Aktivis Lingkungan: Membangun PLTN Seperti Menyalakan Bom Waktu

Jakarta, OG Indonesia -- Survei radiasi ekstensif terbaru Greenpeace Jepang telah menemukan bukti re-kontaminasi yang disebabkan oleh Topan 19 (Hagibis) dan Topan 21 (Bualoi) di 2019, yang melepaskan cesium radioaktif dari hutan pegunungan di Prefektur Fukushima.


“Hasil survei radiasi 2019 kami menunjukkan sifat kompleks dan persisten dari mobilisasi radionuklida dan re-kontaminasi di daerah-daerah di Prefektur Fukushima. Daerah hutan pegunungan di prefektur Fukushima, yang tidak pernah didekontaminasi, akan terus menjadi sumber re-kontaminasi jangka panjang. Temuan-temuan dari survei radiasi kami baru-baru ini membantah mitos 'normalisasi' di beberapa bagian Fukushima," kata Kazue Suzuki, Campaigner Energi Greenpeace Jepang.

Temuan perpindahan radioaktivitas yang mengkhawatirkan di Fukushima menurut pihak Greenpeace harus menjadi pelajaran berharga untuk negara-negara yang masih melihat PLTN sebagai solusi energi masa depan. Indonesia khususnya, di mana akhir-akhir ini berkembang isu pemanfaatan energi nuklir yang belum pernah digunakan dalam skala komersial di Indonesia sebelumnya.

“Indonesia negara dengan risiko bencana tinggi dan kekurang disiplinan petugas dalam kasus penemuan limbah radioaktif di Perumahan BATAN membuat pembangunan PLTN di Indonesia sama saja menyalakan bom waktu,” ungkap Dwi Sawung dari WALHI Eknas. 

"Kasus dibuangnya limbah radioaktif oleh pegawai BATAN di perumahan BATAN Indah, Tangsel menunjukan bahwa petugas kita masih lalai dan kelalaian itu dibiarkan bertahun-tahun tanpa hukuman yang tegas,” tambah Sawung. Kemudahan dan percepatan perizinan PLTN yang tercakup dalam Omnibus Law juga menjadi kekhawatiran tersendiri di tengah tidak tepatnya pembangunan PLTN untuk kebutuhan energi Indonesia. 

Satrio Swandiko, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menegaskan, “Indonesia jelas membutuhkan energi yang murah untuk masyarakat Indonesia. Investasi untuk PLTN bukanlah investasi yang murah, apabila dibandingkan dengan teknologi lain, investasi pembangkit nuklir merupakan salah satu yang terbesar”. Apabila dibandingkan dengan beberapa teknologi lain, dengan biaya investasi awal (dalam bentuk overnight capital cost) sebesar 6.317 USD/kW dan biaya operasi dan maintenance sebesar 121,13 USD/kW, PLTN termasuk dalam kategori yang tertinggi.

Saat ini di Indonesia PLTN dengan teknologi Molten Salt Reactor (MSR) dengan bahan bakar Thorium sebesar 500 MW  rencananya akan dibangun oleh ThorCon International yang juga telah menanamkan investasinya dalam proyek ini sebesar Rp 17 triliun. “Ini adalah perjudian dengan risiko kerugian yang sangat besar, teknologi ini belum teruji untuk bisa beroperasi secara komersial di belahan dunia manapun. Apakah rakyat Indonesia mau dijadikan percobaan pertama di saat pilihan energi terbarukan yang lebih murah dan aman justru disia-siakan?" tanya Satrio.

Tren global menunjukkan bahwa pembangkitan biaya listrik teraras (levelized cost of electricity/LCOE) untuk energi terbarukan seperti surya mengalami penurunan drastis dan semakin kompetitif dengan pembangkitan listrik konvensional. LCOE surya global sudah mencapai USD 32 - 44/MWh, sedangkan nuklir di kisaran USD 118 - 198/MWh. R2
Aktivis Lingkungan: Membangun PLTN Seperti Menyalakan Bom Waktu Aktivis Lingkungan: Membangun PLTN Seperti Menyalakan Bom Waktu Reviewed by OG Indonesia on Rabu, Maret 11, 2020 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.