.
Adapun 17 tuntutan
yang kemudian disuarakan kembali oleh Formepa itu sudah pernah diajukan
Pemprov Papua sejak awal 2015 lalu.“Ada beberapa tuntutan kami yang
sejalan dengan poin-poin yang pernah diajukan oleh gubernur terhadap PT
FI dan pemerintah pusat kontrak karya diperpanjang lagi,” kata Ketua
Formepa Herman Dogopia saat berorasi di depan DPR RI, Jl Gatot Subroto.
Adapun beberapa hal
yang diminta Gubernur Papua tersebut seperti memindahkan pusat operasi
FI ke Papua, memperbaiki hubungan FI dengan Pemda Papua dan kabupaten
sekitar, mewajibkan FI menggunakan jasa perbankan nasional (Bank Papua),
meningkatkan kontribusi pembangunan infrastruktur wilayah sekitar dan
menata program CSR serta memperbaiki pengelolaan dampak lingkungan
hidup.
Demikian juga soal pembangunan pabrik pengolahan (smelter), realisasi divestasi dan mendorong keterlibatan badan usaha milik daerah (BUMD) dan pelaku usaha lokal bisa terlibat.“Selain itu memprioritaskan tenaga kerja asal Papua dan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia,” tegasnya.
Demikian juga soal pembangunan pabrik pengolahan (smelter), realisasi divestasi dan mendorong keterlibatan badan usaha milik daerah (BUMD) dan pelaku usaha lokal bisa terlibat.“Selain itu memprioritaskan tenaga kerja asal Papua dan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia,” tegasnya.
Dalam tuntutannya,
Formepa juga menegaskan bahwa perpanjangan kontrak karya PT FI harus
melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah Papua tanpa mengesampingkan
kesejahteraan secara nasional.
Untuk itu, Undang-Undang Nomor 21/2001 yang diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus (Otsus) harus menjadi dasar dalam perpanjangan kontrak karya hingga 2041.
Seperti diketahui, 17 tuntutan Gubernur Papua Lukas Enembe menggunakan dasar UU Otsus. Adapun tuntutan tersebut sudah pernah dilontarkan secara khusus dalam rapat bersama Menteri Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) Sudirman Said pada awal Juli 2015 lalu.
Dalam rapat tersebut juga dihadiri President Director PT FI Maroef Sjamsoeddin. Namun, hingga kini tidak semua tuntutan tersebut sudah dipenuhi.Untuk itu, Formepa juga tegas menolak pemanfaatan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dalam perpanjangan kontrak karya.
Penolakan itu karena dengan UU Minerba maka hak masyarakat dan daerah Papua tidak diprioritaskan. Kasus “Papa Minta Saham” menjadi salah satu bukti bahwa sumber daya alam (SDA) di wilayah Papua hanya dieksploitasi untuk kepentingan elite tertentu yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia. Tidak ada kaitan sama sekali dengan hak dan kebutuhan masyarakat Papua yang selama ini dieksploitasi oleh berbagai kepentingan tersebut.
Untuk itu, Undang-Undang Nomor 21/2001 yang diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus (Otsus) harus menjadi dasar dalam perpanjangan kontrak karya hingga 2041.
Seperti diketahui, 17 tuntutan Gubernur Papua Lukas Enembe menggunakan dasar UU Otsus. Adapun tuntutan tersebut sudah pernah dilontarkan secara khusus dalam rapat bersama Menteri Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) Sudirman Said pada awal Juli 2015 lalu.
Dalam rapat tersebut juga dihadiri President Director PT FI Maroef Sjamsoeddin. Namun, hingga kini tidak semua tuntutan tersebut sudah dipenuhi.Untuk itu, Formepa juga tegas menolak pemanfaatan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dalam perpanjangan kontrak karya.
Penolakan itu karena dengan UU Minerba maka hak masyarakat dan daerah Papua tidak diprioritaskan. Kasus “Papa Minta Saham” menjadi salah satu bukti bahwa sumber daya alam (SDA) di wilayah Papua hanya dieksploitasi untuk kepentingan elite tertentu yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia. Tidak ada kaitan sama sekali dengan hak dan kebutuhan masyarakat Papua yang selama ini dieksploitasi oleh berbagai kepentingan tersebut.
“Saat ini yang sibuk
justru bukan masyarakat dan bukan juga pemerintah daerah. Kepentingan
sejumlah elite yang mengatasnamakan bangsa Indonesa telah menegasikan
hak masyarakat Papua. Padaha para elite bangsa menggunakan pengaruh dan
kekuasaannya memdapatan rente untuk pribadi, kelompok, dan
golongannya,” katanya.
Demo Renegosiasi Freeport di DPR
Reviewed by OG Indonesia
on
Jumat, Desember 18, 2015
Rating:
