"Energy Dominance" tidak hanya memprioritaskan eksplorasi energi fosil domestik, tetapi juga menjadikannya sebagai alat geopolitik memperkuat posisi Amerika Serikat di panggung internasional. |
Dr. Sampe L. Purba Staf Ahli Menteri ESDM 2019 - 2023 |
IEA,
Net Zero Emission, dan kritik terhadap Uni Eropa
International
Energy Agency (IEA) didirikan pada tahun 1974 sebagai respons terhadap krisis
minyak global yang dipicu oleh embargo minyak Arab. Tujuan utama IEA saat itu
adalah memastikan ketersediaan energi bagi negara-negara maju, sekaligus
menyeimbangkan kekuatan OPEC yang pernah menggunakan minyak sebagai senjata
geopolitik. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, IEA beralih menjadi lembaga
yang aktif mempromosikan energi non-fosil dan net zero emission, sejalan dengan dorongan
kuat dari Uni Eropa.
Donald
Trump, dalam kebijakannya, menunjukkan kekecewaan terhadap pendekatan Uni Eropa
yang dianggap membajak IEA untuk agenda transisi energi. Padahal, menurut
Trump, energi fosil tetap menjadi pilar utama keamanan energi global. Langkah
Amerika Serikat menarik diri dari Perjanjian Paris pada tahun 2017 menjadi
simbol kuat bahwa Trump tidak ingin terikat pada kebijakan transisi energi yang
dianggapnya merugikan ekonomi domestik dan daya saing internasional Amerika
Serikat.
Fossil
sebagai kunci geostrategis: Langkah grand master ala Donald Trump
Dalam
dunia energi, geostrategis berperan besar, terutama dalam mengelola cadangan
energi fosil, memastikan keamanan pasokan energi, dan bersaing dalam transisi
energi global. Keputusan strategis seperti penguasaan teknologi, pengelolaan
sumber daya alam, atau pengaturan aliansi energi dapat menjadi alat untuk
memperkuat posisi geopolitik suatu negara.
Pilihan
Trump untuk fokus pada energi fosil merupakan pendekatan geostrategis yang brilian.
Dalam 15 tahun terakhir, Amerika Serikat telah menjadi pemimpin global dalam
produksi energi fosil, terutama berkat keberhasilan teknologi fracking yang memungkinkan
eksploitasi shale gas dan shale oil secara masif. Saat ini,
Amerika Serikat adalah produsen minyak terbesar di dunia dengan output
sekitar 12
juta barel per hari, melampaui Rusia dan Arab Saudi. Dalam hal
LNG, ekspor Amerika Serikat mencapai 100 juta ton per tahun, menjadikannya
pemain utama di pasar global.
Pada
saat yang sama, Amerika Serikat menghadapi tantangan besar dari Tiongkok, yang
unggul dalam teknologi dan penguasaan hilirisasi mineral kritis seperti litium,
nikel, dan kobalt. Tiongkok menguasai 70% pengolahan litium dunia dan 40% produksi kobalt,
menjadikannya pemain dominan dalam rantai pasok energi terbarukan. Dengan
memaksimalkan potensi energi fosil, Trump berupaya mengunci dominasi ini.
Melalui
energi fosil, Amerika Serikat memiliki senjata untuk mengurangi ketergantungan
dunia pada teknologi Tiongkok dan memaksa negara-negara lain, terutama di Eropa
dan Asia, untuk lebih bergantung pada ekspor energi Amerika Serikat. Kebijakan
ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja domestik tetapi juga memberikan leverage
yang kuat dalam diplomasi internasional.
Langkah
catur ala Sisilia
Jika
dianalogikan dalam catur, model Trump ini dapat disamakan dengan gaya Serangan Sisilia
dengan Elemen Gambit
— agresif, taktis, tetapi juga memiliki risiko strategis yang diperhitungkan.
Langkah maut vendetta Sisilia: Trump memaksimalkan
keunggulan Amerika Serikat di energi fosil, terutama shale gas dan shale
oil, sebagai langkah proaktif menyerang dominasi energi terbarukan
Tiongkok. Dalam catur, pembukaan Sisilia sering digunakan untuk langsung
menguasai pusat permainan dengan cara yang tidak konvensional dan menantang
posisi lawan. Begitu pula, Trump mengambil posisi melawan arus global yang
mengejar transisi energi, menempatkan energi fosil sebagai alat serangan ekonomi
dan geopolitik.
Pengorbanan Gambit: Serangan Trump juga
memuat elemen pengorbanan atau kompromi. Contohnya adalah tarik diri dari Paris
Agreement yang dianggap mengisolasi Amerika di kancah diplomasi iklim. Namun,
"gambit" ini memberikan keuntungan strategis jangka panjang: fokus
pada dominasi energi fosil untuk mempertahankan dan memperkuat posisi global
Amerika.
Manajemen Risiko terukur, dan taktis: Seperti dalam catur, gaya
ini efektif melawan lawan yang kurang siap atau terlalu terpaku pada pendekatan
standar (seperti Tiongkok dengan dominasi hilirisasi mineral kritis). Risiko
tetap ada, termasuk bagaimana reaksi domestik terhadap kebijakan yang tidak
ramah lingkungan serta tantangan ekonomi di masa depan ketika energi terbarukan
menjadi lebih murah.
Dalam
gaya ini, Trump menunjukkan pemahaman mendalam tentang posisi Amerika di peta
energi global dan menggunakannya sebagai strategi menyerang yang langsung
menekan lawan, dengan tetap menjaga stabilitas posisi bertahan untuk melindungi
kepentingan nasionalnya. Sebuah langkah catur yang agresif, dengan visi panjang
untuk mengontrol papan permainan energi dunia.
Dua
wajah Trump: Antara Chris Wright dan Elon Musk
Langkah
Trump yang menunjuk Chris Wright, seorang tokoh pro-fosil, sebagai Menteri
Energi, mencerminkan tekadnya untuk memaksimalkan eksplorasi energi
tradisional. Namun, pada saat yang sama, Trump juga memberi posisi strategis
kepada Elon Musk, pendiri Tesla yang pro-energi bersih. Pendekatan ini
menunjukkan fleksibilitas Trump dalam mengakomodasi inovasi energi tanpa
sepenuhnya meninggalkan fosil. Sebagai mantan CEO kelas langitan – Trump
tetaplah politisi licin.
Dampak
Kebijakan Trump bagi Indonesia
Mitra
utama yang tetap favorable ke fosil. Cina dan India, dua mitra utama
Indonesia, masih sangat bergantung pada energi fosil. Kedua negara ini bukan
hanya pasar terbesar batu bara Indonesia, tetapi juga memiliki sikap yang lebih
realistis terhadap transisi energi.
Hilirisasi yang dapat tergoda. Dengan tingginya permintaan
energi fosil global, Indonesia berpotensi tergoda untuk mengutamakan ekspor
bahan mentah dibandingkan hilirisasi domestik. Hal ini memberikan keuntungan
jangka pendek namun dapat melemahkan upaya untuk menciptakan nilai tambah domestik.
Kekuatan
realistis dalam energi fosil. Sementara dunia bergerak menuju energi terbarukan,
Indonesia harus realistis dengan kekuatan utamanya: energi fosil. Dengan
cadangan batu bara dan gas alam yang melimpah, serta harga yang terjangkau,
energi fosil tetap menjadi tulang punggung ketenagalistrikan dan industri
nasional. Transisi energi memang penting, tetapi tidak bisa mengorbankan
stabilitas energi yang sudah ada. Kepentingan Nasional (National Interest)
harus diprioritaskan daripada sekedar terlihat good boy di mata dunia.
Pelajaran
Penting: Keamanan Energi sebagai Prioritas
Salah satu
pesan utama dari kebijakan Trump adalah pentingnya memprioritaskan keamanan
energi (energy security). Untuk Indonesia, ini berarti memastikan:
- Ketersediaan (Availability): Energi harus cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan domestik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
- Kehandalan (Reliability): Infrastruktur energi harus kokoh untuk memastikan pasokan yang stabil.
- Keterjangkauan (Affordability): Harga energi harus kompetitif, baik untuk rumah tangga maupun sektor industri.
Pendekatan
ini tidak berarti mengabaikan energi terbarukan, tetapi memastikan transisi
dilakukan dengan cara yang realistis dan bertahap, tanpa mengorbankan
keunggulan energi fosil yang sudah dimiliki.
Pendekatan
Geostrategi dalam Konteks Energi Fosil
Geostrategis
merujuk pada bagaimana sebuah negara memanfaatkan keunggulan geografis, sumber
daya, dan kebijakan untuk mengamankan posisi geopolitiknya. Dalam artikel ini,
pendekatan geostrategis Donald Trump terlihat jelas saat ia memanfaatkan energi
fosil sebagai senjata diplomasi ekonomi dan geopolitik.
Ini
bukan sekadar pengelolaan sumber daya, tetapi juga upaya untuk menetralisir
dominasi Tiongkok dalam teknologi dan hilirisasi mineral kritis. Dengan keunggulan
Amerika Serikat di shale gas dan shale oil, Trump memastikan
bahwa energi fosil tetap menjadi fondasi kekuatan global Amerika, sekaligus
mengunci strategi energi bersih lawan.
Bagi
Indonesia, geostrategis harus diterjemahkan dengan menempatkan energi fosil
sebagai kekuatan utama untuk menjaga ketersediaan, keterjangkauan, dan
keandalan energi, sambil tetap realistis dalam menjalankan transisi energi.
Kesimpulan:
Strategi untuk masa depan
Kebijakan
energi Donald Trump menunjukkan bahwa energi fosil masih memainkan peran
penting dalam strategi geopolitik global. Amerika Serikat memanfaatkan
keunggulan fosilnya untuk menantang dominasi Tiongkok di sektor energi bersih,
sekaligus memperkuat posisinya sebagai eksportir energi utama dunia.
Bagi
Indonesia, pelajaran ini relevan. Dengan cadangan energi fosil yang melimpah,
fokus pada keamanan energi harus menjadi prioritas utama. Indonesia perlu
memastikan bahwa transisi energi dilakukan secara realistis, dengan tetap
memanfaatkan fosil sebagai fondasi ekonomi.
Pada
akhirnya, pertarungan geopolitik energi bukan hanya tentang memilih antara
fosil dan energi terbarukan. Ini adalah tentang bagaimana negara memanfaatkan
sumber daya yang dimilikinya untuk memastikan kedaulatan, stabilitas, dan daya
saing di panggung global. Kita percaya, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo
yang kaya pengalaman, dibantu oleh Wakil Presiden Gibran yang muda dan energik,
langkah strategis di bidang energi merupakan cerminan Visi Indonesia Emas 2045.
Penulis :
Dr.
Sampe L. Purba
Alumni Universitas Pertahanan RI
Lulusan PPRA Lemhannas
Staf
Ahli Menteri ESDM 2019 - 2023