PSC Gross Split Akan Sukses Kalau Proses Jadi Lebih Cepat dan Biaya Turun

Benny Lubiantara, Staf Ahli Kepala
SKK Migas dalam Business Talk
bertemakan Gross Split yang diadakan
oleh OG Indonesia dan KMI.
Foto: Hrp

Jakarta, OG Indonesia -- Seiring isu cost recovery menjadi kian kontraproduktif, apalagi sejak masuk APBN, maka tidak mengherankan muncul alternatif bagi hasil lain di kegiatan usaha hulu migas yaitu PSC Gross Split. 

Hal tersebut dikatakan oleh Staf Ahli Kepala SKK Migas Benny Lubiantara dalam Business Talk "Kupas Peluang dan Tantangan Gross Split, Era Baru PSC Indonesia" yang diadakan oleh OG Indonesia dan KMI di GKM Green Tower, Jakarta Selatan, Selasa (28/02).

Diungkapkan Benny, skema gross split dalam wacana diskusi di kalangan migas sebenarnya bukan barang baru, di mana sudah dari tahun 2006-2007 sudah mulai dibicarakan. "Gross split diharapkan menjadi insentif non fiskal melalui implementasi proses bisnis yang jauh lebih sederhana. Ini sebenarnya harapannya," kata Benny.

Menurutnya, skema gross split akan terbukti bagus kalau terjadi perubahan dalam wujud proses kegiatan hulu migas menjadi lebih cepat dan biaya yang dikeluarkan pun menjadi turun. 

"Kalau dengan asumsi lebih cepat dan cost akan turun, maka gross split akan menarik buat para investor," tuturnya. "Tapi kalau tidak ada jaminan cost turun, mungkin tidak akan terlalu menarik," sambung Benny seraya mengingatkan bahwa skema tersebut akan menarik atau tidak akan ditentukan oleh pasar.

Ia pun menyoroti juga soal split yang diatur dalam skema gross split yang disusun oleh Pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, terdapat sepuluh variabel yang bisa menambah bagian (split) kontraktor. 

"Split itu memang seharusnya jangan cuma satu variabel, idealnya terhadap beberapa variabel, yang umum itu misalnya terhadap harga produksi, dan lain-lain. Tapi yang jadi pertanyaan di Permen Gross Split kok jadi begitu banyak, ada sepuluh variabel, itu agak terlalu banyak," paparnya. RH