Nasib Global Hidrogen dan Jalan Menuju 2050: Bagaimana Indonesia?


Oleh: Dr. Ardian Nengkoda, Dewan Pakar IATMI & Komunitas Migas Indonesia (KMI)

Selama beberapa tahun terakhir, hidrogen, terutama hidrogen rendah-karbon seperti “green hydrogen”, dipuja sebagai salah satu tulang punggung transisi energi global masa depan. Namun sejak 2025, kenyataan lapangan mulai menunjukkan bahwa jalan menuju ekonomi hidrogen jauh lebih kompleks dari sekadar optimisme bisnis.

Terkini, data dari Financial Times tanggal 10 Desember 2025, baru saja melaporkan bahwa hampir 60 proyek besar low-carbon hydrogen di seluruh dunia dibatalkan atau ditunda dalam satu atau dua tahun ke depan, termasuk dari perusahaan seperti BP, ExxonMobil, Equinor, dan ArcelorMittal.

Proyek-proyek hidrogen ini semula memberikan indikasi bahwa kapasitas potensial jauh lebih besar daripada total kapasitas hidrogen bersih yang saat ini telah terpasang secara global. Artinya, semula mungkin ada faktor kebutuhan (demand) yang benar benar luas, tapi ternyata tidak.

Mengapa Banyak Proyek Burst (Batal)?

Tiga faktor utama mengemuka sebagai penghambat, yaitu:

1. Kurangnya pembeli / offtake. Permintaan dari sektor berat seperti baja, transportasi truk, aviasi, dan industri belum muncul dalam skala yang akurat.

2. Biaya produksi tinggi. Harga green hydrogen masih mahal sekitar US$ 3-7.5 per kg, bahkan ketika harga listrik terbarukan sudah murah, produksi green hydrogen masih tetap jauh lebih mahal dibandingkan hidrogen “abu-abuan” (grey hydrogen) berbasis fosil.

3. Infrastruktur belum merata bahkan belum ada secara global. Jaringan pipa, penyimpanan, distribusi, dan logistik untuk hidrogen belum berkembang cukup di banyak negara, membuat skenario distribusi massal sulit direalisasi dalam jangka pendek.

Dengan kondisi ini, beberapa analis menyimpulkan bahwa hidrogen tetap penting, namun hanya untuk sektor yang benar-benar sulit dielektrifikasi, misalnya industri petrokimia, pupuk, baja & baja hijau, penyimpanan energi jangka panjang, dan transportasi jarak jauh seperti kapal dan pesawat. Hidrogen masih belum cocok sebagai solusi universal untuk pemanasan ruangan, mobil pribadi, atau pabrik konvensional.

Sebuah Koreksi Pasar: Bukan Kegagalan Total

Bagi banyak pihak, pembatalan dan penundaan ini adalah koreksi pasar yang sehat, bukan akhir dari hidrogen sebagai energi masa depan. Sektor ini sedang melalui fase seleksi, proyek dengan model bisnis kuat terus dibangun dan berkembang, sementara yang berbasis asumsi optimistis tanpa dasar ekonomi kuat akan ditinggalkan.

Data terbaru menunjukkan bahwa industri hidrogen bersih global masih menerima komitmen investasi lebih dari US$110 miliar dengan 500+ proyek yang sudah melewati keputusan investasi (FID), sedang konstruksi, atau sudah beroperasi.

Artinya, meski banyak proyek dibatalkan, masih ada gelombang pembangunan terutama di wilayah dengan dukungan kebijakan kuat dan skala ekonomi yang menjanjikan (misalnya di Tiongkok, Amerika Utara, dan Timur Tengah).

Pelajaran bagi Indonesia: Peluang & Risiko

Bagi Indonesia, ada beberapa pelajaran dan peluang strategis dari realitas global ini:

1. Seleksi proyek secara realistis:

Hindari ambisi skala besar di awal tanpa jaminan offtake dan kestabilan harga. Fokus pada aplikasi hidrogen di sektor spesifik seperti pupuk, kilang minyak & kimia, baja hijau, dan amonia hijau, di mana demand bisa lebih mudah diamankan.

2. Bangun infrastruktur secara bertahap:

Investasi pipa, penyimpanan amonia/hidrogen, serta fasilitas distribusi perlu direncanakan dengan matang. Pilih titik produksi di dekat pusat industri atau export terminal agar logistik lebih efisien.

3. Integrasikan hidrogen dengan energi terbarukan lokal dan geograpic:

Indonesia kaya akan potensi surya, angin, dan geothermal, kombinasi ini bisa menurunkan biaya listrik, sehingga mengurangi biaya produksi hidrogen.

4. Peran negara dan regulasi:

Pemerintah perlu menyusun kebijakan jangka panjang: insentif offtake, standardisasi, subsidi jangka menengah, dan dukungan regulasi agar industri cukup menarik bagi investor.

5. Hidrogen bukan jawaban untuk semua:

Hidrogen paling efektif untuk sektor “hard-to-abate”. Untuk transportasi ringan, rumah tangga, atau pemanasan skala kecil, sejatinya, elektrifikasi atau biomassa mungkin lebih efisien dan ekonomis.

Menuju Indonesia 2050

Jika dijalankan dengan strategi realistis dan pragmatis, Indonesia bisa memanfaatkan hidrogen sebagai komponen penting dalam transisi energi. Fokus pada aplikasi industri berat, pupuk, amonia hijau, dan ekspor hidrogen/ammonia bisa membuat negara mendapatkan manfaat besar. Dengan membangun step-by-step (scale up), dari pilot project hingga skala industri, maka Indonesia dapat membentuk sektor hidrogen yang berdaya saing tanpa terbebani oleh hype yang belum matang.

Pembatalan proyek global bukanlah akhir dari hidrogen, melainkan pengingat bahwa kita harus menyesuaikan ekspektasi, mendasarkan kebijakan pada data, dan membangun masa depan energi bersih dengan pondasi nyata.

Rabu, 10 Desember 2025 (Dhahran, Arab Saudi)


Nasib Global Hidrogen dan Jalan Menuju 2050: Bagaimana Indonesia? Nasib Global Hidrogen dan Jalan Menuju 2050: Bagaimana Indonesia? Reviewed by Ridwan Harahap on Kamis, Desember 11, 2025 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.