Berharap Pada PLTA, Tulang Punggung Energi Terbarukan

Aliran Sungai Batang Toru
akan membangkitkan listrik
PLTA Batang Toru.
Foto: Ridwan Harahap
Jakarta, OG Indonesia -- Pemandangan langit biru di ibukota Jakarta saat ini sudah jadi hal yang langka. Jika melihat ke atas, warga Jakarta lebih sering melihat langit yang kelabu akibat polusi udara yang pekat. Pemandangan orang-orang yang beraktifitas di luar ruang dengan masker terpasang di wajah pun banyak sekali ditemui. Polusi udara memang bukan hanya masalah Jakarta tetapi juga mengancam banyak wilayah di dunia.

Sektor energi merupakan salah satu penyumbang terbesar masalah polusi udara tersebut. Sayangnya, di Indonesia saat ini masih ketergantungan pada energi fosil yang punya peran besar membuat udara kotor. 

Dalam bauran energi nasional, energi fosil khususnya batu bara masih mendominasi dengan persentase 58%. Padahal untuk membangkitkan listrik dengan batu bara akan banyak melepas polusi ke udara yang berdampak buruk pada kesehatan manusia. Kandungan CO2 yang dihasilkan dari emisi gas buangnya pun membuat atmosfer bumi menjadi kian panas dari waktu ke waktu.

Tak heran, inisiatif untuk segera beralih dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan yang bersih terus digaungkan. Apalagi Indonesia sebenarnya kaya akan sumber energi terbarukan seperti energi panas bumi, air, angin, surya, hingga arus laut. 

Dalam targetnya, Pemerintah Indonesia sudah mematok pemanfaatan energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Lalu akan ditambah lagi mencapai 31% sampai tahun 2050. Sementara saat ini pembangkit listrik dari energi terbarukan porsinya baru 13% saja. Tentunya perlu upaya lebih keras untuk menggenjot pemanfaatannya.

Saat ini tulang punggung energi terbarukan di Indonesia adalah pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Berdasarkan data PLN, dari 13% pembangkit listrik yang berasal dari energi terbarukan, PLTA masih yang terbesar dengan 7,61%. Berikutnya adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sekitar 4,95%, dan pembangkit listrik dari tenaga angin, surya, serta biomassa yang baru sekitar 0,27%. Sepanjang tahun 2017-2018 sendiri, kontrak pembangkit listrik dari tenaga air (hidro) mencapai 69% atau sebesar 1.104 MW dari keseluruhan kontrak pembangkit listrik energi terbarukan yang mencapai 1.581 MW.  

Potensi 75 GW

Rasio elektrifikasi di Indonesia saat ini sudah cukup besar. Diterangkan Harris, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, rasio elektrifikasi di seluruh wilayah NKRI sudah mencapai 98%. Hanya saja ia menggarisbawahi bahwa masih ada sekitar 1 juta rumah tangga yang belum menikmati listrik sama sekali. Di luar itu masih ada jutaan rumah tangga yang sebenarnya sudah terjangkau jaringan listrik namun listriknya tak selalu menyala selama 24 jam sehari. 

Karena itu pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik diharapkan dapat menuntaskan masalah belum meratanya pasokan listrik di Tanah Air tersebut. “Masih ada yang hanya dapat listriknya enam jam (dalam) sehari, atau mungkin bahkan ada yang kurang. Kondisi ini harus dibenahi,” kata Harris.

Solusi PLTA tentunya dapat membantu hal tersebut. Mengingat potensi air sebagai sumber energi pembangkit listrik di Indonesia cukup besar, diperkirakan mencapai 75 Gigawatt (GW) alias 75.000 Megawatt (MW). Dari jumlah tersebut sekitar 22 GW sudah mulai diselidiki dan dieksplorasi untuk dikembangkan. Sementara, kapasitas PLTA terpasang sampai tahun 2018 baru sebesar 5.769 MW. Pada tahun 2019 ini diharapkan kapasitas terpasangnya meningkat menjadi 6.064 MW. “Kita bisa menambah lebih banyak lagi dari potensi-potensi (tenaga air) yang ada,” jelas Harris.

Pihak Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) menyebutkan bahwa PLTA memiliki kontribusi terbesar dalam rencana Pemerintah untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional. “Dalam rencana Pemerintah mengembangkan energi terbarukan 23 persen (di tahun 2025) itu hidro punya kontribusi kurang lebih 50 persen,” ucap Muhamad Assegaf, Sekretaris Jenderal APPLTA. 

Dipaparkan Assegaf, PLTA memiliki banyak keunggulan dibanding sumber energi lainnya di Indonesia. Yang utama adalah potensinya yang sangat besar di Indonesia. Lalu, teknologinya pun tidak terlalu canggih sehingga mudah diadaptasi oleh tenaga ahli lokal. Proyek PLTA juga menyerap konten lokal yang tinggi di mana material lokal yang digunakan bisa mencapai 70%. Tentunya termasuk juga dengan penyerapan tenaga kerja lokal yang banyak dipakai dalam proyek pembangunannya. “Generating cost-nya juga tidak mahal-mahal amat. Capex (Capital Expenditure) juga enggak tinggi-tinggi amat, enggak setinggi geothermal. Opex (Operational Expenditure) juga sangat rendah,” beber Assegaf. 

Karena itu menurut Assegaf, energi hidro seharusnya mendapatkan prioritas dalam pengembangannya. “Kalau saya jadi Pemerintah saya akan anggap hidro ini anak emas, tapi (energi terbarukan) yang lain juga anak kesayangan, jadi enggak ada yang jadi anak tiri,” kiasnya. 

Namun bukan berarti pengembangan PLTA tak ada hambatan sama sekali. Diungkapkan olehnya, saat ini salah satu kendala dalam pengembangan PLTA di Indonesia adalah masalah ketidakpastian regulasi. “Saya kira di era baru, semangatnya juga baru, mudah-mudahan hambatan-hambatan regulasi ini bisa berkurang,” harapnya.

Apalagi pemanfaatan PLTA juga lebih ramah lingkungan ketimbang penggunaan energi fosil yang merusak lingkungan. “PLTA itu kan renewable energy yang tidak pakai bahan bakar fosil, jadi dia termasuk energi bersih karena emisi gas rumah kacanya kecil,” jelas Chrisandini, Climate Change Adaptation & Energy Specialist WWF Indonesia. 

Namun Chrisandini memberi sedikit catatan, bahwa pembangunan PLTA terkadang menimbulkan sedikit isu sosial di tingkat lokal. Alasannya karena proyek PLTA biasanya membutuhkan area pengembangan yang luas sehingga terkadang bersinggungan dengan wilayah hunian masyarakat setempat. 

Teknologi Run-off River

Memang untuk proyek PLTA yang harus membangun waduk atau bendungan air yang besar diperlukan langkah relokasi atau pemindahan pemukiman penduduk ke daerah lain. Tapi sebenarnya ada juga proyek PLTA yang tak membutuhkan area yang luas demi membangun waduk. Seperti proyek PLTA Batang Toru yang saat ini tengah dibangun PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. PLTA Batang Toru ini disebut irit lahan. 

Seperti dikutip dari situs resmi NSHE, PLTA Batang Toru dengan kapasitas 510 MW akan menggunakan teknologi run-off river atau memanfaatkan aliran sungai untuk menghasilkan listrik. Jadi bukan membendung air dan membangun waduk yang memakan banyak lahan. Diperkirakan PLTA Batang Toru hanya akan menggunakan sekitar 600 hektare dari total 7.000 hektare area yang diberikan izin lokasi oleh Pemerintah Daerah Tapanuli Selatan.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma menambahkan bahwa pembangunan PLTA, termasuk dengan model waduk, sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan tetap menggunakan energi batu bara yang dampak pencemaran udaranya sudah sangat parah sekarang ini. Apalagi PLTA juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti untuk irigasi hingga menjadi obyek wisata yang menarik. 

“PLTA ini ada nilai lebihnya, kalau misalkan dibangun bendungan kan bisa jadi tempat wisata dan macam-macam. Tapi kalau pembangkit dari batu bara kan enggak bisa, orang malah kalau bisa menjauh (dari PLTU batu bara),” jelas Surya Dharma sambil tersenyum. RH

Berharap Pada PLTA, Tulang Punggung Energi Terbarukan Berharap Pada PLTA, Tulang Punggung Energi Terbarukan Reviewed by OG Indonesia on Senin, November 11, 2019 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.