Menakar Peran Nuklir dalam Transisi Energi


Jakarta, OG Indonesia --
Isu transisi energi semakin kencang disuarakan belakangan ini seiring kesadaran penduduk dunia untuk beralih dari energi fosil menuju energi yang lebih hijau demi masa depan bumi yang lebih baik. Karena itu, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) pun terus digencarkan, tak terkecuali energi nuklir yang tergolong "energi baru" dalam terminologi energi di Indonesia.

Menurut Moshe Rizal, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), energi nuklir sebenarnya adalah energi yang paling dapat diandalkan di dunia. Dia mengutip data Nuclear Energy Institute tahun 2019, bahwa yang paling berkontribusi menurunkan CO2 di Amerika Serikat (AS) adalah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yaitu mencapai 476 juta metrik ton CO2. 

"Dalam bauran energi, nuklir hanya 20 persen dari energy mix-nya Amerika (Serikat), tapi kontribusinya bisa berkali-kali lipat atau lebih dari semua renewable (energy) di-combine jadi satu," jelas Moshe dalam pelatihan media "Transisi Energi-Potensi, Bisnis Proses Dan Outlook" hari kedua yang diselenggarakan Aspermigas dan Pamerindo secara daring, Minggu (24/7/2022).

Karena itu Moshe berani menyebutkan bahwa energi nuklir merupakan energi yang paling bersih bahkan lebih bersih dibandingkan energi terbarukan. Sebab kontribusi energi terbarukan lainnya dalam langkah menghindari emisi karbon tidak sebesar nuklir. Di mana untuk PLT Bayu/Angin berkontribusi menurunkan CO2 di AS sebesar 187 juta metrik ton, hydropower (174 juta metrik ton), PLTS (45 juta metrik ton), dan energi geothermal (10 juta metrik ton).

Lalu jika ditilik dari capacity factor-nya, pembangkit bertenaga nuklir ternyata bisa mencapai 93,5%. "Jadi istilahnya hampir tidak ada shutdown atau pengurangan daya, jadi stabil terus," tegas Moshe. Bandingkan dengan pembangkit lainnya, seperti pembangkit listrik berbahan bakar gas yang capacity factor-nya hanya 56,8%, PLTU batu bara (47,5%), hydropower (39,1%), PLT Bayu/Angin (34,8%), dan PLTS (24,5%).

Sementara itu dari sisi kebutuhan lahan, menurut Suparman dari Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), untuk membangun PLTN hanya membutuhkan lahan yang sedikit. Hal ini tentunya menjadi keunggulan energi nuklir karena tidak perlu menebang pohon dan membuka lahan terlalu luas.

Dipaparkan olehnya bahwa untuk membangun PLTN dengan kapasitas 1.000 MWe hanya dibutuhkan lahan sekitar 2 km2. Sementara untuk PLTS dengan kapasitas yang sama memerlukan area seluas 67 km2. Pembangunan PLT Bayu dengan kapasitas serupa bahkan bisa memakan tanah seluas 246 km2. "Jadi untuk kebutuhan lahan, PLTN sangat efisien," ungkap Suparman dalam pelatihan media hari pertama, Sabtu (23/7/2022).

Seiring upaya menyukseskan program Net Zero Emission (NZE), menurut Suparman energi nuklir layak untuk dikedepankan. "Penggunaan energi yang bersih lingkungan, termasuk energi nuklir juga harus dipertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan energi yang bersih, andal serta berkapasitas besar," tutup Suparman. RH

Menakar Peran Nuklir dalam Transisi Energi Menakar Peran Nuklir dalam Transisi Energi Reviewed by Ridwan Harahap on Senin, Juli 25, 2022 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.