Sektor Migas, Masihkah Jadi Panasea Ketahanan Energi Nasional?


Jakarta, OG Indonesia -- Sektor  minyak dan gas, yang memegang peranan vital dalam Ketahanan Energi Nasional Indonesia sedang berada di titik kritis. Penurunan kinerja produksi minyak yang terus merosot jauh dari angka kebutuhan nasional, menghadapkan Indonesia pada ancaman nyata defisit energi.

“Migas yang pernah kita anggap sebagai panasea alias obat mujarab ketahanan energi nasional, sekarang dianggap sebagai masa lalu. Padahal hingga saat ini, dibandingkan sumber energi lainnya, migas masih merupakan sumber energi utama dalam bauran energi nasional,” ujar Subroto, Ketua Bimasena, yang juga begawan migas nasional dalam pengantar webinar Bimasena Energy Dialogue bertajuk "Migas: Panasea Ketahanan Energi Nasional”, Sabtu (29/8/2020), di Jakarta. 

Bimasena Energy Dialogue merupakan rangkaian seri diskusi yang mengupas peran setiap komponen energi dalam penyediaan energi saat ini serta peta jalan dari para pemangku kepentingan terkait untuk mencapai target bauran energi ke depan.

Seri pertama yang mengangkat tema Migas menghadirkan pembicara Pelaksana Tugas Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial, Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Sugeng Suparwoto, Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi Budiman Parhusip, Direktur Utama PT Triangle Pase Indonesia Tumbur Parlindungan, dan ekonom Faisal Basri.

Melalui target Bauran Energi 2050, Indonesia merencanakan komposisi energi yang lebih  berimbang dengan pengurangan energi fosil menuju peningkatan energi baru terbarukan (EBT). Saat ini  dalam bauran energi nasional, sektor migas masih memainkan peran penting dengan porsi 53,7%, batubara 37,15%, dan EBT 9,15%. Dalam waktu 25 tahun ke depan, lansekap energi akan berubah menjadi minyak dan gas (44%), EBT (31%), dan batubara (25%). (Data Dewan Energi Nasional, Agustus 2020) 

Transisi menuju lansekap energi baru ini memerlukan kerja keras dan keselarasan dari seluruh pemangku kepentingan, karena ketergantungan masyarakat Indonesia pada sektor migas masih sangat besar, selain peran peran signifikan yang diberikan pada perekonomian nasional. 

Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah di tengah maraknya kampanye energi hijau dan energi alternatif lainnya, banyak kalangan, utamanya para pembuat kebijakan, mengabaikan keberlanjutan industri minyak dan gas. Kemerosotan produksi, minimnya penemuan cadangan migas baru, berkurangnya minat investasi sebagai salah satu akibat inkonsistensi regulasi yang terjadi di sektor migas menjadi ancaman nyata terhadap ketahanan energi. Apabila dibiarkan hal ini akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan stabilitas nasional.  

Ekonom Faisal Basri menegaskan bahwa krisis energi memang sudah di depån mata karena pertumbuhan konsumsi energi terus naik seiring dengan pertumbuhan penduduk. Menurut Faisal, cadangan migas Indonesia saat ini hanya 2,5 miliar barel yang hanya cukup untuk 8,7 tahun. Sementara produksi gas bumi juga menurun dan cadangan batu bara Indonesia hanya 3,7% dari cadangan dunia.

“Meskipun porsi migas mengecil pada bauran energi, tapi dari sisi volume sebenarnya naik. Kita tidak boleh berleha-leha meskipun punya unlimited renewable energy. Jangan lengah untuk migas, harus bekerja keras untuk renewable maupun non-renewable,” tegasnya.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menggarisbawahi pentingnya pembenahan regulasi di sektor migas sebagai landasan dalam menjamin tercapainya Ketahanan Energi Nasional. Ia mengemukakan bahwa Indonesia memerlukan regulasi yang mendukung iklim investasi berkelanjutan yang menawarkan kepastian regulasi dan ketentuan fiskal yang menarik untuk mendorong investasi baru guna memonetisasi sumber daya alam dengan tetap berlandaskan Pasal 33 UUD 1945.

Dalam kaitan dengan itu, Komisi VII DPR RI telah mengusulkan agar RUU Migas masuk dalam Prolegnas RUU Prioritas tahun 2020 mengingat urgensi dan mendesak perlunya UU Migas baru serta untuk menyelaraskan dengan proses pembahasan RUU Cipta Kerja (omnibus law) yang saat ini sedang dibahas oleh Badan Legislasi DPR RI.

Sementara Plt Dirjen Migas Ego Syahrial menjelaskan pemerintah menyadari bahwa konsumsi minyak bumi akan meningkat tajam hingga mencapai 3 juta barel per hari pada 2050. Namun pemerintah tuntuk jangka etap optimis Indonesia akan dapat meningkatkan produksi minyak buminya karena produksi saat ini, yaitu sekitar 700.000 barel per hari hanya berasal dari 50% aset yang ada di Indonesia Masih ada 20% aset lagi yang belum digarap. 

Namun untuk dapat memenuhi kebutuhan minyak bumi nasional pada 2025-2050, Indonesia diperkirakan akan membutuhkan temuan cadangan berskala miliaran barel. Ironisnya, tidak ada penemuan cadangan yang signifikan dalam 10 tahun terakhir. Meski demikian, pemerintah tetap fokus dalam melakukan eksplorasi jangka panjang, pengelolaan lapangan eksisting, dan mengelola aset yang Belum tergarap.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi Budiman Parhusip menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan Pertamina untuk meningkatkan Ketahanan Energi Nasional. Salah satunya dengan meningkatkan cadangan dan produksi migas, optimalisasi hulu, meningkatkan daya saing kilang, dan juga melakukan ekspansi pengelolaan wilayah migas intertasional. 

Sementara pelaku industri migas dari unsur kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) Tumbur Parlindungan menyoroti daya saing Indonesia yang sangat rendah dibandingkan negara lainnya di wilayah Asia Pasifik dalam menarik investor. Sejumlah faktor yang melatarbelakangi pencapaian tersebutantara lain pajak perusahaan yang 25% lebih tinggi dibandiingkan kawasan regional dan aturan ketenagakerjaan yang kaku. Hal ini membuat risiko investasi di Indonesia lebih tinggi, rumit, dan tidak kompetitif. R1

Sektor Migas, Masihkah Jadi Panasea Ketahanan Energi Nasional? Sektor Migas, Masihkah Jadi Panasea Ketahanan Energi Nasional? Reviewed by OG Indonesia on Sabtu, Agustus 29, 2020 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.