Nah Loh! RUPTL 2025-2034 Dinilai Tak Sejalan dengan Janji Transisi Energi Presiden Prabowo

Foto: Ridwan Harahap

Jakarta, OG Indonesia --
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 masih memasukkan rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan gas total 16,6 gigawatt (GW). Masih besarnya porsi energi fosil dalam RUPTL terbaru menunjukkan, rencana kelistrikan tersebut tidak sejalan dengan visi Presiden Prabowo yang ingin Indonesia berhenti menggunakan pembangkit fosil pada 2040, sebagaimana disampaikan saat KTT G20 di Brasil.

Pernyataan tersebut disampaikan Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN). “RUPTL ini merupakan kemunduran dari pernyataan Presiden di KTT G20 akhir tahun lalu mengenai komitmen transisi energi Indonesia. Ini akan memberi ketidakpastian bagi publik, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang ingin beralih ke energi terbarukan. Dengan RUPTL seperti ini, komitmen Indonesia keluar dari ketergantungan pembangkit energi fosil di tahun 2040 mustahil tercapai,” kata Tata.

Dominasi porsi energi terbarukan dalam RUPTL terbaru diklaim hingga 76%, di mana penambahan kapasitas pembangkit listrik energi hijau direncanakan mencapai 42,6 GW (61%) dan fasilitas penyimpanan listrik (storage) 10,3 GW (15%). Meski demikian, porsi listrik hijau ini memasukkan pembangkit listrik tenaga nuklir 500 megawatt (MW) pada 2032-2033, masing-masing 250 MW di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, perencanaan listrik nasional juga memproyeksikan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara 6,3 GW dan gas 10,3 GW, setara 24% dari total tambahan kapasitas pembangkit.

Menurut Tata, perlu revisi RUPTL dalam kerangka industrialisasi hijau, di mana industri energi terbarukan menjadi andalan untuk mendorong industri manufaktur Indonesia yang mengalami kemandekan sejak awal tahun 2000-an. Indonesia dapat seharusnya fokus pada pengembangan industri rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. “Kebijakan yang konsisten merupakan kunci, salah satunya RUPTL yang tidak memasukkan lagi pembangkit berbahan bakar fosil baru,” Tata menambahkan.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), menambahkan, RUPTL 2025-2034 lebih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil baik batu bara dan gas. Langkah tersebut menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.

“Investor maupun pendanaan di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL, karena pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi. Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal,” kata Bhima.

RUPTL baru ini, Bhima menambahkan, justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan dalam beberapa tahun ke depan. “Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8%? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil,” Bhima menegaskan. 

Ketergantungan Energi Fosil

Sartika Nur Shalati, Policy Strategist CERAH, menambahkan investasi ke pembangkit listrik berbahan fosil berisiko membuat sistem energi nasional tergantung pada energi kotor. Pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang memiliki umur teknis 25-30 tahun misalnya, biasanya akan diikuti investasi pembangunan pipa gas dan terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG), kontrak pasokan gas jangka panjang, peningkatan impor gas, dan subsidi pemerintah melalui harga gas bumi tertentu (HGBT).

“Ketika proyek infrastruktur gas sudah dibangun dan modal besar sudah tertanam (sunk cost), sangat sulit bagi pemerintah atau operator untuk menutupnya sebelum akhir umur teknisnya, kecuali dengan kompensasi besar,” kata Sartika.

Menurut Sartika, penambahan PLTU di tengah dominasinya yang mencapai 70% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik bukan merupakan langkah yang tepat. Jika PLTU terus ditambah, maka pemerintah daerah–terutama yang selama ini ekonominya bergantung pada batu bara–semakin kehilangan waktu untuk membangun ekonomi alternatif di tengah sumber daya alam dan lingkungan yang telah terdampak.

“Menambah PLTU dalam RUPTL hari ini, sama seperti menuangkan bensin ke rumah yang sudah kebakaran. Di saat kita harus keluar dari dominasi batu bara, RUPTL justru memberi ruang baru. Padahal tanpa tambahan sekalipun dalam grid PLN, PLTU tetap tumbuh diam-diam lewat captive power,” Sartika menambahkan.

Seluruh ekosistem ini membentuk ketergantungan struktural dan ekonomi yang sulit diakhiri. “Ini menciptakan insentif untuk mempertahankan operasi fosil lebih lama dari yang ideal dalam skenario iklim. Jika itu terjadi, lagi-lagi, kita hanya akan mengulang apa yang hari ini kita hadapi di sektor batu bara terkait sulitnya mengakhiri ketergantungan pada ekosistem PLTU yang sudah terlanjur dibangun,” tegas Sartika. RH

Nah Loh! RUPTL 2025-2034 Dinilai Tak Sejalan dengan Janji Transisi Energi Presiden Prabowo Nah Loh! RUPTL 2025-2034 Dinilai Tak Sejalan dengan Janji Transisi Energi Presiden Prabowo Reviewed by Ridwan Harahap on Senin, Mei 26, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.