Rasionalisasi Harga Gas Domestik


Oleh: M. Kholid Syeirazi, Center for Energy Policy


Semangat dari koreksi Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap tata niaga migas adalah untuk menciptakan harga keekonomian berkeadilan. Dalam putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 terkait uji materi UU Migas No. 22/2001, MK melarang harga BBM dan BBG diserahkan sepenuhnya ke mekanisme persaingan. Harga ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhitungkan faktor keekonomian. 

Semangat ini dituangkan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan terkait harga migas. Di sektor BBM, Pemerintah menerbitkan Perpres No. 191/2014 terkait harga jual eceran BBM. Di sektor gas, Pemerintah menerbitkan Perpres No. 40 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi.

Semangat dari kedua Perpres ini adalah tercapainya harga keekonomian berkeadilan. Harga keekonomian berkeadilan bisa didefinisikan sebagai “harga yang dikehendaki produsen dan diterima oleh konsumen.”
Harga keekonomian berkeadilan perlu dicapai dalam rangka mewujudkan ketahanan energi. PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mendefinsikan ketahanan energi sebagai “suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.”

Konsep ketahanan energi bertumpu pada empat indikator yaitu ketersediaan (availability), aksesibilitas (accessibility), keterjangkauan (affordability), dan kediterimaan (acceptability) secara lingkungan. Keterjangkauan di sisi harga adalah harga yang dikehendaki produsen dan diterima konsumen. Di titik inilah Pemerintah ikut serta membentuk ‘harga moderat’ yang menguntungkan kedua belah pihak.

Semangat ini juga tertuang dalam Permen ESDM No. 58/ 2017 tentang harga gas bumi melalui pipa yang merupakan revisi terhadap Permen ESDM No. 19/2009. Menteri berwenang menetapkan harga gas bumi untuk penyediaan tenaga listrik dan industri, rumah tangga dan pelanggan kecil, dan BBG untuk transportasi. Formula harga jual mencakup harga gas bumi plus biaya pengelolaan infrastruktur ditambah biaya niaga. 

Pengelolaan infrastruktur mencakup biaya pengangkutan melalui pipa transmisi dan/ distribusi, pemanfaatan fasilitas pipa dedicated hilir, pencairan, kompresi, regasifikasi, dan penyimpanan LNG.
Infrastuktur hilir dan mid-stream adalah komponen penting pembentuk harga gas domestik. Berdasarkan data SKK Migas, sekitar 29 persen harga gas pipa dibentuk oleh komponen hilir dan mid-stream. Sementara untuk LNG, komponen hilir dan midstream menyumbang 58 persen harga domestik.

Tingginya komponen hilir dalam pembentukan harga gas disebabkan karena katerbatasan infrastruktur gas bumi. Indonesia adalah salah satu pioneer pengembangan gas bumi. Sejak 1970an, Indonesia telah mengembangkan LNG. Namun, karena orientasi jangka pendek (revenue-oriented), Indonesia tidak punya road map pemanfaatan gas bumi domestik dan karena itu tidak menyiapkan infrastruktur pemanfaatannya sejak dini. 

Total panjang pipa gas bumi eksisting (transmisi dan distribusi) gabungan PGN dan Pertagas baru sekitar 9.677 Km. Jika dibandingkan dengan total wilayah Indonesia, panjang pipa gas bumi hanya 0,13 persen. Panjang pipa gabungan itu hanya mampu mengangkut 2.627 juta standar kaki kubik gas bumi per hari (MMScfd) dengan volume distribus mencapai 900 MMScfd.

Keterbatasan infrastruktur menyumbang tingginya harga jual. Konsumen di Jawa harus membayar sekitar US$8-9 per mmbtu dan di Sumbagut US$13,9 per mmbtu. Harga ini lebih tinggi dibanding harga rata-rata tertimbang (weighted average price/WAP) mulut sumur di Jawa sekitar US$5-8 per mmbtu dan di Sumabagut US$8,2 per mmbtu.

Ketersendatan pengembangan infrastruktur disebabkan karena kebijakan liberalisasi yang menafasi UU Migas. Pasal 8 ayat (3) UU 22/2001 memandatkan penerapan skema open access yaitu pemanfaatan pipa pengangkutan gas bumi bagi semua pemakai dengan membayar toll fee. 

Melalui PP No. 36/2004 dan Permen ESDM No. 19/2009, pelaku usaha dapat masuk ke bisnis gas bumi tanpa perlu membangun jaringan pipa distribusi hingga ke konsumen. Akibatnya, infrastruktur gas bumi tidak berkembang karena pelaku usaha lebih memilih bisnis trading ketimbang membangun pipa yang butuh investasi besar.

Selain menghambat pembentukan harga keekonomian berkeadilan, keterbatasan infrastruktur gas bumi juga menciptakan defisit pasokan. Jika dihitung berdasarkan neraca penawaran-permintaan, produksi gas bumi relatif surplus. Namun, surplus produksi gas dari daerah penghasil tidak bisa dialirkan ke sentra-sentra konsumen karena keterbatasan infrastruktur hilir. Indonesia telah mengalami defisit pasokan gas sejak 2015 dan diperkirakan akan membesar pada 2030. Defisit akan meningkat dari 1.013 MMScfd pada 2015 menjadi 4.072 MMScfd pada 2030.

Perlunya Rasionalisasi Harga

Berdasarkan latar belakang tersebut, rencana PGN melalukan penyesuaian harga gas industri perlu didukung. Rasionalisasi harga perlu dilakukan sebagai bagian dari road map pengarusutamaan gas dalam bauran energi sebagaimana dimandatkan oleh PP No. 79 Tahun 2014 yaitu 22 persen pada 2025 dan 24 persen pada 2050.

Tanpa perbaikan tata kelola di sisi hulu (kontrak-kontrak pengembangan) dan pembenahan di sisi hilir (peningkatan keandalan infrastruktur), program pengarusutamaan gas bumi mustahil dapat berjalan. Saat ini, ketersediaan infrastruktur gas bumi baru mencapai 20-30% dari total kebutuhan nasional. Tanpa pembangunan yang agresif, Indonesia mustahil mengejar ketertinggalan.

Rasionalisasi harga perlu dilakukan untuk mewujudkan harga keekonomian berkeadilan, yaitu harga yang dikehendaki PGN dan diterima konsumen (industri). Formula harga yang ditetapkan Permen ESDM No. 58/2017 yang menyertakan komponen pengelolaan infrastruktur sudah tepat.

Tanpa pengembangan infrastruktur, PGN tidak mungkin menjalankan mandat PP No. 6/2018. Dalam kerangka program pembentukan holding BUMN Migas, PGN diberi mandat sebagai subholding yang mengonsolidasikan bisnis gas bumi hulu-hilir. Seiring mandat tersebut, PGN perlu melakukan langkah-langkah percepatan dalam rangka meningkatkan keandalan rantai pasok gas bumi dalam negeri. 

Harga  gas bumi, terutama pelaku industri, perlu dirasionalisasi untuk mendukung program akselerasi. Sejak 2013, PGN tidak pernah melakukan penyesuaian harga. Ini bisa dipahami karena mandat Pemerintah untuk memproteksi industri dalam negeri yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Pembentukan harga keekonomian berkeadilan perlu campur tangan Pemerintah sehingga tercapai harga optimal yang menguntungkan kedua belah pihak. Karena itu, penolakan KADIN terhadap rencana penyesuaian harga gas industri oleh PGN terkesan tidak bijak dan terburu-buru.

Pemerintah perlu turun tangan dengan mengusung misi jangka panjang, bukan sekadar menyenangkan industri dengan harga terjangkau, tetapi  juga untuk amannya jaminan pasok dan ketahanan energi nasional. Jaminan pasok dan ketahanan energi mewajibkan perbaikan tata kelola hulu dan keandalan infrastruktur hilir. Rasionalisasi harga bagian dari instrumen untuk mewujudkan agenda besar tersebut.

Rasionalisasi Harga Gas Domestik Rasionalisasi Harga Gas Domestik Reviewed by OG Indonesia on Rabu, Oktober 02, 2019 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.