Jakarta, OG Indonesia -- Badai Senyar yang menghantam Selat Malaka dan memicu banjir bandang dan longsor di Sumatra, juga Badai Koto dan Ditwah yang melanda negara lain di Asia Tenggara, diyakini berdampak parah lantaran diperburuk oleh krisis iklim. Ketergantungan pada bahan bakar fosil menjadi salah satu penyebab utamanya.
Davide Faranda, Direktur Riset Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) Prancis, menjelaskan bahwa krisis iklim meningkatkan intensitas badai dan memicu banjir yang lebih parah di Asia Tenggara. Sains menunjukkan, atmosfer yang lebih hangat dapat menahan lebih banyak kelembaban, yang memicu curah hujan yang semakin deras. Di saat yang sama, suhu permukaan laut yang lebih hangat juga menyediakan energi tambahan untuk badai. Dampaknya, siklon atau badai menjadi lebih kuat dan merusak.
“Apa yang kita saksikan di Asia Tenggara adalah siklus badai yang tak henti-hentinya. Ribuan rumah telah hancur dalam badai baru-baru ini, tetapi yang terjadi adalah sebuah pola, akumulasi peristiwa bencana. Jika kita tidak segera menghentikan bahan bakar fosil dan berinvestasi dalam strategi adaptasi, Asia Tenggara akan terus menghadapi kerusakan sosial-ekonomi dan krisis kemanusiaan yang semakin meningkat. Kondisi ini seharusnya jangan dipahami sebagai sesuatu yang normal,” kata Faranda, Selasa (2/12/2025).
Selain itu, emisi dari bahan bakar fosil tidak hanya berkaitan langsung dengan perubahan iklim, namun juga dengan peristiwa cuaca yang mematikan. Untuk setiap ton emisi CO2 yang dihasilkan perusahaan bahan bakar fosil, kerugian ekonomi akibat cuaca buruk di seluruh dunia meningkat mencapai US$ 28 triliun pada periode 1991-2020 saja.
Senada, Iqbal Damanik, Climate and Energy Campaign Manager Greenpeace Indonesia menilai bencana yang terjadi di Sumatra merupakan dampak krisis iklim yang semakin intens dan dahsyat. Pengelolaan sumber daya alam dan energi buruk serta kebijakan pemerintah yang tidak berlandaskan keadilan, menjadi penyebabnya.
“Bencana ini adalah akumulasi dari tata kelola lahan dan energi yang buruk, serta kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir kelompok. Saatnya menerapkan prinsip pencemar membayar karena bencana yang terjadi bukan hanya disebabkan faktor alam tunggal, tapi karena eksploitasi alam berlebih oleh perusahaan dan negara yang mengatasnamakan pembangunan,” kata Iqbal.
Berbagai kajian telah menghubungkan badai dahsyat dengan krisis iklim, menggarisbawahi bahwa pemanasan global meningkatkan intensitas badai dan taifun. Sebagai contoh, peneliti menemukan krisis iklim memperkuat musim taifun 2024 di Filipina.
Kajian lainnya menunjukkan Taifun Super Ragasa menjadi lebih basah dan berangin akibat krisis iklim. Penyebab yang sama juga membuat kecepatan angin dan curah hujan Taifun Gaemi semakin kuat, menimbulkan kerusakan parah di bagian barat Wilayah Pasifik. RH


