Jakarta, OG Indonesia -- Audit energi yang dilakukan oleh Konsorsium Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap potensi penghematan energi industri sebesar 28,7 juta kWh per tahun, setara dengan konsumsi listrik lebih dari 25 ribu rumah tangga. Implementasi hasil audit juga dapat menekan biaya operasional hingga Rp10,3 miliar per tahun serta menurunkan emisi karbon sekitar 13.300 ton CO₂/tahun.
Sebagian besar langkah efisiensi memiliki periode pengembalian investasi kurang dari tiga tahun, menjadikannya peluang nyata bagi industri. “Audit dilakukan di lima badan usaha dan temuannya, margin keuntungan perusahaan bisa meningkat signifikan. Ada juga potensi penghematan dan peluang mengimplementasikan teknologi efisiensi energi yang tepat,” kata Direktur Konservasi Energi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi.
Lima badan usaha dimaksud bergerak di sektor-sektor industri yang masuk prioritas pemerintah untuk pengurangan emisi karbon, yaitu industri pulp dan kertas, serta tekstil dan alas kaki.
Kegiatan audit energi merupakan bagian dari kerja sama antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Jerman, serta kolaborasi dengan perusahaan jasa konservasi energi (Energy Service Companies/ESCOs) dan penyedia teknologi. Audit dilakukan terhadap sejumlah sistem pada proses produksi di industri yaitu sistem boiler, air compressor, distribusi steam, kelistrikan, pendingin, produksi, motor atau pompa, ventilasi, dan sistem pencahayaan.
Menurut Hendra, audit terhadap sistem tersebut memungkinkan badan usaha untuk mengambil langkah dalam meningkatkan efisiensi, menekan biaya produksi, dan memperkuat daya saing industri, sekaligus mendukung target iklim nasional.
Proyeksinya, efisiensi energi menyumbang hingga 37% target penurunan emisi sektor energi tahun 2030. Pemerintah telah menerbitkan PP No. 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi yang mewajibkan perusahaan melaksanakan audit energi secara berkala dan menjalankan rekomendasinya.
“Untuk menciptakan iklim industri yang lebih kompetitif dan tangguh, kita menggunakan energi sebagai langkah pertama mengurangi biaya energi, meningkatkan produktivitas, dan daya saing industri secara keseluruhan. Salah satunya melalui Industry Lab di proyek SETI, yang merupakan kegiatan terpadu meliputi pemberian fasilitas audit energi kepada industri terpilih, matchmaking dengan badan usaha jasa konsultasi dan penyediaan teknologi, serta implementasi terhadap hasil audit,” Hendra menjelaskan.
Johannes Anhorn, Lead Industry Decarbonization, GIZ Energy Programme Indonesia/ASEAN, menekankan bahwa audit energi merupakan langkah pertama yang dibutuhkan industri untuk mengidentifikasi peluang efisiensi energi dan bagaimana badan usaha bisa melakukannya. Hal ini penting karena 20-30% dari total biaya produksi di industri dikeluarkan untuk biaya energi sehingga cara tercepat menurunkan biaya sekaligus emisi adalah dengan melakukan efisiensi energi.
“Kegiatan ini bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan panjang menuju dekarbonisasi sektor industri. Ke depan, inisiatif seperti katalog teknologi rendah karbon akan memberikan referensi praktis bagi industri untuk memilih solusi yang tepat,” kata Johannes.
Menurut Johannes, mengurangi emisi adalah salah satu aspek dalam dekarbonisasi industri yang sama pentingnya dengan menjaga daya saing Indonesia memenuhi standar global.
Audit energi dilakukan periode 6 Juni-1 Agustus 2025, dan merekomendasikan sejumlah langkah efisiensi. Di antaranya, peningkatan kinerja sistem pendingin melalui pemanfaatan teknologi cooling tower dan chiller yang lebih modern, serta pemasangan variable speed drive (VSD) pada motor dan pompa untuk menurunkan konsumsi energi sekaligus menjaga keandalan operasional.
Agar rekomendasi tersebut menjadi aksi nyata, diperlukan strategi komprehensif, mulai dari langkah berbiaya rendah dengan payback singkat, kolaborasi dengan ESCO melalui skema performance contract, dukungan teknologi dari penyedia solusi inovatif, hingga pemanfaatan kebijakan dan insentif seperti PP No 33/2023 serta akses pembiayaan hijau, serta peningkatan kapasitas bagi tim teknis internal agar berkelanjutan.
“Melalui
kolaborasi lintas pihak antara pemerintah, industri, penyedia teknologi, dan
ESCO, hasil audit ini diharapkan dapat segera diterjemahkan ke dalam aksi nyata
menuju industri yang hemat energi, kompetitif, dan rendah karbon,” Hendra
menegaskan. RH
