Quo Vadis Industri Pertambangan di Era Transisi Energi?


Oleh: Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF), 
sebuah forum think tank independen yang 
fokus pada upaya mendorong transisi energi yang memenuhi kemandirian, ketahanan energi,dan pengembangan berkelanjutan. Dengan tren global menuju nol emisi, IMEF menaruh perhatian pada pengembangan sektor energi yang menopang ketahanan terhadap perubahan iklim dan rendah karbon. IMEF beranggotakan ahli dan praktisi energi terbarukan, migas, batu bara dan pertambangan.


Dunia pertambangan Indonesia kembali digemparkan dengan sejumlah kasus pertambangan illegal. Bukan saja mengakibatkan kerugian negara di sisi keuangan. Tambang illegal yang tidak mengikuti good mining practice, jelas merusak lingkungan.

Kompleksitas mengelola industri pertambangan saat ini, sangat berat dihadapi sebatas menjadi tanggung jawab semata oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kehadiran hukum dan kebijakan dalam mengintegrasikan dan mengkoordiasikan kepentingan-kepentingan, baik Pemerintah, Korporasi dan Rakyat, justru sering kali memunculkan benturan kepentingan itu sendiri. Masalah hukum yang harus dihadapi oleh berbagai pejabat di berbagai ekselon Kementerian ESDM, memperjelas dan menunjukkan bahwa mengelola industri pertambangan dalam ruang politik ini menjadi sangat kompleks. Mempercepat dan mempermudah sebuah kebijakan untuk mengelola berbagai kepentingan dalam industri pertambangan, justru dapat menjadi potensi pelanggaran hukum bagi pejabat bersangkutan di kemudian hari.

Jika kondisi ini diabaikan, tanpa perbaikan substansi maka IMEF memperkirakan akan terjadi perlambatan investasi di sektor pertambangan yang berdampak pada penurunan pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pembangunan, serta pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun mendatang.

Kekayaan sumber daya alam di Indonesia yang masih cukup banyak dan peningkatan manfaat ekonomi yang diperoleh dari pengolahan dan realiasi, menunjukkan peningkatan nilai tambah dalam lima tahun terakhir. Investasi di sektor pertambangan menunjukan kenaikan signifikan.

Walaupun demikian, masih banyak permasalahan di sektor pertambangan yang membuat pemanfaatan sumber daya ini belum optimal. Politisasi sektor pertambangan masih terjadi, demikian juga keberadaan pelaku-pelaku usaha pertambangan hitam yang berani menjungkirbalikkan aturan yang ada, oknum politisi yang bermain dalam bisnis pertambangan, adanya mafia tambang, serta keterlibatan oknum aparat keamanan menjadi beking yang membuat penegakan hukum dan regulasi di sektor pertambangan tidak efektif dilaksanakan.

Hilirasi pertambangan mineral belum optimal di sejumlah jenis bahan galian, salah satunya di bauksit. Relaksasi ekspor bijih bauksit yang seharusnya diikuti dengan pembangunan refinery, tidak terjadi sebagaimana yang direncanakan. Berdasarkan fakta ini pemerintah melarang sama sekali ekspor biji bauksit, walaupun memperlambat pengolahan biji bauksit akibat keterlambatan pembangunan refinery untuk pengolahan biji bauksit ke alumina.

Produksi batu bara terus meningkat mengikut permintaan pasar. Kondisi ini akan berdampak pada keberlanjutan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan. Tanpa melakukan pengendalian produksi nasional harga batubara akan tertekan dan akibatnya penerimaan negara berkurang. Yang lebih membahayakan adalah kerusakan lingkungan yang luas akibat lubang tambang yang ditinggal, tanpa reklamasi.

Oleh karena itu pengendalian produksi batu bara nasional untuk jangka menengah dan panjang harus dilakukan segera. Selain cadangan batu bara terbatas, berbagai negara importir, khususnya negara importir terbesar China dan India, juga dihadapkan untuk mengurangi impor dalam upaya memenuhi komitmen Net Zero Emission (NZE). Selain itu, industri pertambangan batu bara Indonesia ditopang oleh ratusan perijinan, mulai PKP2B, IUP dan IUPK, juga kepentingan pemerintah daerah untuk memperbesar PAD dari tambang batu bara yang membuat proses pengendalian produksi tidak mudah.

Hilirisasi sektor pertambangan adalah pilihan terbaik dalam mengoptimalkan manfaat pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara untuk kepentingan nasional. Namun dalam pelaksanaannya hilirisasi batubara bukanlah hal yang mudah dibandingkan dengan hilirisasi mineral.

Hilirisasi batu bara skala besar dimulai saat pemerintah mengharapkan proyek Peningkatan Nilai Tambah (PNT) dapat dimotori oleh pemilik Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebagai perpanjangan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Tetapi pelaksanannya tidak mudah karena harus mempertemukan pemilihan teknologi, pendanaan, dan keekonomian, serta menyeimbangkan kepentingan bisnis dan kepentingan ketahanan energi ke depan.

Di sisi teknologi hilirisasi, harus diakui, Indonesia belum memiliki teknologi pengolahan dan pemurnian. Apalagi bicara manufaktur teknologi hilirisasi dan riset teknologi secara mendalam. Tanpa memperkuat riset dan membangun manufaktur teknologi hilirisasi, dapat dipastikan kita akan membayar mahal dari akibat yang ditimbulkan. Bagaimana komitmen nasional untuk mengatasi kondisi ini, khususnya dalam memperkuat hilirisasi untuk mengoptimalkan pengelolaan mineral dan batubara, sebagai pekerjaan rumah yang harus segera dipecahkan.

Demikian terlihat dalam proyek DME dan methanol. Mundurnya Air Products dan Chemicals, Inc dari proyek Dimethyl Ether (DME) di Indonesia telah menghambat rencana pemerintah dalam pemanfaatan DME sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG). Rencana mengurangi devisa negara dari impor LPG dengan memproduksi DME di dalam negeri, sekaligus melakukan diversifikasi energi oleh industri pertambangan batu bara, dipastikan tidak berjalan sesuai jadwal yang telah ditetapkan Pemerintah.

Walaupun demikian PNT harus tetap didorong dan diperkuat. Dengan adanya proyeksi meningkatnya defisit neraca perdagangan akibat membesarnya impor energi, membuat Pemerintah harus berupaya mengoptimalkan pemanfaatan batu bara di luar sektor kelistrikan. Upaya untuk memperbesar serapan batubara di dalam negeri dan sekaligus kepentingan dekarbonisasi adalah dengan mengolah dan mengkonversi batu bara menjadi produk substitusi minyak bumi seperti DME, bahkan produk industri kimia dasar berbasis batu bara lainnya, dengan melengkapinya dengan teknologi penangkap karbon (CCS).

Langkah serius untuk memperbesar PNT batubara, yang dipastikan memiliki multiplier effect, harus terus diperkuat. Manfaat dari penghematan neraca perdagangan, pemberdayaan industri nasional, keterlibatan tenaga lokal dan penyerapan tenaga kerja baik tahap kontruksi dan operasi, menjadi alasan utama untuk memperkuat hilirisasi batu bara yang dinilai berjalan lambat saat ini. Bahkan, tujuan hilirisasi batu bara, tidak harus dinilai pada aspek komersial saja, namun harus diletakkan untuk menunjang ketahanan dan kemandirian energi serta rantai pasok industri petrokimia Indonesia di masa mendatang.

Untuk industri pertambangan mineral, Pemerintah dihadapkan pada pilihan melakukan relaksasi ekspor mineral karena belum siapnya fasilitas pemurnian di dalam negeri. Berbagai konsetrat, seperti tembaga, besi laterit, timbal dan seng, nikel dan bauksit, dengan kadar tertentu tetap dapat diberikan ijin ekspor dengan membayar tariff ekspor. Namun, Pemerintah tetap harus mempertimbangkan kelanjutan relaksasi dengan hasil evaluasi kemajuan fasilitas pemurnian yang telah dibangun oleh investor.

Melihat berbagai perjalanan permasalahan pembangunan fasilitas pemurnian selama ini, Pemerintah harus mulai mengakselerasi pembangunan industri hilir sehingga serapan bahan baku tertentu di dalam negeri dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan industri. Pemerintah juga perlu memperkuat aktivitas eksplorasi pertambangan berbagai mineral jenis tertentu, yang dibutuhkan oleh industri di dalam negeri untuk jangka panjang.

Tata kelola sektor pertambangan semakin membaik dengan adanya penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang ada, yang disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi industri pertambangan. Beberapa perbaikan peraturan perundangan yang telah dilakukan. a.l. perbaikan HBA yang lebih riil terhadap harga pasar, pengajuan dan proses persetujuan RKAB yang dahulunya dilakukan setiap tahun akan dijadikan setiap tiga tahun.

Kendala yang dihadapi adalah penegakan hukum pada industri pertambangan yang tidak efektif dan tidak terselesaikan secara tuntas. Untuk itu diperlukan komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan, termasuk aparat penegak hukum, untuk menegakan peraturan, memberantas mafia tambang, dan dukungan politik dari Presiden dan partai politik.

Panel ahli IMEF mencatat setidaknya ada beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan sebagai masukan kepada pemerintah terkait dengan pertambangan, yaitu :

1. Memperkuat hilirisasi mineral dan batubara, sebagai langkah penghematan neraca perdagangan, pemberdayaan industri nasional, keterlibatan tenaga lokal dan penyerapan tenaga kerja baik tahap kontruksi dan operasi.

2. Memperkuat riset terkait hilirisasi mineral dan batubara dan juga berbagai riset untuk mengoptimalkan nilai manfaatnya.

3. Mengingat kompleksitas yang ada dalam pengelolaan minerba, khususnya terkait penegakan hukum, perijinan, dan pengawasan minerba, dampak lingkungan akibat ekstraksi pertambangan maka dalam rangka memperkuat efektivitas dan akuntabilitas, semestinya Kementerian ESDM dipecah menjadi dua, yaitu Kementerian Energi dan Kementerian Sumber Daya Mineral dan Batubara. 


Quo Vadis Industri Pertambangan di Era Transisi Energi? Quo Vadis Industri Pertambangan di Era Transisi Energi? Reviewed by Ridwan Harahap on Senin, Agustus 21, 2023 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.