Jakarta, OG Indonesia -- Director of Indonesia and Regional CCS Strategic Initiative Indonesia CCS Center Diofanny Swandrina Putri menilai, Indonesia memiliki potensi besar dalam implementasi CCS/CCUS (carbon capture storage/carbon capture utilization storage) berdasarkan kapasitas penyimpanan karbon yang dimiliki.
Menurut Diofanny, potensi yang dimiliki Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata meski tidak termasuk dalam lima besar dunia. “Kalau secara dunia, kita (Indonesia) tidak ada di lima besar, tapi untuk di Asia kita adalah yang pertama. Indonesia punya potensi penyimpanan karbon 80 gigaton – 600 gigaton,” ujar Diofanny dalam sesi diskusi bertajuk Integrasi Carbon Capture Storage/Carbon Utilization Storage.
Sesi ini merupakan bagian dari acara Sarasehan Nasional bertema Mendorong Keberlanjutan Industri Hulu Migas untuk Mencapai Kemandirian Energi yang diselenggarakan Katadata, Selasa (8/7/2025). Turut hadir pada sesi ini Chief of Insight, Strategy and Execution SKK Migas Adam Sheridan, dan Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Haruki Agustina.
Lebih lanjut, Diofanny mengatakan, saat ini ada dua lapisan yang bisa dimanfaatkan untuk penyimpanan karbon. Kondisi tersebut menjadi sebuah awalan yang baik bagi Indonesia untuk mendorong kegiatan CCS/CCUS di tanah air. “(Kapasitas) 600 gigaton sebagai starting point sudah sangat besar,” tuturnya.
Menurut Diofanny, pemanfaatan CCS/CCUS secara optimal juga dapat berkontribusi pada pengurangan emisi karbon hingga 17 persen pada tahun 2060. Hal tersebut termasuk dengan berbagai inisiatif pengurangan emisi karbon lainnya.
Meski
demikian, terlepas dari besarnya potensi penyimpanan karbon yang dimiliki
Indonesia, ia mengakui jika optimalisasi CCS/CCUS bukanlah hal mudah. Hal
tersebut diamini Adam Sheridan.
“Data
mengatakan CCS menyerap karbon paling tinggi. Potensi 600 gigaton itu alangkah
bagusnya kalau bisa dimanfaatkan. Cuma tantangannya tidak mudah dan banyak
sekali faktornya. Tidak cuma subsurface
tapi juga faktor pembeli,” kata Adam menyinggung soal perdagangan karbon.
Adam
menjelaskan, hingga saat ini Indonesia telah memiliki 14 aktivitas terkait
CCS/CCUS. Namun, belum ada aktivitas yang bersifat komersial karena berbagai
hal. “Hasil hitungan sementara kami (SKK Migas), kalau untuk skala kecil itu
kita tidak bisa membangun standalone
project karena tidak ekonomis,” tuturnya.
Tantangan lain dalam mendorong kegiatan CCS/CCUS adalah terkait perizinan. Hal tersebut diungkapkan oleh Haruki Agustina. “Dalam konteks perizinan, belum ada peraturannya. Harus dilihat serta melakukan riset dan analisis. Harus ada kajian-kajian, nanti diajukan ke kami (Kementerian Lingkungan Hidup) untuk perizinan,” terang Haruki.
Adapun
penerapan teknologi CCS/CCUS merupakan salah satu langkah penting untuk
mengurangi jejak karbon, memperpanjang umur produksi migas, sekaligus
memberikan kontribusi ekonomi lewat perdagangan karbon.
Hal
ini juga mendukung target Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun
2060 dan memenuhi komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) yang
menargetkan pengurangan emisi 29% secara mandiri pada 2030. RH