Menolong PLN dengan Pengendalian Harga Batubara dalam Skema DMO

Foto: Hrp
Oleh: Fahmy Radhi (Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas)

Keputusan Pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik yang berlaku pada periode 1 Januari hingga 31 Maret 2018 merupakan komitmen keberpihakan Pemerintahan Joko Widodo kepada rakyat, yang daya belinya sedang melemah. Keputusan itu juga untuk mengendalikan inflasi. Pasalnya, kenaikan tarif listrik secara signifikan memicu laju inflasi, yang ujung-ujungnya menambah beban rakyat miskin. Selain itu, kenaikan tarif listrik juga akan menurunkan iklim investasi di Indonesia, lantaran dapat menurunkan daya saing industri akibat mahalnya ongkos produksi dengan adanya kenaikan tarif listrik.

Masalahnya, mampukah PLN bertahan untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga 31 Maret 2018, bahkan hingga akhir 2019? Di tengah melambungnya harga Batubara, yang mencapai hampir USD 100 per metric ton, memang amat berat bagi PLN untuk tidak menaikkan tarif listrik. Pasalnya, penggunaan Batubara sebagai energi pembangkit Listrik hingga kini sudah mencapai hampir 60% dari total energi dasar yang digunakan PLN. Tidak bisa dihindari, setiap kenaikan harga Batubara sudah pasti akan menaikkan tarif harga pokok penyediaan (HPP) listrik, yang mestinya akan menaikkan tarif listrik.

Hanya, PLN tidak bisa memutuskan sendiri menaikkan tarif listrik, lantaran berdasarkan Undang-undang keputusan  menaikkan tarif listrik merupakan kewenangan Pemerintah dengan persetujuan DPR. Sebagai business entity, PLN memang dihadapkan pada kondisi yang sangat sulit dalam menetapkan HPP dan tarif listrik. Di sisi hulu, penetapan harga Batubara sebagai energi dasar, yang merupakan komponen terbesar HPP, sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar, di luar kontrol PLN. Sedangkan di sisi hilir, PLN tidak punya kewenangan sama sekali untuk menetapkan tarif listrik. Dalam kondisi tersebut, PLN hanya bisa bersandar pada uluran tangan Pemerintah pada setiap kali harga Batubara melambung tinggi. 

Tanpa uluran tangan Pemerintah dalam menghadapi mahalnya harga Batubara, tidak menutup kemungkinan PLN akan memasuki proses kebangkrutan. Jika PLN, sebagai satu-satunya pemasok listrik di Indonesia, mengalami kebangkrutan, maka negeri ini akan kembali menjadi gelap gulita. Dalam kondisi bangkrut, PLN bukan lagi Perusahaan Listrik Negara, melainkan berubah menjadi Perusahaan Lilin Negara.

Uluran tangan Pemerintah kepada PLN selama ini, meliputi: penaikkan tarif listrik secara regular dan subsidi listrik yang dibebankan pada APBN. Opsi menaikkan tarif listrik secara regular tampaknya sudah tertutup lantaran Pemerintah sudah memutuskan tidak akan menaikkan tarif listrik hingga 31 Maret 2018. Bahkan, konon Permerintah tetap tidak akan menaikkan tarif hingga akhir 2019. Sedangkan, menaikkan subsidi listrik juga hampir tertutup, lantaran sejak awal kebijakan subsidi Presiden Joko Widodo adalah mengalihkan penggunaan subsidi dari konsumtif beralih ke produkstif. Kalau pun subsidi tetap diberikan, maka subsidi itu menjadi beban PLN.

Dengan tertutupnya kedua opsi penyelamatan terhadap PLN, satu-satunya opsi yang masih bisa diupayakan oleh Pemerintah adalah penetapan harga Batubara yang dijual kepada PLN dalam skema Domestic Market Obligation (DMO). Dalam skema DMO, harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan oleh Pemerintah. Sedangkan Batubara yang dijual di luar PLN dan diekspor, harganya ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar. Pengendalian harga Batubara itu merupakan jalan tengah untuk mengurangi beban PLN,  dengan sedikit mengurangi keuntungan Pengusaha Batubara.

Penetapan DMO harga Batubara  merupakan suatu keniscayaan yang harus segera diputuskan oleh Pemerintah. Memang, pengendalian harga itu merupakan distorsi terhadap mekanisme pasar. Namun, secara teoritis distorsi itu diperkenankan selama untuk mencapai kepentingan negara dan rakyat. Selain itu, berdasarkan pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala kekayaan alam, termasuk Batubara, dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan demikian, distorsi pasar Batubara  itu merupakan kewenangan Pemerintah, yang  sesuai dengan amanah konstitusi.

Selain itu, pengendalian harga Batubara tersebut juga untuk mendukung PLN dalam menjalankan penugasan pemerintah, di antaranya pencapaian 100% elektrifikasi dan proyek listrik 35.000 MW. Kalau PLN harus menanggung sendiri beban mahalnya harga Batubara, tidak menutup kemungkinan PLN mengalami kegagalan dalam menjalankan penugasan negara sesuai dengan target ditetapkan. Dengan demikian, Program Energi Berkeadilan Presiden Joko Widodo juga terancam gagal.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) secara lantang telah menolak upaya pengendalian harga Batubara dalam skema DMO. Bahkan telah meminta kepada Pemerintah untuk membatalkan penetapan DMO harga Batubara. Memang peningkatan harga Batubara dapat meningkatkan keuntungan (wind fall) Penguasaha Batubara, yang sekaligus menaikkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari royalty dan peningkatan pungutan pajak. Namun, Pemerintah harus lebih mendahulukan kepentingan negara dan rakyat ketimbang kepentingan semata Penguasaha Batubara. 

Oleh karena itu, Pemerintah harus segera memutuskan DMO harga Batubara dalam waktu dekat ini. Prinsip dalam penetapan DMO harga Batubara adalah berbagai keuntungan dan kerugian (share gain, share pain), dengan “skema batas atas dan batas bawah” (ceiling and floor price). Pada saat harga Batubara melambung tinggi, Pengusaha menjual Batubara ke PLN dengan harga batas atas (ceiling price). Sebaliknya, pada saat harga Batubara terpuruk rendah, maka PLN harus membeli Batubara dengan harga batas bawah (floor price). Untuk meminimkan ketidakpastian akibat fluktuasi harga Batubara, maka kontrak penjualan Batubara harus ditetapkan dalam jangka panjang, lebih dari 5 tahun.

Pengendalian DMO harga Batubara dengan skema batas atas dan batas bawah diharapkan dapat meringankan beban PLN pada saat harga Batubara membumbung tinggi, sekaligus tidak merugikan bagi pengusaha pada saat harga Batubara terpuruk rendah. Dengan demikian, PLN tidak menanggung beban berat pada saat Pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif listrik. Pengusaha juga tetap dapat menjalankan usahanya dengan memperoleh keuntungan yang proporsional dan tetap dapat membayar royalty, yang dapat meningkatkan PNBP. 
Menolong PLN dengan Pengendalian Harga Batubara dalam Skema DMO Menolong PLN dengan Pengendalian Harga Batubara dalam Skema DMO Reviewed by OG Indonesia on Rabu, Februari 07, 2018 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.