Indonesia Perlu Ambil Peluang Perkuat Agenda Transisi Energi dari Guncangan Geopolitik


Jakarta, OG Indonesia --
Perubahan kebijakan iklim Amerika Serikat yang dijalankan oleh Presiden Donald Trump, termasuk mundur dari Perjanjian Peris, tidak seharusnya menyurutkan komitmen transisi energi Indonesia. Sejumlah negara, baik di Kawasan Asia maupun global, berpotensi menjadi mitra Indonesia untuk merealisasikan janji netral karbon sebelum 2060. Target transisi energi yang ambisius dan teguh jadi kuncinya.

Shofwan Al Banna Choiruzzad, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa langkah Presiden Trump tersebut merupakan respon dari perubahan global yang kemudian menggerus kekuatan Amerika Serikat. Pasalnya, Amerika Serikat merupakan kekuatan besar di sektor minyak, sementara tren sumber energi global kini telah beralih ke energi terbarukan. Di sisi lain, China kini memimpin sektor energi terbarukan.

Guncangan geopolitik ini dinilainya akan berdampak pada agenda iklim dan transisi energi global. Salah satunya, upaya Amerika Serikat mengucilkan China dari rantai pasok energi terbarukan akan membuat rantai pasok menjadi terfragmentasi dan mengkerek biaya transisi energi secara global. Dampak lainnya, potensi berkurangnya pembiayaan iklim. Namun, menurut Shofwan, momentum global di mana investasi energi terbarukan telah melampaui energi fosil harus dipertahankan.

“Untuk itu, di level global, kita harus tingkatkan daya tahan agenda iklim dan transisi energi, dengan mendorong multilateralisme yang tidak bergantung pada satu kekuatan besar. Kita juga perlu memperkuat kemitraan multipihak dan lintasnegara yang lebih kokoh dan efektif. Indonesia perlu memastikan tidak hanya engage dengan satu kekuatan saja, perlu didorong adanya kemitraan yang beragam, multilateral, dan multistakeholderTidak hanya menggandeng negara lain tetapi juga berbagai pihak yang terkait,” kata Shofwan dalam diskusi CERAH Insight Talk “Agenda Iklim dan Transisi Energi di Tengah Memanasnya Situasi Geopolitik Internasional”, Rabu (7/5/2025).

Transisi ke energi terbarukan, Shofwan menekankan, harus dilakukan oleh Indonesia. Pasalnya, transisi ke energi terbarukan tak hanya sekadar masalah lingkungan saja, tetapi langkah strategis penting untuk menjamin pertumbuhan dan kedaulatan dalam jangka panjang. Diversifikasi ke energi terbarukan akan melindungi Indonesia dari volatilitas harga energi fosil yang sangat dipengaruhi kondisi geopolitik global. Dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan menjadi lebih besar, Indonesia akan memiliki ruang manuver yang cukup luas ketika terjadi perubahan geopolitik dan lonjakan harga energi fosil.

“Indonesia tidak bisa terus menunda-nunda transisi ke energi terbarukan. Jika tidak ada political will dari pemerintah, tidak mungkin bisa menaikkan investasi energi terbarukan. Political will yang kokoh dan berkelanjutan menjadi kunci dari perbaikan kelembagaan dan mobilisasi pendanaan,” Shofwan menegaskan.

Wicaksono Gitawan, Policy Strategist CERAH, mengingatkan bahwa Indonesia tetap terikat dengan komitmen transisi energi sesuai Undang-Undang No 16 Tahun 2016, yang merupakan bukti Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris. Karenanya, meski Amerika Serikat mundur dari Perjanjian Paris dan kesepakatan Just Energi Transition Partnership (JETP), Indonesia berkewajiban merealisasikan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan.

Apalagi, Amerika Serikat bukanlah satu-satunya mitra yang mendukung aksi transisi energi Indonesia. Melalui Belt and Road Initiative (BRI), China mulai mengalihkan investasinya di Indonesia ke proyek energi hijau. Selanjutnya, Jepang melalui inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) berkomitmen mendukung dekarbonisasi Kawasan Asia. 

“Meski demikian, Indonesia tetap harus waspada, mengingat tidak semua rencana investasi China dan Jepang sejalan dengan komitmen netral karbon. China misalnya, meski mulai beralih, investasinya masih dominan di energi fosil, seperti PLTU captive untuk smelter nikel. Kemudian Jepang masih mendorong gas alam (LNG) dan biomassa, yang berisiko memperpanjang ketergantungan Indonesia pada energi fosil,” kata Wicaksono.

Hal ini mengingat, sejumlah dokumen perencanaan Indonesia masih memasukkan teknologi transisi yang dinilai justru akan meningkatkan emisi dan memperpanjang pemanfaat energi fosil. Dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 misalnya, masih memasukkan rencana retrofit PLTU dengan teknologi penangkapan karbon (carbon capture storage/CCS) dan pembakaran bersama (co-firing) biomassa. Teknologi yang sama juga masih dimasukkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) 10/2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan.

Wicaksono menekankan, teknologi-teknologi yang menjadi solusi semua transisi energi seharusnya tidak lagi masuk dalam perencanaan nasional. Pemerintah seharusnya fokus meningkatkan kapasitas energi terbarukan secara cepat dan signifikan. Dengan pasar dan sumber daya yang melimpah, Indonesia memiliki daya tawar untuk menegosiasikan sektor yang menjadi tujuan investasi negara-negara mitra.

“Indonesia perlu mempercepat transisi ke energi terbarukan untuk menghindari jebakan geopolitik energi. Dengan memperkuat momentum JETP dan memperluas investasi hijau, Indonesia dapat memperkuat kedaulatan energi dan mencapai target ekonomi 8%. Diikuti dengan reskilling pekerja di sektor energi fosil, Indonesia dapat merealisasikan transisi energi berkeadilan,” pungkas Wicaksono. RH

Indonesia Perlu Ambil Peluang Perkuat Agenda Transisi Energi dari Guncangan Geopolitik Indonesia Perlu Ambil Peluang Perkuat Agenda Transisi Energi dari Guncangan Geopolitik Reviewed by Ridwan Harahap on Kamis, Mei 08, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.