JM Pattiasina: Permiri, Permina dan Pertamina (Bagian 2/Habis)


Oleh: Daniel Tagukawi, Penulis adalah seorang Wartawan

Dalam masa Kabinet Djuanda, pemerintah Indonesia melakukan pengambilihan perusahaan Belanda (nasionalisasi). Selain itu, Kabinet Djuanda mengambil kebijakan untuk menyerahkan pengelolaan perminyakan Sumatera Utara melalui penandatangan persetujuan antara KSAD Jenderal A.H. Nasution dengan Menteri Perdagangan, Prof. Drs. Soenardjo dan Menteri Perindustrian, Ir. Freddy Jaques Inkiriwang.

Poin persetujuan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian dengan KSAD Jenderal A.H. Nasution itu, antara lain, pengelolaan Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) harus dibentuk badan hukum, yang seluruh sahammnya dimiliki pemerintah; kepala daerah otonom harus diberikan kesempatan turut serta dalam pembangunan perusahaan ini; pimpinan akan dipegang KSAD sebagai penguasa perang; prioritas harus diberikan kepada perbaikan dan pembangunan tambang minyak, supaya minyak mentah dapat diekspor untuk membiayai pembangunan selanjutnya; Kementerian Perdagangan dan Perindustrian tetap memberikan bimbingan.

Setelah itu, Menteri Perindustrian Inkiriwang memberikan kekuasaan kepada Angkatan Darat untuk membentuk Perusahaan Terbatas (PT). Berdasarkan keputusan itu, Angkatan Darat mendirikan PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera (ETMSU), dengan Ibnu Sutowo, Mayor Harijono sebagai wakil pemerintah. Dewan Direksi terdiri dari, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan,Komandan Militer dan Gubernur Daerah Aceh, Komandan Militer dan Gubernur Sumuatera Utara, yang bertindak selaku wakil negara.

Nama PT ETMSU tidak bertahan lama, karena Jenderal Nasution meminta diubah, sehingga perusahaan itu benar-benar mewakili sebagai sebuah perusahaan negara. Untuk itu, berdasarkan akte pada 10 Desember 1957, yang merupakan usulan Ir. Anondo, nama PT. ETMSU diubah menjadi PT. Perusahaan Minyak Nasional (Permina). Jadi, PT Permina ini didirikan berdasarkan surat Keputusan Menteri Perindustrian tanggal 15 Oktober 1957 Nomor 3177/M dan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat tanggal 15 Oktober 1957 No. PRT/PM/017/1957.

Setelah pergantian nama perusahaan ini, Ibnu mengangkat staf untuk membantu operasional PT Permina,yakni Mayor Harijono, Mayor Geudong dan Kapten Affan. Dari ketika staf Ibnu Sutowo ini sesungguhnya tidak ada yang berlatar belakang perminyakan.

Pada tahun 1957 ini, Pattiasina masih berada di Palembang sebagai Komandan Genie Pioner (Komandan KMKB April 1957), ketika perminyakan diserahkan kepada Angkatan Darat pada Oktober 1957. Pattiasina membawa anggota Genie dengan berbagai kemampuan teknik, tetapi juga handal sebagai tentara. Tidak sulit bagi Pattiasina, karena mengenal persis kualitas anggotanya yang juga terlibat dalam masa perang kemerdekaan dan gerilya di Sumatera Selatan.

Tugas memimpin batalion ke Pangkalan Brandan, bukan perkara mudah, karena sebagai komandan harus memastikan logistik untuk pasukan. Dengan bekal yang terbatas, tidak ada jalan lain kecuali, menjalankan tugas dalam situasi serba darurat. Berbagai kesulitan itu bisa teratasi karena pergaulan Pattiasina dengan berbagai kalangan.

Jadi, meskipun pengelolaan minyak diserahkan kepada KSAD pada 15 Oktober 1957 dan Permiri dibentuk pada Desember 1957, tetapi belum ada upaya nyata di untuk mengelola minyak di Sumatera Utara dan Aceh. Bahkan, pengumuman resmi ke publik baru disampaikan pada Februari 1958, bertepatan dengan meningkatnya ekskalasi politik di Sumatera.

Dalam pengumuman resmi itu dinyatakan, kalau konsesi BPM di Aceh dan Sumatera Utara merupakan milik negara. Pengelolaan dan eksploitasi ladang minyak akan dialihkan kepada Perusahaan Minyak Nasional (Permina) yang bonafid di Jakarta. Pengalihan itu, karena praktis upaya perbaikan dan produksi terhambat karena adanya situasi keamanan yang kurang baik di Sumatera Utara dan Aceh.

Meskipun Mabes AD mengambil alih konsesi BPM di Sumatera Utara dan Aceh, ternyata tidak ditopang dengan personel yang memahami seluk-beluk perminyakan. Nah, dalam diskusi petinggi militer itu muncul nama Pattiasina yang telah dikenal lama Ibnu Sutowo ketika berada di Sumatera Selatan.

Ketika tiba di Pangkalan Brandan, Pattiasina hanya menemukan puing-puing kilang di antara rerumputan ilalang. Meski PT. Permina sudah berdiri tapi sebenarnya tidak ada kemajuan dalam pekerjaan di Pangkalan Brandan. 

Sebenarnya, untuk mengelola lapangan minyak di Sumatera dan Aceh sudah diberlakukan berbagai upaya dan rencana. Bahkan, hal ini dibahas di parlemen pada 1954, telah ada rencana untuk mendirikan kilang baru untuk meningkatkan kapasitas produksi dari 157 ton per hari menjadi 450 ton. Empat kilang baru akan didirikan di Pangkalan Brandan, masing-masing dengan kapasitas 40 ton per hari. Dua kilang baru, masing-masing dengan kapasitas 50 ton per hari, akan tiba di Pangkalan Susu. Dua kilang akan didirikan di Rantau, masing-masing dengan kapasitas 30 ton per hari.

Namun, ada juga pesimis kalau mau memperoleh hasil dari Sumatera Utara dan Aceh hanya mungkin kalau dibangun kilang sederhana. Sebab, tidak mungkin negara tidak mampu mengelola atau mempertahankan kilang modern seperti BPM atau Stanvac, karena negara tidak memiliki devisa dan kekuatan pakar, belum lagi ketidakmungkinan bahkan dapatkan peralatan yang dibutuhkan untuk kilang. Hanya saja, sampai dengan tahun 1958, semua ini hanya tinggal rencana dan nanti akan terbukti ternyata Indonesia mampu mengekspor minyak ke luar negeri dengan memanfaatkan puing kilang tua di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu.

Pangkalan Brandan ini memiliki sejarah yang cukup Panjang. BPM membangun kilang pertama di Pangkalan Brandan pada tahun 1892. Kilang ini kemudian menjadi kilang minyak utama di Sumatera Utara. Pangkalan Brandan ini terletak kira-kira 80 kilometer dari Barat Laut Kota Medan.

Nasib kilang Pangkalan Brandan tidak berbeda jauh dengan kilang Plaju dan Sungai Gerong, yang mengalami penghancuran. Kilang Pangkalan Brandan dan kilang di berbagai tempat dihancurkan Belanda sebelum diambil alih Jepang. Kemudian, Jepang menghancurkan kilang, sebelum diambil alih Sekutu. Setelah itu, giliran pejuang Republik yang menghancurkan kilang pada masa Agresi Militer Belanda I dan II. 

Penghancuran kilang-kilang pada Belanda, Jepang dan Sekutu ini menyebab Kilang Pangkalan Brandan hanya menyisakan puing-puing, yang tidak dapat difungsikan. Karena bukan hanya kilang yang rusak, tetapi Pelabuhan Pangkalan Susu, yang menjadi tempat pengapalan minyak juga mengalami kerusakan parah.

Pangkalan Susu yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Pangkalan Brandan, praktis tidak bisa digunakan karena setelah dibom Sekutu dan tidak pernah ada upaya perbaikan. Ada beberapa tanki penyimpanan yang bisa dipakai, sementara jetty rusak berat. Begitu juga pompa yang digunakan untuk mengalirkan minyak ke tangki, juga tidak ada yang berfungsi. Kerusakan Pangkalan Susu ini sejak dibom Sekutu menyebabkan tidak pernah ada lagi pengapalan minyak dari Pangkalan Susu. 

Selama Kilang Pangkalan Brandan beroperasi pada masa Hindia Belanda mendapat pasokan minyak dari lapangan minyak Rantau, berjarak sekitar 55 kilometer dari Pangkalan Brandan. Lapangan ini dikelola Shell sejak tahun 1929. Kondisi lapangan Rantau ini masih bisa beroperasi, karena bebas dari aksi bumi hangus. Lapangan ini sangat membantu pada masa perang, karena bisa dioperasikan dengan cara tradisional dengan kapasitas yang kecil.

Sementara dua lapangan minyak, yang berjarak sekitar 70 kilometer dan 100 kilometer dari lapangan Rantau berada dalam kondisi tidak aktif. Apalagi, semua instalasi pipa untuk mengalirkan minyak ke Kilang Pangkalan Brandan dan pipa ke Pangkalan Susu berada dalam keadaan rusak. Sedangkan, kondisi jalan yang rusak menyebabkan, Pangkalan Brandan ke Rantau bisa ditempuh dalam waktu 24 jam. Apalagi, kalau musim, akan memakan waktu lebih lama lagi.

Tidak lama setelah membentuk PN. Permina, Jenderal AH Nasution mengangkat Kolonel Sumidjo sebagai Direktur Pengelola Operasi Sumatera Utara dan wakil direktur yang terdiri dari Letkol Arif, Mayor Nukum Sanany, Kapten J. Karinda dan Kapten Singarimbun. Mereka ditugasi untuk mengorganisir berbagai gerakan, tetapi tidak membuahkan hasil, karena pertikaian kaum buruh semakin menajam di lapangan. Ketika situasi belum membaik, muncul lagi gerakan PRRI, Letkol Arif yang sedianya menggantikan Kolonel Sumidjo rupanya bergabung dengan PRRI. Sedangkan, Sumidjo ditarik kembali ke Jakarta dan Mayor Geudong yang baru bertugas di bidang keuangan dan administrasi mengisi jabatan yang ditinggalkan Sumidjo.

Kedatangan Pattiasina dan pasukannya menghadapi tantangan yang tidak ringan, pipa mengalami kerusakan berat. Dari empat instalasi pipa ukuran 8 (delapan) inchi untuk menyalurkan minyak dari lapangan minyak ke Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, hanya ada satu pipa yang bisa digunakan. Tangki kilang hanya rongsokan dan puing-puing sisa aksi bumi hangus. Bukan cuma itu, karena upaya perbaikan menjadi masalah tersendiri yang dihadapi PT. Permina, karena lapangan minyak dan pipa berada dalam jangkauan DI/TII, sehingga upaya perbaikan akan mempertaruhkan nyawa. 

Kerumitan yang dihadapi Pattiasina rupanya belum cukup, karena PRRI juga masih eksis di Sumatera Utara dan Aceh. Sementara di kalangan pekerja minyak, juga menghadapi persoalan yang tidak kalah rumit, karena adanya perbedaan antara Perbum dan non Perbum. Posisi Perbum yang berafiliasi ke PKI mempunyai posisi yang sangat kuat, sehingga tidak bisa dipandang enteng.

Berada di antara tumpukan rongsokan dan masalah itu, tidak membuat Pattiasina patah arang. Belum lagi, keterbatasan logistik yang dialami pasukan Pattiasina menjadi pelengkap dari semua persoalan yang harus dihadapi Pattiasina. 

Ketika Pattiasina tiba, di atas bekas kompleks BPM di Pangkalan Brandan hanya menyisakan reruntuhan dan puing yang ada. Seluruh kompleks ditumbuhi  rumput liar tumbuh. Kilang dalam keadaan rusak tidak mungkin digunakan. Pipa dan kilang sudah hancur dan berkarat karena sudah lama terlantar.

Kondisi lapangan di Pangkalan Brandan, ini setidaknya memberikan penjelasan mengapa Kabinet Djuanda memberikan pengelolaan TMSU kepada Angkatan Darat. Dengan pengelolaan oleh Angkatan Darat, bukan saja diharapkan bisa menjamin keamanan, tetapi juga dibutuhkan kedisiplinan untuk menghadapi kerumitan persoalan di lapangan.

Situasi yang ada bukan sekadar membutuhkan figur tentara, tetapi juga membutuhkan kualifikasi teknik dan kepemimpinan yang berani dan tegas. Tanpa syarat ini, tentara hanya bisa menjamin keamanan, tetapi tidak akan mampu menyelesaikan perbaikan pipa dan kilang minyak, pelabuhan dan sebagainya.

Ekspor Perdana Minyak

Jadi, bukan tanpa alasan, kalau pimpinan TNI AD menaruh kepercayaan kepada Mayor Pattiasina. Apalagi, Direktur Utama Permina, dr. Ibnu Sutowo sangat mengetahui kemampuan dan keberanian Pattiasina dalam menghadapi setiap persoalan. Pattiasina bukan saja ditempa keahlian teknik ketika menjadi teknisi senior di kilang Plaju dan Sungai Gerong, tetapi juga ditempa dalam masa perang dan gerilya. 

Pilihan terhadap JM Pattiasina terbukti tepat, karena pada tahun 1958, Indonesia melalui PN. Permina pada 24 Mei 1958, minyak mentah pertama dari Indonesia resmi dimuat di kapal Shozui Maru. Kapal kecil berukuran sekitar 3.000 dwt hanya mampu mengangkut 1.700 ton minyak mentah dengan nilai jual sekitar $ 30.000. 

Selain Anak Buah Kapal (ABK), juga terdapat enam orang dalam Kapal Shozui Maru yang akan membawa minyak ke Jepang, yakni Mayor Harijono, Mayor Pattiasina, Basaruddin Nasution (Perwakilan Permina), Jimmy Perkins, Joe Gohier dan Harold Hutton serta Betty Hutton (Perwakilan Refican). Keikutsertaan Basaruddin Nasution ini lebih kepada aspek legal, karena Basaruddin Nasution merupakan ahli hukum di Angkatan Darat. 

Keberhasilan ini menjadi tonggak bagi Permina untuk meraih sukses demi sukses. Di kemudian hari, PN. Permina menjadi PN. Pertamina dan berubah menjadi PT Pertamina pada masa orde baru. 

Dari Pangkalan Brandan, JM Pattiasina menjadi pejabat Pertamina di Jakarta sampai berhenti dari Pertamina ketika tak menemukan kecocokan lagi dalam pengelolaan Pertamina. Pattiasina memilih berhenti dan mengurus sejumlah cabang olahraga, terutama sepakbola dan tinju yang merupakan hobinya sejak muda. 

JM Pattiasina: Permiri, Permina dan Pertamina (Bagian 2/Habis) JM Pattiasina: Permiri, Permina dan Pertamina (Bagian 2/Habis) Reviewed by Ridwan Harahap on Jumat, Desember 24, 2021 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.