Jakarta, OG Indonesia -- Investasi hijau China melalui skema Belt and Road Initiative (BRI) berpotensi mempercepat pembangunan dan transformasi ekonomi Indonesia menuju ekonomi hijau, khususnya dengan percepatan transisi energi. Pembiayaan ini juga bisa membantu agenda transisi energi Pemerintahan Presiden Prabowo, antara lain ambisi untuk membangun energi surya sebesar 100 gigawatt (GW).
Laporan terbaru Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) dan CERAH “Leveraging China’s Green Momentum to Advance Indonesia’s Economic Development” menyebutkan, potensi pembiayaan energi terbarukan lewat skema BRI cukup besar. Sebagai penerima investasi BRI terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menjadi penerima terbesar BRI dengan angka US$ 9,3 miliar (asumsi kurs Rp 16.000) pada 2024, yang dapat menciptakan 191.200 lapangan kerja baru. Dari dana tersebut, sekitar US$ 900 juta (setara dengan Rp 14,4 triliun) dialokasikan untuk sektor energi, dengan 56% diarahkan untuk proyek energi terbarukan.
“Analisa kami berdasarkan data historis BRI, pembiayaan energi yang bernilai sekitar US$ 900 juta/tahun dapat dialokasikan untuk pengembangan energi terbarukan selama 10 tahun ke depan. Angka riilnya dalam sepuluh tahun ke depan tentu bisa lebih besar,” kata Tata Mustasya, Direktur Eksekutif SUSTAIN.
Jika seluruh pembiayaan energi digunakan untuk pengembangan energi terbarukan, maka jumlah pendanaan bisa mencapai US$ 9 miliar (Rp 144 triliun). Dana ini bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan energi terbarukan sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 atau mewujudkan ambisi energi surya 100 GW.
“Skala investasi sebesar Rp 144 triliun ini setara dengan 80 proyek sebesar PLTS Terapung Cirata, yang berarti bisa menghasilkan kapasitas gabungan hingga 15.300 MWp, mengurangi emisi karbon 17,12 juta ton, serta menghasilkan 112 ribu lapangan kerja baru, termasuk bagi masyarakat lokal,” Tata menambahkan. Dengan kapasitas listrik tersebut, sebanyak 4 juta rumah tangga bisa merasakan manfaatnya.
Investasi hijau China juga dapat membantu Indonesia menjadi hub produksi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Asia Tenggara, menyaingi Thailand. Dua proyek sedang berjalan yakni pabrik BYD senilai US$ 1,3 miliar di Subang dan pabrik baterai Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL) di Karawang.
Tata menyebutkan, “Mengacu pada pembangunan pabrik mobil listrik BYD di Subang, investasi US$ 5,2 miliar atau setara Rp 83,2 triliun untuk pabrik produksi EV berpotensi menciptakan sekitar 72 ribu lapangan kerja langsung. Jumlah ini belum termasuk lapangan kerja tidak langsung yang muncul dari rantai pasok dan kegiatan usaha terkait, seperti penyewaan rumah bagi pekerja maupun warung makan lokal.”
Mengacu studi kasus Jawa Barat dengan konsumen listrik terbesar di Indonesia, 30% pendanaan China saat ini atau Rp 42,7 triliun, mampu membiayai pembangunan PLTS di Jawa Barat sebesar 3,6 GW dalam RUPTL 2025-2034. Pembangunan PLTS ini akan menciptakan 33 ribu lapangan kerja dan mengurangi emisi karbon 5,14 juta ton/tahun. Sementara itu, pembangunan pabrik mobil listrik sebesar empat kali kapasitas pabrik BYD di Subang dapat mengatasi 4% angka pengangguran di Jawa Barat, dengan pendapatan dan perlindungan kerja yang jauh lebih baik dibandingkan sektor informal.
Peluang itu, lanjut Tata, memerlukan dukungan penguatan kebijakan dan strategi pelokalan industri. Hal ini agar investasi hijau, termasuk dari China, berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja dan harga energi terbarukan yang lebih terjangkau, serta berdampak pada penurunan subsidi energi secara signifikan. Lebih lanjut, investasi hijau China harus terintegrasi dengan re-industrialisasi hijau di Indonesia.
“Untuk memastikan manfaat tersebut benar-benar berkelanjutan, Indonesia perlu memperkuat kerangka kebijakan energi, fiskal, dan industri, serta strategi pelokalan. Investasi China juga harus mematuhi standar sosial dan keberlanjutan lingkungan yang ketat serta menghindari obral murah perizinan. Kebijakan dan pelokalan industri ini juga harus diterapkan bagi semua investasi hijau dari negara lain di Indonesia,” Tata menegaskan.
“Kolaborasi Indonesia-China akan terakselerasi dengan efektif melalui pendekatan berbasis komunitas. Investor China perlu menjadi duta dengan menyampaikan kesuksesan potensi produksi lokal di Indonesia kepada investor lainnya, khususnya dalam menggantikan bahan bakar diesel. Sebagai bentuk komitmen, para investor menyediakan peralatan dan menyelenggarakan pelatihan vokasi khusus untuk membangun kapabilitas tenaga kerja lokal, yang akan memacu kesuksesan kolaborasi ini,” Shuang Lin, Direktur Keuangan China World Resources Institute (WRI), menambahkan.
Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia mengingatkan, pemerintah perlu memastikan manfaat ekonomi investasi China dapat dirasakan seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di lokasi proyek. Peluang pekerjaan yang muncul dari investasi ini juga perlu dipastikan dapat mengikutsertakan tenaga kerja lokal, serta tidak terbatas bagi tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tinggi saja.
“Untuk itu, regulasi yang disusun berikut implementasinya di lapangan harus berubah dari kerangka top-down ke pendekatan yang lebih berorientasi masyarakat, terutama masyarakat marjinal. Sebelum menyusun dan melaksanakan regulasi atau kebijakan, kita harus mempertanyakan bagaimana ini dapat bermanfaat bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan,” Ardhitya menjelaskan. RH
Reviewed by Ridwan Harahap
on
Rabu, November 05, 2025
Rating:




