Foto: Ridwan Harahap
Jakarta, OG Indonesia -- Tiga perusahaan energi fosil
Indonesia –PT Alamtri Resources Indonesia (Adaro Energy) Tbk, PT Bumi Resources
Tbk, dan PT Pertamina (Persero)– masuk
dalam daftar 180 carbon majors atau
perusahaan penghasil emisi karbon besar dunia, yang turut bertanggung jawab
atas terjadinya 213 gelombang panas di dunia pada 2000-2023. Temuan ini
menegaskan besarnya peran perusahaan terhadap krisis iklim.
Hal ini terungkap dalam laporan terbaru yang diterbitkan dalam Jurnal Nature. Laporan ini mengungkap telah terjadi 213 gelombang panas bersejarah pada 2000-2023 akibat perubahan iklim, dimana 180 carbon majors –yakni produsen bahan bakar fosil dan semen– berkontribusi signifikan. Secara global, hampir 500 ribu orang meninggal akibat gelombang panas pada 2000-2019; banyak di antaranya secara langsung dapat dikaitkan dengan perubahan iklim.
Studi ini juga menemukan, pada 2000-2009, gelombang panas menjadi sekitar 20 kali lebih mungkin terjadi dibanding era pra-industri, dan meningkat menjadi 200 kali lebih mungkin pada 2010–2019. Emisi dari perusahaan penghasil emisi karbon besar tercatat menyumbang separuh peningkatan intensitas gelombang panas sejak 1850–1900.
“Kini kita
dapat mengaitkan peningkatan proporsional frekuensi dan intensitas gelombang
panas yang teramati langsung dengan perusahaan-perusahaan ‘karbon besar’
minyak, gas, batu bara, dan semen. Perusahaan-perusahaan seharusnya menyadari
bahwa mereka kemungkinan akan diminta untuk memberikan kompensasi kepada
individu dan komunitas yang dirugikan oleh gelombang panas, yang diperparah
secara signifikan oleh bahan bakar karbon yang telah dan terus mereka masukkan
ke dalam perdagangan global,” kata Richard Heede, Direktur Climate
Accountability Institute dan salah satu penulis studi ini.
Secara global,
emisi dari 14 entitas global setara dengan gabungan 166 perusahaan besar
lainnya. Ke-14 perusahaan ini bertanggung jawab atas sekitar 30% dari total
emisi kumulatif CO₂ antropogenik sejak 1850. Dua di antaranya adalah raksasa
produsen minyak dunia, yakni ExxonMobil dan Saudi Aramco.
Sementara di
Indonesia, emisi yang dihasilkan Adaro Energy, Bumi Resources, dan Pertamina
secara individu cukup untuk memicu 50 dari 213 gelombang panas yang dianalisis
antara 2000 hingga 2023. Dengan kata lain, dalam dunia hipotetis di mana hanya
emisi dari tiga perusahaan ini yang ada, 50 peristiwa panas ekstrem tetap akan
terjadi.
Laporan juga
menyebutkan, bergantung pada perusahaan, kontribusi individual carbon majors tersebut cukup besar untuk
memicu antara 16 hingga 53 gelombang panas yang sebelumnya mustahil terjadi
tanpa perubahan iklim.
“Kini kita
dapat menunjuk pada gelombang panas tertentu dan berkata: Saudi Aramco melakukan ini. ExxonMobil melakukan ini. Shell melakukan
ini. Ketika emisi dari perusahaan-perusahaan ini saja sudah cukup memicu
gelombang panas yang seharusnya tidak terjadi, maka kita bicara tentang manusia
nyata yang meninggal, tanaman pangan yang gagal, dan komunitas yang
menderita—semua akibat keputusan di ruang rapat korporasi,” ujar Cassidy
DiPaola, juru bicara kampanye Make
Polluters Pay.
Temuan ini
menunjukkan rantai bukti berskala besar pertama yang menghubungkan emisi
perusahaan tertentu dengan gelombang panas ekstrem tertentu. Sebelum ini, studi
atribusi iklim belum memiliki kerangka sistematis yang menguraikan kaitan
kausal dari emisi perusahaan ke peristiwa ekstrem.
“Mahkamah
Internasional baru saja menyatakan bahwa produksi bahan bakar fosil dapat
dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum internasional yang memberi hak bagi
korban untuk mendapatkan reparasi. Nah, inilah bukti yang ditunggu pengadilan.
Kita akhirnya bisa menamai dan menghitung siapa yang bertanggung jawab atas
bencana ini. Tagihannya sudah jatuh tempo, dan sudah saatnya para pencemar ini
membayar atas kerusakan yang mereka timbulkan,” Cassidy menegaskan. RH
