IEEFA: Penggunaan Teknologi CCUS di Indonesia Sulit Direalisasikan


Jakarta, OG Indonesia --
Diskusi mengenai penggunaan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, semakin menarik perhatian. Namun, sebuah laporan terbaru mengungkapkan bahwa pemerintah masih harus melakukan kalkulasi untuk tidak terlalu menggantungkan harapan kepada penerapan CCS/CCUS pada sektor ketenagalistrikan karena berbagai kendala komersil yang dihadapi sangat mungkin akan menghambat pengembangannya. Penerapannya di berbagai negara maju masih sangat minim, terlebih lagi untuk pasar yang sensitif terhadap harga dengan standar kontrol emisi yang tidak terlampau ketat seperti di Indonesia.

Laporan terbaru yang diterbitkan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyebutkan, hingga saat ini, tidak ada faktor pendorong yang tepat untuk mengimplementasikan teknologi CCS/CCUS di kawasan Asia Tenggara. Menurut Putra Adhiguna, penulis laporan ini sekaligus analis energi IEEFA, dengan sangat sedikit valuasi emisi karbon, dukungan dana publik, dan dorongan pasar untuk mengembangkan CCUS, penerapan CCUS di Asia Tenggara nyaris tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.

"CCUS bisa berjalan ketika ditempatkan pada konteks operasional tertentu, misal pada negara dengan harga karbon tinggi dan regulasi yang ketat terhadap emisi. Selain Singapura, hampir tidak ada harga karbon yang signifikan di pasar Asia Tenggara, sementara CCUS intinya memberlakukan 'pajak' untuk terus mengeluarkan emisi," kata Putra saat peluncuran laporan hari ini, Selasa (26/4/2022).

CCUS memiliki ranting aplikasi yang sangat bervariasi, seperti untuk pemrosesan gas hingga pembangkit listrik, dan masing-masing memiliki tingkat kematangan dan biaya yang berbeda. Dalam penyampaian rencana yang ada, harus jelas jenis CCUS yang mana yang akan diaplikasikan karena tanpa kejelasan, hal tersebut dapat menimbulkan kerancuan pemahaman publik.

Biaya CCUS bervariasi mulai dari di bawah US$50 hingga lebih dari US$100 per ton karbondioksida (CO2) yang tertangkap. Menurut Putra, selama ini ada klaim yang memunculkan kerancuan di publik bahwa biaya CCUS untuk pembangkit listrik terus turun. Padahal, klaim itu kebanyakan hanyalah berbasis studi, dan menimbulkan banyak pertanyaan menyusul penutupan proyek CCUS kelistrikan unggulan di Amerika Serikat.

Pada 2021, AS menutup proyek CCUS Petra Nova di Texas dengan alasan keekonomian setelah hanya tiga tahun beroperasi. Proyek pemasangan CCUS senilai US$1 miliar tersebut telah mendapat US$190 juta bantuan dana pemerintah AS, namun tetap gagal beroperasi. Biaya untuk penggunaan CCUS tersebut sangat besar mengingat penggunaannya ‘hanya’ untuk PLTU batu bara berkapasitas 240MW.

“Amerika Serikat telah mengucurkan setidaknya US$1,1 miliar dana publik untuk menopang bergagai rencana CCUS di kelistrikan dan industri, tetapi tidak ada satu pun dari delapan proyek kelistrikan yang didukung berjalan hari ini," kata Putra.

Uni Eropa telah menghabiskan setidaknya €424 juta dengan 'kemajuan tidak seperti yang direncanakan', sebagaimana dinyatakan oleh European Court of Auditors. Sementara kebanyakan negara di Asia Tenggara kemungkinan tidak akan mampu memberikan dana publik yang besar untuk mendukung pengembangan CCUS.

Dengan biaya yang tinggi, proyeksi perkembangan CCUS sangat mungkin akan berbeda dengan teknologi energi terbarukan lain yang dapat diproduksi dalam unit dan biaya yang lebih kecil.

"Mengembangkan dan memperbaiki secara bertahap turbin angin senilai US$ 3 hingga US$4 juta sangat mungkin akan lebih mudah dibandingkan proyek uji coba CCUS yang berbiaya ratusan juta dolar," ujar Putra.

Tiga pemimpin potensial proyek CCUS di Asia, yakni Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, masih harus mengejar banyak ketertinggalan. Perkembangan CCUS di tiga negara ini menjadi penting, terutama menyusul cepatnya Amerika Serikat meninggalkan batu bara, dan mungkin perhatian mereka pada CCUS PLTU, yang merupakan bagian terbesar dari bauran listrik di Asia Tenggara.

Putra menyarankan agar pemerintah berhati-hati menaksir biaya keseluruhan CCUS karena teknologi ini mengkonsumsi energi dalam jumlah signifikan, yang emisinya juga perlu dihitung. Di Asia Tenggara, hal ini teramat penting mengingat standar emisi yang longgar yag kemungkinan memerlukan peralatan tambahan untuk penggunaan CCUS.

Sangat penting untuk dicatat bahwa penggunaan CCUS di pembangkit listrik akan dapat menurunkan kapasitas pembangkitan listrik, bahkan lebih dari 20-30%. Peningkatan biaya listrik 6-9 sen/kWh bahkan lebih sangatlah mungkin. Meski saat ini harga baterai penyimpanan energi masih berkompetisi ketat, namun proyeksi penurunan harga di energi terbarukan dan penyimpanan listrik tampak lebih menjanjikan dibandingkan CCUS.

CCUS untuk Memproses Gas, Bukan Pembangkit Listrik

Selain soal harga, topik utama lain yang mendominasi diskusi mengenai CCUS di Asia Tenggara adalah soal penerapannya dalam memproses gas. Saat ini, kapasitas global CCUS sekitar 40 juta ton per tahun (millon tonnes per annum/MTPA) CO2 tertangkap, kurang lebih sama dengan emisi dari PLTU batu bara berkapasitas 7GW setiap tahun. Pada lebih dari 70% fasilitas CCUS yang ada, CO2 yang ditangkap digunakan untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi.

Menurut laporan IEEFA, 75% rencana proyek CCUS di Asia Tenggara bertujuan untuk menangkap CO2 berlebih dari pemrosesan gas yang terbawa ketika gas diproduksi. Keunikan CCUS yakni kemampuannya untuk dipasang (retrofitted) pada aset kelistrikan dan industri yang telah beroperasi. "Namun, ketika masyarakat tengah membayangkan pembangkit listrik berbasis batu bara atau gas dengan sedikit atau bahkan tanpa emisi, perencanaan yang ada saat ini berjalan ke arah berlainan," tutur Putra.

Sebanyak lebih dari 60% kapasitas CCUS global digunakan untuk pemrosesan gas, bukan untuk pembangkit listrik. Bahkan saat ini, hanya ada satu CCUS untuk pembangkit listrik batu bara yang beroperasi di dunia tidak satu pun untuk pembangkit listrik berbahan bakar gas.

CCUS untuk pemrosesan gas telah diimplementasikan sejak 1970-an dan menelan biaya yang jauh lebih rendah dari CCUS pembangkit listrik. "Yang tengah terjadi di Asia Tenggara lebih berupa mengejar ketertinggalan tren yang telah ada, terlebih karena banyaknya cadangan gas yang kaya CO2 di wilayah tersebut. Hal ini kemungkinan untuk mengantisipasi potensi perubahan sikap pasar global terhadap gas yang kaya CO2 " katanya. 

Menurut Putra, dengan sumber pendanaan publik yang terbatas, pada akhirnya CCUS adalah perkara prioritas, mengingat tantangan mengenai biaya yang dihadapi, sebagaimana ditekankan dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) April 2022.

"Negara-negara Asia Tenggara dapat menggunakan CCUS untuk mengantisipasi perkembangan produk berbasis penangkapan karbon di masa depan. Tetapi, CCUS seharusnya tidak mengalihkan kita dari implementasi opsi lain yang lebih murah dan terbukti mengurangi emisi karbon, yaitu energi terbarukan dan integrasi jaringan listrik, yang harus tetap menjadi pusat perhatian menuju dekarbonisasi," paparnya.

“Berhati-hatilah dalam menggantungkan harapan pada CCUS untuk ketenagalistrikan di masa depan, karena perkembangannya mungkin tidak akan mencapai tingkat yang mudah diadopsi untuk sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara," pungkas Putra. R2


IEEFA: Penggunaan Teknologi CCUS di Indonesia Sulit Direalisasikan  IEEFA: Penggunaan Teknologi CCUS di Indonesia Sulit Direalisasikan Reviewed by Ridwan Harahap on Selasa, April 26, 2022 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.