Jakarta, OG Indonesia -- Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 dinilai justru akan memperlambat laju transisi energi Indonesia. Tak hanya memasang target lebih rendah dari RUPTL sebelumnya, penambahan energi terbarukan dalam RUPTL baru ini juga baru mulai masif hingga setelah 2030. Hal ini berisiko membuat Indonesia tertinggal dalam target energi terbarukan global 11 ribu gigawatt (GW) pada 2030 dan jalur 1,5°C.
Temuan ini terungkap dalam laporan terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) “Indonesia’s RUPTL: Fossil First, Renewables Later”. Laporan tersebut mencatat, kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan yang ditargetkan pada 2030 turun dari 20,9 GW pada RUPTL 2021-2030 menjadi 18,6 GW dalam RUPTL 2025-2034 — dengan 17 GW yang akan ditambahkan hingga 2030 dan 1,6 GW yang terealisasikan hingga April 2025. Di sisi lain, pada 2020-2024, kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan hanya bertambah 0,7 GW dibanding energi fosil yang mencapai 11,4 GW.
CREA menilai, rencana ini menunjukkan preferensi kuat pada sistem kelistrikan yang masih didominasi energi fosil, alih-alih memanfaatkan potensi besar energi terbarukan di Indonesia. “Memasuki paruh kedua 2025, Indonesia baru mencapai 8% target RUPTL lama. Target energi terbarukan dalam RUPTL 2025-2034 sebesar 42,6 GW berarti pemerintah harus melakukan perubahan secara drastis. Reset besar ini membuat capaian tahun ini menjadi indikator penting komitmen nyata Indonesia,” kata Katherine Hasan, analis CREA, Kamis (11/9/2025).
Namun, laporan CREA mengungkap bahwa RUPTL baru menetapkan target energi terbarukan hanya 1,5 GW pada 2025—sekitar seperempat dari target 5,3 GW pada RUPTL lama. Lebih dari dua pertiga tambahan kapasitas energi terbarukan sesuai RUPTL 2025-2034 baru akan dicapai setelah 2030, di mana seharusnya menjadi puncak emisi sesuai komitmen Kerjasama Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP). Hal ini menunjukkan keraguan Indonesia untuk mengikuti seruan global melipatgandakan energi terbarukan menjadi 11 ribu GW pada 2030.
Tak hanya itu, Produksi listrik dari batu bara, gas, dan diesel diperkirakan dalam RUPTL terbaru naik hampir 40%, dari 295 terawatt-hour (TWh) pada 2024 menjadi 407 TWh pada 2034, sementara energi bersih meningkat dari 44 TWh menjadi 172 TWh. Proyeksi ini jauh di bawah jalur Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) JETP yang menargetkan penurunan produksi listrik berbasis energi fosil hingga 16% dan kenaikan ET lebih dari sembilan kali lipat pada 2034.
Temuan lain laporan ini yakni, proyek energi terbarukan milik PLN, terutama panas bumi dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), stagnan dalam satu dekade terakhir. Pertumbuhan energi terbarukan justru didorong oleh produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). Tren ini diperkirakan berlanjut dengan 90% dari tambahan energi terbarukan sebesar 42,6 GW dalam RUPTL 2025-2034 akan berasal dari IPP.
“Strategi ini jelas melempar risiko pembangunan langsung ke IPP, dan menegaskan peran vital swasta dalam transisi energi bersih Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus menciptakan persaingan yang setara antara energi terbarukan dengan energi fosil, mulai dari regulasi stabil, harga menarik, hingga proses yang efisien. PLN juga dinilai perlu bertransformasi menjadi pembeli dan operator jaringan yang andal untuk memastikan integrasi energi terbarukan di seluruh wilayah Indonesia,” Katherine menambahkan.
Tak hanya itu, untuk merealisasikan target transisi energi, CREA merekomendasikan agar RUPTL diselaraskan dengan potensi energi terbarukan daerah dan target iklim—termasuk target CIPP JETP dan jalur 1,5°C. Rencana peningkatan kapasitas energi terbarukan jangka pendek perlu dikaji ulang dengan mempercepat pengembangan tenaga surya, angin, dan air di seluruh wilayah, bukan hanya Jawa-Bali.
CREA juga mendesak adanya revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) 10/2025 untuk mempertegas komitmen percepatan pensiun dini PLTU. Regulasi tersebut perlu diperbaiki agar memberikan kerangka kerja yang lebih jelas dan mengikat dengan kriteria spesifik dan proses penilaian yang transparan dan independen terhadap daftar PLTU, untuk menghindari konflik kepentingan PLN. Renegosiasi klausul take-or-pay juga harus dilakukan untuk membuka ruang bagi pengembangan energi terbarukan.
Sebagai penutup, ambisi 100 GW pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang digagas oleh Presiden Prabowo dapat menjadi harapan terang yang bisa mengubah orientasi transisi energi Indonesia. Pembangunan 80 GW PLTS dan sistem baterai terdesentralisasi di 80.000 desa, serta 20 GW sisanya yang dapat diselaraskan dalam RUPTL 2025-2034.
“Jika Presiden Prabowo benar-benar berkomitmen untuk mewujudkan 100 GW PLTS dalam dekade krusial ini, maka pemerintah perlu mengambil langkah pasti, di antaranya mempertimbangkan ulang perencanaan energi nasional termasuk RUKN dan RUPTL. Langkah ini tidak hanya mencakup penambahan kapasitas, namun juga membangun infrastruktur jaringan yang siap mengakomodasi penambahan kapasitas energi terbarukan seperti yang direncanakan. Dengan demikian, visi Presiden Prabowo untuk menghentikan semua pembangkit listrik energi fosil sebelum 2040 dapat terwujud,” Katherine menegaskan. RH
