Mengulas Harga Gas untuk Industri Domestik Indonesia

Foto: Hrp

Oleh: Prof Ir Taufan Marhaendrajana, Msc, Phd (Staff pengajar pada Teknik Perminyakan ITB dan Ketua Lembaga Pengembangan Ilmu dan Teknologi/LPIT ITB)

Tanggal 28 Desember 2020 terbit Peraturan Presiden Nomor 121 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Beberapa perubahan pada sebagian dari pasal 1, 3, 4, 5 dan 9. Pertama, penulis berupaya untuk melihat pada pasal 3 yang berkenaan dengan penetapan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi pengguna gas bumi yang bergerak di bidang industri pupuk, industri petrokimia, industri oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industry sarung tangan karet. 

Pada pasal 3 ayat (1) Perpres No 121 Tahun 2020 berbunyi, “Menteri menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu di titik serah (plant gate) dengan harga paling tinggi US$ 6/MMBTU.” Ayat tersebut memberikan satu tafsir yang pasti bahwa pengguna gas di bidang industri dimaksud akan mendapat jaminan untuk mendapatkan harga gas paling tinggi sebesar US$ 6/MMBTU terlepas rancangan skema atau formula penentuan harga yang dievaluasi tiap tahun oleh institusi atau badan yang diberikan kewenangan ole Perpres No 121 Tahun 2020 tersebut. 

Kita bisa membandingkan pada Perpres No 40 Tahun 2016 sebelumnya berbunyi “Dalam hal Harga Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna Gas Bumi dan Harga Gas Bumi lebih tinggi dari US$ 6/MMBTU, Menteri dapat menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu.” Dalam hal ini dapat kiranya ditafsirkan bahwa HGBT akan ditetapkan oleh Menteri pada kondisi harga gas dimana kedua syarat yang dimaksud (a. keekonomian industri pengguna tidak terpenuhi, b. harga gas bumi lebih tinggi dari US$ 6/MMBTU) tercapai. 

Jadi terlihat perbedaan penekanan dari Perpres no 121 Tahun 2020 ini yang tentunya lebih memberikan dukungan lebih kepada pengguna gas bumi di tujuh bidang industri termaksud tanpa terkecuali. Kalau kita melihat bahwa Perpres ini terbit di saat suasana pandemi Covid 19 di mana perekonomian dunia dan nasional slowing down, maka keberpihakan tersebut bisa dipahami. Sampai di sini seharusnya tafsir akan HGBT pada Perpres No 121 Tahun 2020 sudah cukup jelas dan dapat dipahami dengan mudah oleh para stakeholder. 

Di dalam pertimbangannya, Perpres tersebut sudah sangat bijaksana di antaranya memperhatikan kepentingan penyedia gas bumi, kemampuan daya beli konsumen, serta nilai tambah terhadap perekonomian nasional. Namun berdasarkan informasi yang kami terima sampai saat ini (pemberitaan detik finance seputar rapat DPR dan Pemerintah, 11 April 2023) Pemerintah belum memberikan HGBT tersebut kepada seluruh perusahaan yang terdaftar di dalam 7 industri tersebut, sehingga masih terlihat ketidakadilan dalam pelaksanaanya. 

Harga gas dunia sangat fluktuatif tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan dan permintaan gas (supply dan demand) sederhana, namun juga oleh geopolitik negara-negara di dunia. Penyediaan gas yang sampai saat ini masih mengandalkan sumberdaya berasal dari fossil membutuhkan investasi yang tidak sedikit mulai dari proses eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan fasilitas penunjangnya. Berbeda dengan saudaranya, minyak bumi, maka gas bumi ini tidak dapat disimpan oleh karena sifatnya yang densitasnya ringan, volumenya banyak, dan volatile. Pengembangan lapangan gas bumi ini dapat di lakukan bila sudah tersedia komitmen dan kesepakatan dari satu atau lebih pengguna gas dalam rentang tahun masa konsesi lapangan gas bumi yang memenuhi nilai keekonomian lapangan tersebut. Jadi ada saling ketergantungan dari pihak penyedia dan pengguna yang dapat dikatakan sama tingkatannya. 

Kalau kita melihat harga gas dunia dalam satu tahun terakhir (gambar 1) sangatlah fluktuatif yang tertinggi di kisaran US$ 9 dan terendah di sekitar US$ 2. Harga tersebut sangat berbeda dengan harga gas bumi bagi industri di Indonesia yang tertinggi berada di kisaran US$ 15 dan terendah di sekitar US$ 6. Bagi penyedia gas membutuhkan kepastian jangka Panjang untuk tercapainya keekonomian dari pengembangan lapangan gas bumi maupun bagi pengguna gas bumi dalam negeri (terutama) untuk mendapatkan pasokan gas agar produk akhir dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat dan oleh industri-industri penggunanya sehingga pada akhirnya pengaruh nilai tambah keberadaan sumberdaya alam terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. 

Pengaturan HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu) melalui Perpres yang sudah dilakukan adalah sesuatu yang baik dan perlu didukung baik oleh penyedia gas bumi maupun oleh pengguna gas bumi. Namun Pemerintah sebaiknya adil dalam melaksanakannya. 

HGBT tersebut tentunya perlu melalui kajian yang cukup mendalam. Selain menetapkan HGBT pada satu harga tertentu sebagai patokan, dapat dibuka pilihan rentang HGBT menjadi paling tinggi US$ 6 dan paling rendah dari US$ 4 atau sesuai keekonomian pabrik, harga komoditi, harga gas internasional dan untuk daya saing industri nasional di mancanegara.. Hal tersebut juga mempertimbangkan potensi ekspor oleh penyedia gas bumi dan potensi impor oleh pengguna gas bumi. Hal perlu dipertimbangkan juga berapa bagian maksimal dari penyedia gas yang dialokasikan untuk HGBT tersebut, apakah dibatasi volume paling rendah dengan DMO (Domestic Market Obligation) bila kebutuhan pengguna gas domestik sangat tinggi atau dengan skema yang lain.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Mengulas Harga Gas untuk Industri Domestik Indonesia Mengulas Harga Gas untuk Industri Domestik Indonesia Reviewed by Ridwan Harahap on Jumat, April 28, 2023 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.