Kemenkeu Siap Diskusi Terkait Insentif Fiskal untuk Industri Hulu Migas


Jakarta, OG Indonesia --
Dalam rangka meningkatkan iklim investasi di industri hulu migas demi mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada tahun 2030, SKK Migas bersama Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan tengah merumuskan opsi kebijakan fiskal untuk meningkatkan iklim investasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Wakil Kepala SKK Migas, Fatar Yani Abdurrahman, mengatakan, di tengah pandemi COVID-19 dan persaingan global yang semakin ketat, Indonesia harus bisa bersaing untuk menarik investor. Untuk itu dibutuhkan stimulus, khususnya terkait sistem bagi hasil, perpajakan, dan kemudahan dalam menjalankan kegiatan usaha. 

“Stimulus dibutuhkan untuk memastikan proyek tersebut masih menarik investor,” kata Fatar saat membuka Focus Group Discussion (FGD) Forum Ekonomi dan Keuangan 2020 yang digelar secara online belum lama ini.

Tenaga Ahli Menteri ESDM, Nanang Untung mengatakan, saatnya Indonesia melakukan perbaikan fiscal attractiveness di mana kondisi pandemi COVID-19 ini dijadikan momentum untuk mempercepat perbaikan kebijakan fiskal yang menarik bagi investor. “Beberapa negara di dunia saat ini sedang mereformasi rezim fiskal untuk mempersiapkan persaingan yang akan datang untuk menarik investasi global. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dan integrasi seluruh stakeholders dalam rangka meningkatkan daya tarik investasi hulu migas," ucap Nanang. 

Sementara itu Deputi Keuangan & Monetisasi SKK Migas, Arief S Handoko mengatakan insentif terkait fiskal dibutuhkan oleh industri hulu migas karena gap antara produksi dan konsumsi di dalam negeri semakin besar. Saat ini sebagian besar wilayah kerja yang akan dikerjakan oleh kontraktor adalah wilayah kerja yang tua, atau berada di wilayah kerja yang sulit. 

“Untuk meningkatkan cadangan, mutlak dibutuhkan eksplorasi yang saat ini mulai bergerak ke arah yang sulit, yaitu bergerak dari wilayah barat ke timur, dan dari darat ke laut. Inilah mengapa dibutuhkan insentif tersebut,” katanya.

Arief menambahkan jenis insentif yang dibutuhkan kontraktor beragam, tergantung kegiatan yang akan dilakukan. Insentif yang dibutuhkan dalam jangka pendek meliputi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 terkait fasilitas perpajakan untuk Kontrak Kerja Sama existing. Revisi diperlukan agar fasilitas pajak-pajak tidak langsung tidak hanya diberikan sejak tahap eksplorasi namun juga diberikan hingga akhir masa kontrak demi menjamin kepastian keekonomian proyek migas. Sementara untuk Kontrak Kerja Sama baru, perlu pemberlakuan kembali Assume and Discharge melalui revisi UU Migas.

Jenis insentif lain untuk mendukung kegiatan jangka menengah dan panjang antara lain tax allowance, pembebasan Branch Profit Tax (BPT) atas penghasilan, tax consolidation, dan tax holiday. 

Kementerian Keuangan sendiri menegaskan secara positif dan terbuka akan mendalami bentuk kebijakan fiskal yang akan diberikan. “Kami siap berdiskusi untuk memperbaiki kebijakan fiskal yang dibutuhkan,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu.

Disampaikan olehnya, Kementerian Keuangan telah mendengar berbagai aspirasi dari pelaku industri hulu migas dan mendukung diskusi yang lebih komprehensif dan mendalam guna menghasilkan solusi peningkatan produksi hulu migas. 

Ke depannya tentu perlu segera dilakukan pembahasan secara komprehensif yang melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, SKK Migas, dan KKKS mengenai bentuk paket insentif atau stimulus untuk industri hulu migas baik dari sisi pajak maupun non-pajak, dengan memperhatikan data-data dan informasi yang lebih spesifik terkait kondisi, tantangan, dan potensi cadangan migas di Indonesia saat ini dan pada masa yang akan datang. 

Direktur Riset untuk Asia Pacific, Wood MacKenzie, Andrew Harwood menjelaskan, turunnya harga minyak di tahun 2020, menyebabkan investasi hulu migas dunia turun hingga US$ 125 Miliar. Pada saat yang sama, terjadi perubahan paradigma. Beberapa perusahaan hulu migas mulai tertarik mengembangkan industri energi alternatif. 

Menghadapi situasi tersebut, kata Andrew, Indonesia harus bisa menciptakan iklim investasi yang menarik agar kebutuhan migas di masa depan dapat dipenuhi. Iklim investasi yang dimaksud antara lain menciptakan iklim investasi yang lebih atraktif dibandingkan negara lain. “Pemerintah dan regulator harus aktif untuk menciptakan keseimbangan antara risiko yang dihadapi investor dalam melakukan kegiatan hulu migas dengan benefit yang akan mereka terima,” katanya.

Dalam paparannya, Deputi Perencanaan SKK Migas, Jaffee Arizon Suardin menyampaikan bahwa saat ini industri hulu migas sedang bertransformasi dengan berpikir secara business not usual, melalui massive, aggressive dan efficient. SKK Migas telah menjalankan 4 langkah strategis berupa Improving Existing Asset Value /Maintain production baseline, percepatan transfomasi cadangan migas menjadi produksi migas, peningkatan pelaksanaan kegiatan EOR dan ekplorasi area-area migas baru. Tentunya hal ini bisa berjalan dengan baik dengan adanya kehadiran Pemerintah, kolaborasi semua pihak, perubahan mindset dan dukungan teknologi.

Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA), Ronald Gunawan, memaparkan investasi di sektor hulu migas bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Contohnya, pada 2019 proyek hulu migas mampu menghasilkan investasi mencapai US$11,9 miliar, hampir sama dengan investasi sektor infrastruktur US$12,1 miliar. Angka ini jauh lebih tinggi dari investasi sektor pariwisata US$1,4 miliar. R1

Kemenkeu Siap Diskusi Terkait Insentif Fiskal untuk Industri Hulu Migas Kemenkeu Siap Diskusi Terkait Insentif Fiskal untuk Industri Hulu Migas Reviewed by OG Indonesia on Sabtu, November 21, 2020 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.