Jakarta, OG Indonesia -- Indonesia memimpin perluasan kapasitas tambang batu bara di Asia Tenggara dengan 31 juta ton per tahun (Mtpa) proyek yang sedang dikembangkan. Tak hanya itu, dari sekitar 135 Mtpa kapasitas tambang batu bara dalam perencanaan di 12 negara Asia –kecuali China, Indonesia dan Pakistan berkontribusi lebih dari setengahnya. Peningkatan tambang batu bara berpotensi menaikkan emisi gas rumah kaca metana dan memperburuk krisis iklim.
Temuan ini
dipublikasikan dalam laporan terbaru Global Energy Monitor (GEM) “Still digging
2025: Tracking global coal mine proposals”. Dari 31 Mtpa proposal tambang batu
bara di Indonesia, sebanyak 15 Mtpa dalam tahap konstruksi dan 16 Mtpa dalam
perencanaan. Sekitar 94% dari proyek tambang baru tersebut memproduksi batu
bara termal guna memenuhi pembangkit listrik domestik dan pasar ekspor.
Namun,
tercatat juga terdapat lebih dari 40 proyek baru di Indonesia masih berada di
tahap sangat awal tanpa data kapasitas yang jelas. Tak hanya itu, pemerintah
kini gencar mengeksplorasi cadangan batu bara metalurgi (coking coal) dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor
dari Rusia, Australia, dan China. Padahal, ekspansi tambang batu bara ini
berisiko bagi Indonesia.
“Dengan
Tiongkok dan India menyerap hampir dua pertiga ekspor batu bara Indonesia pada
2023, sektor ini menghadapi risiko keekonomian dan ancaman menjadi aset
terlantar (stranded asset). Hal ini
terlihat pada awal 2025 ketika ekspor batu bara Indonesia anjlok ke titik
terendah dalam tiga tahun, akibat meningkatnya produksi domestik di kedua
negara tersebut,” kata Dorothy Mei, Manajer Proyek Global Coal Mine Tracker
GEM.
Sementara itu,
tercatat terdapat 2.270 Mtpa proyek batu bara dalam berbagai tahap pengembangan
di 30 negara di dunia. Secara global, Indonesia menempati peringkat 8 negara
dengan proposal tambahan kapasitas tambang batu bara terbesar, sementara China
memimpin dengan margin yang sangat signifikan dengan tambahan kapasitas
mencapai 1.350 Mtpa.
Jika semua
proposal tambang baru ini terealisasi, diperkirakan terdapat 15,7 juta ton
metana akan dilepas ke udara setiap tahunnya atau setara 1,3 miliar ton CO₂e,
melebihi total emisi tahunan Jepang pada 2022. Alhasil, emisi gas rumah kaca
global akan melejit menjadi 6 miliar to CO₂e, setara dengan emisi Amerika
Serikat sebagai polutan terbesar kedua dunia.
Padahal, dari
30 negara dengan proyek tambang batu bara baru dalam pengembangan, 21
diantaranya merupakan penandatangan Global
Methane Pledge –termasuk Indonesia. Meski demikian, hanya beberapa negara
yang telah menyampaikan rencana mitigasi metana yang konkret.”
“Jika
negara-negara ini benar-benar berkomitmen pada target iklim mereka, solusinya
bukanlah melanjutkan pengembangan tambang batu bara dengan aksi mitigasi yang
tidak jelas, tetapi menghentikan proyek baru sepenuhnya. Strategi paling
efektif untuk ini sangat jelas, yakni biarkan batu bara tetap di dalam tanah,”
Tiffany Means, Peneliti Senior di GEM, menegaskan.
Wicaksono
Gitawan, Policy Strategist CERAH, menyatakan bahwa tindakan Indonesia untuk
mendorong ekspansi tambang batu bara tidak sesuai dengan target transisi energi
dan komitmen iklim sesuai Perjanjian Paris. Apalagi, Presiden Prabowo subianto
telah menyatakan bahwa Indonesia siap menggunakan 100% energi terbarukan dalam
10 tahun ke depan, dalam lawatannya ke Brasil bulan lalu.
“Dibanding
ekspansi batu bara, seharusnya pemerintah mulai serius menyiapkan kebijakan dan
langkah konkret untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan dengan lebih
masif dan menghentikan penggunaan batu bara secara berlebihan,” Wicaksono
menegaskan. RH
.png)