Indonesia Energy Outlook 2026: “Aggressive Upstream, Profitable Downstream”


Oleh: Salis S. Aprilian (Praktisi Migas dan Energi, CEO & Founder Digital Energy Asia, Senior Advisor IGS & Dewan Pakar Komunitas Migas Indonesia/KMI)

Tag line pada judul di atas pernah menjadi tema transformasi manajemen di Pertamina di pertengahan dekade 2010 – 2020, hingga menghasilkan beberapa capaian milestones yang dicatat sebagai perusahaan besar kelas dunia yang masuk dalam 500 Fortune pertamia kali di tahun 2013.

Semangat seperti itu pulalah yang seyogyanya menjadi tema sentral pengembangan energi di Indonesia saat ini dan ke depan. Lima tahun terakhir menandai fase krusial bagi sektor energi Indonesia. Di satu sisi, produksi minyak dan gas bumi (migas) menghadapi penurunan alamiah akibat dominasi lapangan mature. Di sisi lain, kebutuhan energi domestik terus meningkat, sementara agenda transisi energi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) kian menguat. 

Dalam konteks inilah tema “Aggressive Upstream, Profitable Downstream” menjadi relevan: Indonesia harus agresif menjaga dan menambah pasokan energi dari hulu, sembari memastikan sektor hilir menghasilkan nilai ekonomi yang sehat dan berkelanjutan.

Langkah Aggressive Upstream diharapkan dapat menggiatkan aktivitas eksplorasi menghasilkan temuan sumber energi baru, baik energi yang non-renewable (fosil), maupun energi yang renewable (panas bumi, matahari, air, bayu, bio dan lain-lain), dan peningkatan produksi dari sumber energi yang sudah ada. 

Sedangkan Langkah Profitable Downstream lebih ditumpukan pada monetisasi energi dan penerapan teknologi yang tepat guna agar energi yang diproduksikan dapat digunakan secara efektif dan efisien, serta memberikan keuntungan yang bernilai tambah (added valuable) bagi stakeholders.

Kilas balik lima tahun terakhir (2020–2025)

Selama periode ini, lifting minyak nasional bertahan di kisaran 600 ribu barel per hari. Hal ini mencerminkan beratnya tantangan penurunan alamiah lapangan tua. Sementara itu, gas bumi menunjukkan ketahanan yang lebih baik, namun persoalan bergeser pada keseimbangan pasokan domestik, kontrak ekspor, kebijakan harga gas, dan infrastruktur.

Di sisi lain, bauran EBT meningkat, tetapi belum cukup cepat untuk menggantikan peran energi fosil. Listrik berbasis EBT tumbuh, namun masih membutuhkan dukungan fleksibilitas sistem (gas, jaringan, dan penyimpanan energi).

Periode ini juga menghadirkan angin segar dari aktivitas eksplorasi gas, yang mengubah peta prospek energi nasional.

Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mencatat serangkaian penemuan gas berskala besar, terutama di wilayah deepwater Kalimantan Timur dan play Andaman (Aceh–Sumatra Utara). Beberapa temuan kunci meliputi:

• Andaman (Aceh–Sumatra Utara)

Penemuan gas di wilayah Andaman (Timpan, Layaran, dan Tangkulo) menunjukkan potensi multi-TCF gas-in-place, menjadikannya salah satu frontier gas paling menjanjikan di Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir.

• Cekungan Kutai, Kalimantan Timur (deepwater)

Temuan Geng North dengan potensi sekitar 5 TCF gas-in-place, serta temuan lanjutan di wilayah Muara Bakau, memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain gas regional.

Secara strategis, temuan-temuan ini menegaskan bahwa masa depan hulu migas Indonesia semakin “gas-oriented”. Namun, perlu digarisbawahi: sebagian besar angka tersebut masih berupa gas-in-place, sehingga realisasi ke produksi memerlukan appraisal, POD, FID, dan pembangunan infrastruktur, dengan dampak nyata baru terasa mulai akhir dekade 2020-an hingga awal 2030-an.

Sementara eksplorasi gas menjadi tumpuan jangka menengah, minyak bumi tetap krusial bagi ketahanan energi dan fiskal. Di sinilah Enhanced Oil Recovery (EOR) memainkan peran penting.

Blok Rokan—lapangan raksasa yang telah berproduksi puluhan tahun—menjadi laboratorium nasional untuk teknologi Chemical EOR (CEOR). Implementasi CEOR di Minas menunjukkan upaya serius untuk menahan laju penurunan produksi; meningkatkan recovery factor, serta menjadikan teknologi EOR sebagai repeatable model bagi lapangan mature lain.

Keberhasilan CEOR Rokan tidak hanya berdampak pada tambahan barel minyak, tetapi juga pada transfer teknologi, penguatan industri kimia domestik, dan penciptaan nilai tambah nasional. Ditambah lagi adanya temuan sumber daya MNK (Migas Non-Konvensional) yang baru-baru ini diumumkan Pertamina di Blok Rokan. Hal ini cukup menambah harapan baru pada sisi suplai migas.

Pengaruh supply–demand energi global dan Asia

Proyeksi energi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika global dan regional, antara lain:

1. Gas & LNG Asia

Asia menjadi pusat pertumbuhan permintaan gas dunia, meski sangat sensitif terhadap harga. Volatilitas harga LNG spot Asia dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa ketergantungan pada impor LNG berisiko tinggi. Ini memperkuat urgensi monetisasi gas domestik dari Blok Masela, Andaman dan Kalimantan Timur.

2. Minyak global

Pasar minyak dunia menghadapi potensi surplus jangka menengah, sementara pertumbuhan permintaan Asia cenderung melambat. Bagi Indonesia, ini berarti fokus harus bergeser dari sekadar volume ke efisiensi biaya dan margin hilir.

3. Transisi energi global

EBT tumbuh pesat, terutama di sektor listrik. Namun, gas tetap diposisikan sebagai energi transisi dalam banyak skenario global, khususnya di Asia. Jika kita lihat kondisi energi di Asia, khususnya Asia Tenggara, International Energy Agency (IEA) memproyeksikan permintaan listrik Asia Tenggara naik rata-rata ~4% per tahun sampai 2035. Hal ini didorong oleh pembangunan gedung-gedung swasta maupun pemerintahan dengan bangunan yang ber-AC, adanya penerangan dan lampu-lampu iklan yang gemerlap, peningkatan transportasi, dan bertumbuhnya industri di semua wilayah.

Outlook Energi Indonesia ke depan

A. Jangka pendek: 2026–2030

• Hulu: kegiatan hulu migas akan terfokus pada upaya menahan penurunan produksi melalui optimasi lapangan mature, reaktivasi sumur idle, EOR, serta percepatan eksplorasi yang dekat dengan infrastruktur yang sudah ada.

• Gas: kecepatan fase appraisal dan keputusan investasi untuk temuan besar akan terlihat dampaknya pada pasokan domestik di akhir periode. Dalam white paper hasil kajian IGS (Indonesian Gas Society) bersama Rystad Energy menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2028 beberapa proyek industri strategis akan on-stream dan membutuhkan feedstock gas yang cukup signifikan. Suplai gas pada tahun 2028 – 2032 akan dipenuhi dari proyek hulu migas dari lapangan-lapangan baru, seperti: Abadi LNG, Andaman, dan IDD. Jika hal ini meleset maka konsekuensinya adalah impor LNG.

• Hilir: Aktivitas di sektor hilir akan ditekankan pada peningkatan efisiensi kilang, optimalisasi rantai pasok, dan penguatan gas value chain.

• EBT: transisi penggunaan energi dari fosil ke EBT akan sangat tergantung pada akselerasi pembangkit EBT, terutama di sistem kelistrikan.

B. Jangka menengah: 2030–2040

• Pada periode ini gas bumi menjadi tulang punggung transisi energi, baik untuk industri maupun listrik. Penyeimbangan rantai suplai dan demand harus menjadi perhatian yang serius agar terjadi ketahanan energi yang berkelanjutan. Hasil temuan kegiatan yang massif di periode sebelumnya baru menghasilkan produksi di dekade ini.

• Selain dari hasil kegiatan eksplorasi, produksi minyak akan dipertahankan melalui teknologi EOR ysng lebih selektif, bukan ekspansi besar-besaran.

• Sektor hilir akan bertransformasi dari BBM-centric menjadi kombinasi petrokimia, gas, dan listrik.

• Penggunaan EBT akan meningkat signifikan, namun tetap membutuhkan gas sebagai penyeimbang sistem, terutama untuk mengatasi beban puncak yang membutuhkan distribusi listrik yang lebih fleksibel.

C. Jangka panjang: Beyond 2040

• Pada dekade ini, diperkirakan permintaan energi fosil dunia cenderung mencapai puncak, dan peran migas Indonesia akan lebih spesifik, sebagai bahan baku industri dan penyangga sistem. Kegiatan eksplorasi lebih difokuskan pada pencarian dan pemanfaatan sumber daya EBT.

• Penggunaan EBT menjadi arus utama energi, didukung teknologi penyimpanan energi, jaringan cerdas (smart grid), dan elektrifikasi di berbagai sektor.

• Pemanfaatan gas bumi berintegrasi dengan teknologi CCS/CCUS, menjaga relevansi di era dekarbonisasi.

Sebagai kesimpulan, bahwa tema “Aggressive Upstream, Profitable Downstream” hendaknya bukan sekadar slogan, melainkan merupakan strategi realistis menghadapi masa depan energi Indonesia.

• Aggressive upstream berarti menggiatkan lagi kegiatan eksplorasi, baik migas maupun EBT secara massif, konsisten, dan adaptif; melakukan EOR berbasis teknologi yang selektif, dan disiplin dalam eksekusi.

• Profitable downstream berarti menekankan efisiensi, peningkatan nilai tambah, dan kesiapan beradaptasi dengan perubahan pola konsumsi energi.

Jika dijalankan dengan konsisten, strategi ini memungkinkan Indonesia dapat menjaga ketahanan energi nasional, sekaligus membiayai dan mempercepat transisi menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan—tanpa kehilangan pijakan pada realitas ekonomi dan geopolitik energi global. [ssa]

Melati Costa – Bogor, 26 Desember 2025


Indonesia Energy Outlook 2026: “Aggressive Upstream, Profitable Downstream” Indonesia Energy Outlook 2026: “Aggressive Upstream, Profitable Downstream” Reviewed by Ridwan Harahap on Jumat, Desember 26, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.